Natasha baru masuk Islam pada Januari 2011 lalu
Awalnya, perempuan asal Slovakia itu tidak merasa penting untuk berbagi cerita tentang keputusannya memeluk Islam. Tapi ia menyadari, bahwa ia sendiri mendapatkan banyak manfaat dari para mualaf lainnya yang mau berbagi pengalaman dan cerita tentang keislaman mereka.
Natasha berharap, pengalaman yang akan ia bagi ini akan memberikan manfaat juga bagi orang lain, dan memberi inspirasi bagi mereka yang belum memeluk Islam, agar menemukan jalan kebenaran seperti jalan yang telah Natasha temukan sekarang, yaitu jalan Islam.
.
Natasha berasal dari keluarga Katolik di Slovakia, sebuah negara di Eropa Tengah yang penduduknya mayoritas memeluk agama Kristen, baik Kristen Protestan, Katolik, Kristen Ortodoks dan beberapa aliran dalam Kristen lainnya, sedangkan agama Islam tidak populer dan tidak begitu dikenal oleh masyarakat negaranya.
Namun Natasha mengakui bahwa ia memeluk agama Katolik, karena kedua orang tuanya Katolik. Ia memang rajin ke gereja setiap minggu dan belajar agama Katolik di sekolahnya, tapi ia tidak pernah benar-benar menghayati ajaran agamanya.
Ketika menginjak usia 16 tahun, Natasha baru berpikir tentang dirinya sendiri dan mempertanyakan tentang keyakinan agamanya. Ia tidak lagi bisa menerima doktrin "Begitulah semuanya terjadi, terima saja!" seperti yang ditekankan oleh ajaran Kristen Katolik yang dianutnya.
Ia ingat, sering menanyakan pada ibunya tentang banyak hal yang disampaikan para pendeta dalam khutbahnya seusai misa yang dihadirinya. Dalam banyak kesempatan, memang ada khutbah yang isinya bagus dan si pendeta berusaha memberikan arah kehidupan bagi para jamaahnya.
Tapi Natasha merasa seperti seorang budak yang tidak punya keinginan sendiri. Ia menyadari, tak ada manusia yang sempurna dan manusia membutuhkan bimbingan. Tapi yang tidak dimengerti Natasha, mengapa seorang pendeta, yang juga manusia seperti dirinya dan bisa berbuat salah, bisa mendapatkan banyak otoritas.
"Waktu itu, tentu saja saya menghormati para pendeta dan ajaran Katolik dengan tradisinya yang sudah ada sejak lama, dan yang pasti karena keluarga saya Katolik. Tapi saya merasa itu saja tidak cukup. Saya melihat agama katolik hanya sebagai obyek tak berharga yang dibungkus dengan pembungkus yang indah. Saya mohon maaf pada umat Kristiani yang mungkin tersinggung oleh pernyataan ini, saya juga mengungkapkan apa yang saya rasalah. Ajaran Kristen mungkin memperkaya orang lain secara spiritual, tapi buat saya tidak," tutur Natasha.
Perlahan-lahan ia mulai menjaga jarak dari agama Katolik. Natasha tidak lagi ke gereja, tidak lagi berdoa dengan cara orang Kristen berdoa, meski ia masih tetap "bicara" pada Tuhan. "Ayah saya bukan seorang lelaki yang religius, tapi ia menyerap beragam ideologi, agama dan opini pribadinya sendiri. Maka saya pun mulai melakukan pencarian sendiri, pencarian tentang tujuan hidup ini dan prinsip-prinsip yang membawa manfaat buat saya dalam menjalani kehidupan ini," ujar Natasha.
Menurutnya, setiap orang mendengar panggilan dari lubuk hatinya yang terdalam pas sesuatu yang lebih tinggi dan lebih spiritual. Manusia, kata Natasha, dianugerahi intelijensia yang besar dan hawa nafsu yang bisa membuat manusia melupakan hal-hal penting. Misalnya bahwa "manusia akan pergi ke dunia yang lain" dan mereka akan tahu bahwa harta kekayaan tidak penting, dibandingkan teman-teman yang baik dan hubungan yang baik dengan mereka.
"Saya merasakan kehidupan saya sebelumnya sangat kosong, tanpa arah. Ketika Anda berkunjung ke negara lain, Anda melihat peta untuk mengetahui tempat-tempat menarik yang bisa didatangi. Jarang dari kita yang pergi tanpa tahu ke mana arah yang akan dituju. Hal yang sama berlaku pada hidup kita. Jika hidup kita aalah sebuah perjalanan besar, kita membutuhkan petunjuk arah dan kita harus tahu apa yang akan kita jumpai di akhir perjalanan nanti," kata Natasha.
"Saya merasa bahagia merasakan hal ini, karena membuat hati saya terbuka. Saya jadi terbuka pada opini dan ide-ide baru. Saya ingin mencoba apa saja yang menurut saya masuk akal. Saya pergi ke India, dan saya tahu tentang Hindu dan Islam," sambungnya.
Sampai akhirnya Natasha berkesempatan datang ke Indonesia dan banyak berdiskusi dengan beberapa muslimah yang menjadi teman sekamarnya. Sebagai non-Muslim dari Eropa, Natasha mengakui bahwa ia sedikit terpengaruh dengan propaganda anti-Islam. Ia masih mengingat cerita tentang perempuan-perempuan muslim yang diperlakukan dengan tidak baik oleh suami mereka, para teroris yang oleh media seringkali diidentikkan dengan musim, dan ia berpikir bahwa rata-rata muslim sangat gampang dicuci otak agar mau membunuh orang lain atas nama agama mereka.
Tapi sikap Natasha yang terbuka, membuatnya mudah untuk menerima pengetahuan yang baru. Ia mulai merasa mendapat pencerahan tentang Islam dan Muslim pada saat bulan Ramadan. Natasha tinggal bersama sebuah keluarga muslim, ia ikut berpuasa dan mulai belajar tentang dirinya sendiri. Ia pun menyadari betapa pentingnya sikap disiplin untuk mencapai apa yang ia inginkan dalam hidup ini.
"Saya juga menyadari, betapa pentingnya untuk tidak menjadi budak dari hal-hal yang sifatnya materialistis. Saat berpuasa, saya harus mengendalikan hawa nafsu dan emosi, yang ternyata jauh lebih berat dibandingkan menahan lapar dan haus. Saya mulai melihat dunia ini dari perspektif yang berbeda. Tiba-tiba saja, hal-hal yang berhubungan dengan kebendaan jadi terlihat tidak begitu penting. Tapi yang penting adalah hubungan antara manusia, memperlakukan orang lain dengan baik dan saling tolong menolong," tutur Natasha.
Masa-masa itulah yang membuat Natasha seperti "bangun dari tidur". Ia merasa senang dan bahagia meski ia lapar dan haus. Apalagi sebulan sebelum datangnya bulan Ramadan, Natasha berpikir bahwa tidak makan dan minum adalah sesuatu yang gila. Tapi selama menjalani Ramadan, Natasha melakukan pencarian jiwa untuk menemukan agama yang benar. Pada titik ini, ia membaca kembali Alkitab yang sudah lama ditinggalkannya.
"Dalam kekritenan, kami tidak membaca Alkitab. Yang saya maksud tidak membaca, kami hanya membaca beberapa bagian saja di gereja atau dalam kelas mata pelajaran agama, tapi tidak pernah secara sungguh-sungguh duduk dan membaca maknanya. Di saat saya mulai membaca Alkitab lagi, saya jadi tahu mengapa para pendeta tidak mendorong kami untuk membacanya. Isinya banyak yang bertentangan dengan apa yang saya pahami. Saya tidak akan menceritakannya dengan detil, karena sudah banyak cerita tentang kontradiksi ini, Anda bisa menemukan penjelasannya di mana-mana, termasuk dari internet," papar Natasha.
Itulah momen ketika Natasha akhirnya memutuskan untuk pindah ke agama Islam. "Tepatnya ketika saya menemukan banyak pernyataan dari para ilmuwan yang ternyata sudah ada dalam Al-Quran. Jadi, sangat absurd berpikir bahwa Nabi Muhammad Saw. mengetahui semua hal tanpa campur tangan sebuah kekuatan yang Maha Mulia. Nabi Muhammad seorang yang buta huruf! Ilmu pengetahuan itu sendiri sebelumnya bahkan tidak akurat, jadi tidak bisa dibilang bahwa Nabi Muhammad Saw menjiplak apa yang ada di Quran dari perkembangan ilmu pengetahuan yang sekarang berkembang," tukas Natasha.
Ia melanjutkan, "Jika Anda percaya bahwa dunia ini ada yang menciptakan, tidak susah buat Anda untuk menerima fakta bahwa hanya ada satu Tuhan, satu Sang Pencipta dan Dia menurunkan pengetahuannya itu pada utusan-Nya. Itulah yang kita kenal dengan kalimat syahadat, salah satu pilar Islam "
"Maka, setelah saya menyadari itu semua, saya yakin bahwa saya tidak bisa mundur lagi ke belakang. Jika kita mencari sesuatu dan kita berdoa untuk pencarian itu, kita tidak bisa pergi begitu saja ketika sudah menemukan apa yang kita cari," tukasnya.
Natasha bersyukur pada Allah Swt, yang telah membuka mata dan hatinya sehingga bisa menemuka jalan yang benar. Ia juga berharap orang lain yang belum menjadi muslim, juga akan menemukan jalan yang sama. "Menjadi seorang muslim penuh tantangan, tapi tantangan itu menyempurnakan kita. Saya tidak takut lagi dengan banyak hal yang dulu saya takuti. Saya menyandarkan kepercayaan saya pada Tuhan," ujarnya.
Sejak masuk Islam, Natasha mengaku menjadi manusia yang lebih disiplin. Ia yakin, dirinya bukan satu-satunya yang merasakan kedamaian dan keindahan Islam. "Insya Allah lebih banyak lagi orang yang menemukan jalan kebenaran Islam dan mereka berani untuk hidup sesuai dengan tuntutan Islam," tandasnya. (TROI eramuslim.com)
Senin, 27 Juni 2011
Rabu, 22 Juni 2011
Kisah Ummu Ma'bad - Gambaran Tentang Rasulullah
Sebuah kisah biasa yang bertemu dgn orang yang luar biasa ^_^
September 622 M. Secara diam-diam, Rasulullah SAW bersama Abu Bakar RA, Amir bin Fahira dan seorang penunjuk jalan bernama Abdullah bin Uraiqith bergegas meninggalkan Makkah menuju Madinah.
Duabelas tahun sudah Rasulullah menyebarkan agama Allah di kota Makkah, namun tekanan dari kafir Quraisy kian gencar.
Bahkan, kaum kafir Quraisy berniat untuk membunuh Rasulullah beserta sahabatnya yang telah masuk Islam. Guna menghindari kekejaman kafir Quraisy, Rasulullah pun kemudian hijrah ke kota Madinah.
Tanpa perbekalan yang memadai, Rasulullah berangkat menuju Madinah. Sebuah perjalanan yang tak mudah dan tak juga ringan.
Seperti diuraikan dalam buku Perempuanperempuan Mulia di Sekitar Rasulullah yang ditulis Muhammad Ibrahim Salim, di tengah perjalanan menuju kota Madinah, rombongan Rasulullah lewati sebuah kemah milik seorang wanita tua bernama Ummu Ma'bad di wilayah Qudaid -antara Makkah dan Madinah. Saat itu, Ummu Ma'bad sedang duduk di dekat kemahnya. Lantaran perbekalan yang minim, rombongan Rasulullah pun singgah ke kemah Ummu Ma'bad.
Rasulullah dan sahabatnya ingin membeli daging dan kurma dari Ummu Ma'bad. Namun, mereka tidak mendapatkan apa-apa. Saat itu, wilayah Qudaid sedang didera musim paceklik. Lalu Rasulullah melihat seekor kambing yang ada di dekat kemah Ummu Ma'bad.
Rasulullah pun bertanya, "Kambing betina apa ini wahai Ummu Ma'bad?", Ummu Ma'bad menjawab, "kambing betina tua yang sudah ditinggalkan oleh kambing jantan." Rasulullah kembali bertanya, "Apakah ia masih mengeluarkan air susu?" Ummu Ma'bad menjawab, "Bahkan ia tak mengandung air susu sama sekali.'' Lalu Rasulullah meminta izin, "Bolehkah aku memerah air susunya?" Ummu Ma'bad menjawab, "Jika engkau merasa bisa memerahnya, maka silahkan lakukan.'' Nabi Muhammad SAW pun mengambil kambing tersebut dan tangannya mengusap kantong susunya dengan menyebut nama Allah dan mendo'akan Ummu Ma'bad pada kambingnya tersebut.
Tiba-tiba kambing itu membuka kedua kakinya dan keluarlah air susu dengan derasnya.
Kemudian Rasulullah meminta sebuah wadah yang besar lalu beliau memerasnya sehingga penuh. Beliau memberi minum kepada Ummu Ma'bad hingga ia puas, lalu beliau memberi minum rombongannya hingga mereka pun puas.
Setelah itu beliau pun minum. Beliau kemudian memerah susu untuk kedua kalinya hingga wadah tersebut kembali penuh, lalu susu itu ditinggalkan di tempat Ummu Ma'bad dan beliau pun membai'atnya. Setelah itu rombongan pun berlalu.
Tak lama, datanglah suami Ummu Ma'bad dengan menggiring kambing yang kurus kering, berjalan sempoyongan karena lemahnya. Setelah melihat susu, ia bertanya keheranan, "Darimana air susu ini wahai Ummu Ma'bad? padahal kambing ini sudah lama tidak hamil dan kita pun tidak memiliki persediaan susu di rumah?" Ummu Ma'bad menjawab, "Demi Allah, bukan karena itu semua.
Sesungguhnya seseorang yang penuh berkah telah melewati (rumah kita), sifatnya begini dan begitu." Abu Ma'bad berkata, "Ceritakanlah kepadaku tentangnya wahai Ummu Ma'bad."
Ummu Ma'bad bertutur: "Aku melihat seorang yang tawadhu (rendah hati). Wajahnya bersinar berkilauan, baik budi pekertinya, dengan badannya yang tegap, indah dengan bentuk kepala yang pas sesuai bentuk tubuhnya.'' Ia adalah seorang yang berwajah sangat tampan. Matanya elok, hitam dan lebar, dengan alis dan bulu mata lebat nan halus. Suaranya bergema indah berwibawa, panjang lehernya idea, jenggot nya tumbuh tebal dan sangat kontras lagi sesuai warna rambutnya; rapi, rata pinggir-pinggirnya a (dengan jambangnya) dan antara rambut dan jenggotnya bersambung rapi.
Jika ia diam, nampaklah kewibawaannya. Jika ia berbicara nampaklah kehebatannya. Jika dilihat dari kejauhan, ia adalah orang yang paling bagus dan berwibawa. Jika dilihat dari dekat, ia adalah orang yang paling tampan, bicaranya gamblang, jelas, tidak banyak dan tidak pula sedikit. Nada bicaranya seperti untaian mutiara yang bergu guran.
Beliau berperawakan sedang, tidak tinggi dan tidak pula pendek. Ia bagaikan sebuah dahan di antara dua dahan. Diantara ketiga orang itu, penampilannya paling bagus dan kedudukannya paling tinggi. Ia memiliki banyak teman yang me ngelilinginya. Jika ia berbicara, maka yang lain pun mendengarkannya. Jika ia memerintah, maka mereka segera melaksanakannya. Ia adalah orang yang ditaati, tidak cemberut dan bicaranya tidak sembarangan.
Abu Ma'bad berkata, "Demi Allah, ia adalah seorang dari Quraisy yang sedang diperbincangkan di kalangan kami di kota Makkah. Aku ingin menjadi sahabatnya. Sungguh aku akan melakukannya jika aku bisa menemukan jalan untuk mendapatkannya."
Sungguh terperinci sifat sifat Rasulullah yang dituturkan Ummu Ma'bad. Kisah Ummu Ma'bad sangat masyhur, diriwayatkan dari banyak jalan yang saling menguatkan satu dengan lainnya.
From: Blog Tetangga
September 622 M. Secara diam-diam, Rasulullah SAW bersama Abu Bakar RA, Amir bin Fahira dan seorang penunjuk jalan bernama Abdullah bin Uraiqith bergegas meninggalkan Makkah menuju Madinah.
Duabelas tahun sudah Rasulullah menyebarkan agama Allah di kota Makkah, namun tekanan dari kafir Quraisy kian gencar.
Bahkan, kaum kafir Quraisy berniat untuk membunuh Rasulullah beserta sahabatnya yang telah masuk Islam. Guna menghindari kekejaman kafir Quraisy, Rasulullah pun kemudian hijrah ke kota Madinah.
Tanpa perbekalan yang memadai, Rasulullah berangkat menuju Madinah. Sebuah perjalanan yang tak mudah dan tak juga ringan.
Seperti diuraikan dalam buku Perempuanperempuan Mulia di Sekitar Rasulullah yang ditulis Muhammad Ibrahim Salim, di tengah perjalanan menuju kota Madinah, rombongan Rasulullah lewati sebuah kemah milik seorang wanita tua bernama Ummu Ma'bad di wilayah Qudaid -antara Makkah dan Madinah. Saat itu, Ummu Ma'bad sedang duduk di dekat kemahnya. Lantaran perbekalan yang minim, rombongan Rasulullah pun singgah ke kemah Ummu Ma'bad.
Rasulullah dan sahabatnya ingin membeli daging dan kurma dari Ummu Ma'bad. Namun, mereka tidak mendapatkan apa-apa. Saat itu, wilayah Qudaid sedang didera musim paceklik. Lalu Rasulullah melihat seekor kambing yang ada di dekat kemah Ummu Ma'bad.
Rasulullah pun bertanya, "Kambing betina apa ini wahai Ummu Ma'bad?", Ummu Ma'bad menjawab, "kambing betina tua yang sudah ditinggalkan oleh kambing jantan." Rasulullah kembali bertanya, "Apakah ia masih mengeluarkan air susu?" Ummu Ma'bad menjawab, "Bahkan ia tak mengandung air susu sama sekali.'' Lalu Rasulullah meminta izin, "Bolehkah aku memerah air susunya?" Ummu Ma'bad menjawab, "Jika engkau merasa bisa memerahnya, maka silahkan lakukan.'' Nabi Muhammad SAW pun mengambil kambing tersebut dan tangannya mengusap kantong susunya dengan menyebut nama Allah dan mendo'akan Ummu Ma'bad pada kambingnya tersebut.
Tiba-tiba kambing itu membuka kedua kakinya dan keluarlah air susu dengan derasnya.
Kemudian Rasulullah meminta sebuah wadah yang besar lalu beliau memerasnya sehingga penuh. Beliau memberi minum kepada Ummu Ma'bad hingga ia puas, lalu beliau memberi minum rombongannya hingga mereka pun puas.
Setelah itu beliau pun minum. Beliau kemudian memerah susu untuk kedua kalinya hingga wadah tersebut kembali penuh, lalu susu itu ditinggalkan di tempat Ummu Ma'bad dan beliau pun membai'atnya. Setelah itu rombongan pun berlalu.
Tak lama, datanglah suami Ummu Ma'bad dengan menggiring kambing yang kurus kering, berjalan sempoyongan karena lemahnya. Setelah melihat susu, ia bertanya keheranan, "Darimana air susu ini wahai Ummu Ma'bad? padahal kambing ini sudah lama tidak hamil dan kita pun tidak memiliki persediaan susu di rumah?" Ummu Ma'bad menjawab, "Demi Allah, bukan karena itu semua.
Sesungguhnya seseorang yang penuh berkah telah melewati (rumah kita), sifatnya begini dan begitu." Abu Ma'bad berkata, "Ceritakanlah kepadaku tentangnya wahai Ummu Ma'bad."
Ummu Ma'bad bertutur: "Aku melihat seorang yang tawadhu (rendah hati). Wajahnya bersinar berkilauan, baik budi pekertinya, dengan badannya yang tegap, indah dengan bentuk kepala yang pas sesuai bentuk tubuhnya.'' Ia adalah seorang yang berwajah sangat tampan. Matanya elok, hitam dan lebar, dengan alis dan bulu mata lebat nan halus. Suaranya bergema indah berwibawa, panjang lehernya idea, jenggot nya tumbuh tebal dan sangat kontras lagi sesuai warna rambutnya; rapi, rata pinggir-pinggirnya a (dengan jambangnya) dan antara rambut dan jenggotnya bersambung rapi.
Jika ia diam, nampaklah kewibawaannya. Jika ia berbicara nampaklah kehebatannya. Jika dilihat dari kejauhan, ia adalah orang yang paling bagus dan berwibawa. Jika dilihat dari dekat, ia adalah orang yang paling tampan, bicaranya gamblang, jelas, tidak banyak dan tidak pula sedikit. Nada bicaranya seperti untaian mutiara yang bergu guran.
Beliau berperawakan sedang, tidak tinggi dan tidak pula pendek. Ia bagaikan sebuah dahan di antara dua dahan. Diantara ketiga orang itu, penampilannya paling bagus dan kedudukannya paling tinggi. Ia memiliki banyak teman yang me ngelilinginya. Jika ia berbicara, maka yang lain pun mendengarkannya. Jika ia memerintah, maka mereka segera melaksanakannya. Ia adalah orang yang ditaati, tidak cemberut dan bicaranya tidak sembarangan.
Abu Ma'bad berkata, "Demi Allah, ia adalah seorang dari Quraisy yang sedang diperbincangkan di kalangan kami di kota Makkah. Aku ingin menjadi sahabatnya. Sungguh aku akan melakukannya jika aku bisa menemukan jalan untuk mendapatkannya."
Sungguh terperinci sifat sifat Rasulullah yang dituturkan Ummu Ma'bad. Kisah Ummu Ma'bad sangat masyhur, diriwayatkan dari banyak jalan yang saling menguatkan satu dengan lainnya.
From: Blog Tetangga
Jumat, 17 Juni 2011
Why..? Super Hero Menolak ke Indonesia
Dengan meningkatnya tingkat kriminalitas di Indonesia dewasa ini,
pemerintah Indonesia telah mengirimkan proposal penawaran kerja kepada
sejumlah superhero dari negara paman Sam.
Tetapi tidak diduga para superhero itu MENOLAK ajakan kerjasama
ini. Berikut adalah alasan penolakan tersebut, yang mana membuat
Indonesia TERSINGGUNG BERAT :
1. BATMAN (Bruce Wayne)
Bruce Wayne menolak ajakan kerjasama ini dengan alasan yang terlalu dibuat-buat.
Alasannya adalah:
Setalah mensurvei keberadaan jalan2 di Indonesia, BATMAN membatalkan niatnya…
bagaimana mungkin dia bisa bergerak cepat kalau terparangkap dalam
kemacetan di jalan raya… pingin lewat jalan tol…. Berarti harus mengeluarkan biaya
tambahan dan tidak menjamin terbebas dari kemacetan .. apalagi BATMAN tidak pernah
mambawa dompet
2. SPIDERMAN (Peter Parker)
Parker juga menolak ajakan kerjasama ini dengan alasan:
Di Indonesia hanya ada sedikit gedung tinggi dan jaraknya terlalu berjauhan, ini tentu akan menyulitkan dia untuk bergelantungan dari gedung ke gedung.
Dia juga takut kecantol kabel listrik dan telepon…. Yang banyak berserakan di kota-kota besar Indonesia, belum lagi antena-antena TV dan bila musim layangan tiba bisa tambah gawat.
3. INVISIBLE GIRL (Susan Storm)
Menolak dengan alasan MINDER. Kemampuan menghilang yang dimilikinya
masih jauh kalah dengan kemampuan menghilang orang2 Indonesia. Berikut
wawancara yang dilakukan dengan CNN: Dengan nada merendah, INVISIBLE GIRL mengatakan, saya sih hanya bisa menghilangkan diri saya sendiri, semantara di Indonesia banyak yang lebih hebat, bukan hanya menghilangkan diri sendiri tapi mampu menhilangkan, asset Negara yang pernah dikuasainya, barang bukti, sampai hutang yang jumlahnya luar biasa mampu dihilangkan juga..
Jadi saya minder sama orang Indonesia.
malah kaya’nya saya yang harus banyak belajar di sana,
4. THE THING (Ben Grimm)
Menolak dengan alasan:
Di Indonesia sudah banyak orang yang kulitnya lebih tebal daripada saya.
Bukan hanya kebal peluru, kebal muka sampai2 malahan sudah kebal malu segala.
Biar korupsinya dah gede biasa aja ga' merasa bersalah, padahal orang2 sekitarnya dah gerah dan sering nyindir2, tetep.. ga ngaruh.., korupsi jalan terus
5. HUMAN TORCH (Johnny Storm)
Sama dengan anggota2 'Fantastic 4' yang lain,.. :
Waaaah jangan mas…saya takut nanti dituduh sebagai dalang timbulnya kebakaran,
baik itu kebakaran hutan, kebakaran pasar, kebakaran di perkampungan yang ingin digusur, sampai kebakaran jenggot.
6. THE FLASH (Barry Allen)
Sebenarnya Pak Allen sudah mempertimbangkan untuk menerima proposal
ini, tetapi setelah melakukan survey ke berbagai lembaga pemerintahan
dia akhirnya menolak. Alasannya: di Indonesia itu tidak dibutuhkan kecepatan
Yang di butuhkan di Indonesia itu yang dramatisir.. buktinya saat pemilu kemaren ada
yang bilang Lebih Cepat Lebih Baik koq tidak terpilih…
7. SUPERMAN (Clark Kent)
Sang manusia baja ini menolak dengan sopan, karena:
Saya takut disangkut pautkan dengan tuntutan melakukan aksi pornografi dan porno
aksi karena celana dalam saya di luar.. lagian di sana ada kolor ijo
8. AQUAMAN
Merasa tidak kuat setelah mencoba pekerjaan baru di Indonesia, karena:
Gimana saya mau bisa bekerja dengan tenang di Indonesia.. Spesialisasi sayakan di air.. semantara sungai-sungai di kota-kota di Indonesia… tau sendirikan..?!
lagian takut dikejar2 ma anak2 ntar minta aqua gratis atw bapak2 untuk isi galon di rumahnya..hehe..
9. WONDER WOMAN (Diana Prince)
Pada mulanya, sang peace ambassador dari Paradise Island ini merasa
yakin bisa membantu pemerintah Indonesia. Tetapi setelah pengamatan
lebih lanjut, dia akhirnya menolak juga dengan alasan:
Wah kalau saya mati di USA dalam menunaikan tugas, kan masih bergensi.
Tapi kalau di Indonesia bisa-bisa saya mati digrebek oleh ormas tertentu hanya gara-gara kostum saya ini.
10 CAT WOMAN (Selina Kyle)
Menolak setelah ketakutan mendengar lagu KUCING GARONG.
lagian baju saya juga terlalu seksi kan ga' sopan.. gimana ?? nanti mata laki2 pada melotot ke saya.., ga' deh..
=============
pemerintah Indonesia telah mengirimkan proposal penawaran kerja kepada
sejumlah superhero dari negara paman Sam.
Tetapi tidak diduga para superhero itu MENOLAK ajakan kerjasama
ini. Berikut adalah alasan penolakan tersebut, yang mana membuat
Indonesia TERSINGGUNG BERAT :
1. BATMAN (Bruce Wayne)
Bruce Wayne menolak ajakan kerjasama ini dengan alasan yang terlalu dibuat-buat.
Alasannya adalah:
Setalah mensurvei keberadaan jalan2 di Indonesia, BATMAN membatalkan niatnya…
bagaimana mungkin dia bisa bergerak cepat kalau terparangkap dalam
kemacetan di jalan raya… pingin lewat jalan tol…. Berarti harus mengeluarkan biaya
tambahan dan tidak menjamin terbebas dari kemacetan .. apalagi BATMAN tidak pernah
mambawa dompet
2. SPIDERMAN (Peter Parker)
Parker juga menolak ajakan kerjasama ini dengan alasan:
Di Indonesia hanya ada sedikit gedung tinggi dan jaraknya terlalu berjauhan, ini tentu akan menyulitkan dia untuk bergelantungan dari gedung ke gedung.
Dia juga takut kecantol kabel listrik dan telepon…. Yang banyak berserakan di kota-kota besar Indonesia, belum lagi antena-antena TV dan bila musim layangan tiba bisa tambah gawat.
3. INVISIBLE GIRL (Susan Storm)
Menolak dengan alasan MINDER. Kemampuan menghilang yang dimilikinya
masih jauh kalah dengan kemampuan menghilang orang2 Indonesia. Berikut
wawancara yang dilakukan dengan CNN: Dengan nada merendah, INVISIBLE GIRL mengatakan, saya sih hanya bisa menghilangkan diri saya sendiri, semantara di Indonesia banyak yang lebih hebat, bukan hanya menghilangkan diri sendiri tapi mampu menhilangkan, asset Negara yang pernah dikuasainya, barang bukti, sampai hutang yang jumlahnya luar biasa mampu dihilangkan juga..
Jadi saya minder sama orang Indonesia.
malah kaya’nya saya yang harus banyak belajar di sana,
4. THE THING (Ben Grimm)
Menolak dengan alasan:
Di Indonesia sudah banyak orang yang kulitnya lebih tebal daripada saya.
Bukan hanya kebal peluru, kebal muka sampai2 malahan sudah kebal malu segala.
Biar korupsinya dah gede biasa aja ga' merasa bersalah, padahal orang2 sekitarnya dah gerah dan sering nyindir2, tetep.. ga ngaruh.., korupsi jalan terus
5. HUMAN TORCH (Johnny Storm)
Sama dengan anggota2 'Fantastic 4' yang lain,.. :
Waaaah jangan mas…saya takut nanti dituduh sebagai dalang timbulnya kebakaran,
baik itu kebakaran hutan, kebakaran pasar, kebakaran di perkampungan yang ingin digusur, sampai kebakaran jenggot.
6. THE FLASH (Barry Allen)
Sebenarnya Pak Allen sudah mempertimbangkan untuk menerima proposal
ini, tetapi setelah melakukan survey ke berbagai lembaga pemerintahan
dia akhirnya menolak. Alasannya: di Indonesia itu tidak dibutuhkan kecepatan
Yang di butuhkan di Indonesia itu yang dramatisir.. buktinya saat pemilu kemaren ada
yang bilang Lebih Cepat Lebih Baik koq tidak terpilih…
7. SUPERMAN (Clark Kent)
Sang manusia baja ini menolak dengan sopan, karena:
Saya takut disangkut pautkan dengan tuntutan melakukan aksi pornografi dan porno
aksi karena celana dalam saya di luar.. lagian di sana ada kolor ijo
8. AQUAMAN
Merasa tidak kuat setelah mencoba pekerjaan baru di Indonesia, karena:
Gimana saya mau bisa bekerja dengan tenang di Indonesia.. Spesialisasi sayakan di air.. semantara sungai-sungai di kota-kota di Indonesia… tau sendirikan..?!
lagian takut dikejar2 ma anak2 ntar minta aqua gratis atw bapak2 untuk isi galon di rumahnya..hehe..
9. WONDER WOMAN (Diana Prince)
Pada mulanya, sang peace ambassador dari Paradise Island ini merasa
yakin bisa membantu pemerintah Indonesia. Tetapi setelah pengamatan
lebih lanjut, dia akhirnya menolak juga dengan alasan:
Wah kalau saya mati di USA dalam menunaikan tugas, kan masih bergensi.
Tapi kalau di Indonesia bisa-bisa saya mati digrebek oleh ormas tertentu hanya gara-gara kostum saya ini.
10 CAT WOMAN (Selina Kyle)
Menolak setelah ketakutan mendengar lagu KUCING GARONG.
lagian baju saya juga terlalu seksi kan ga' sopan.. gimana ?? nanti mata laki2 pada melotot ke saya.., ga' deh..
=============
Kamis, 16 Juni 2011
Abdullah Gymnastiar
Nama Lengkap : KH Abdullah Gymnastiar
Nama Sapaan : Aa Gym
Tempat Tgl Lahir : Bandung, 29 Januari 1962
Berdarah keturunan : Sunda
Pekerjaan : Wiraswasta
Jabatan : Pimpinan Pondok Pesantren Daarut Tauhid (Bandung, Jakarta, dan Batam)
Istri : Ummu Ghaida Mutmainah
Anak :
*) Ghaida Tsuraya
*) M Ghazali Al-Ghifari
*) Ghina Raudhatul Jannah
*) Ghaitsa Shofa
*) Gefira Nur Fatimah
*) M Ghaza Al-Ghazali
Pendidikan :
D-3 PAAP (Pendidikan Ahli Administrasi Perusahaan) Unpad.
PTKSI Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung, Jurusan Teknik Elektro
Fakultas Teknik Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani), Bandung.
Pendidikan keagamaan di Pondok Pesantren Miftahul Huda Manjonjaya, Tasikmalaya.
Hobby :
Mengikuti pelajaran menjadi pilot dengan memasang pemutar DVD seharga USD 2,000 pada salah satu mobilnya sehingga ia dapat menonton pelajaran-pelajaran terbangnya.
Mengendarai motor besar Kawasaki Eliminator hitamnya.
Menyelam, menembak, terjun payung, menyanyi lagu country, dan berkuda
Moto :
Hidup hanya untuk mempersembahkan yang terbaik, berarti bagi dunia dan bermakna bagi akhirat.
A. Keluarga Dan Masa Mudanya
Bermula dari bandung, beliau lahir pada hari senin tanggal 29 Januari 1962, beliau adalah putera tertua dari empat bersaudara pasangan letnan kolonel (letkol) H. Engkus Kuswara dan Ny. Hj. Yeti Rohayati. Saudara kandung lainnya adalah: Abdurrahman Yuri, Agung Gunmartin, dan Fathimah Genstreed.
Aa Gym lahir dari keluarga yang dikenal religius dan disiplin, meskipun religius tetapi pendidikan agama yang ditanamkan oleh orang tuanya sebenarnya sama dengan keluarga lain pada umumnya, akan tetapi disiplin ketat namun demokratis telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pola hidupnya sejak kecil, karena ayahnya adalah seorang perwira angkatan darat.
Sebgai putera seorang tentara, dia bahkan pernah diamanahkan menjadi komandan resimen mahasiswa (menwa) Akademi Teknik Jenderal Ahmad Yani, Bandung. “Disini kepanduan namanya, disiplin tidak selalu berbentuk militerisasi, kami disini menegakkan disiplin tanpa kekerasan dan kekasaran, tidak ada kekuatan tanpa disipin” ujar Aa seperti dikutip harian Kompas (22/06/2000). Dan ternyata kekuatan yang semacam inilah yang justru membuat dirinya dan dua orang adiknya memiliki rasa percaya diri, mampu hidup prihatin, pantang menyerah, da kental dengan rasa kesetiakawanan.
Dimata Aa Gym sosok sang adik (Agung Gunmartin) ternyata sangat berpengaruh. “Saya dapat pelajaran membuka mata hati saya dari adik laki-laki saya yang lumpuh seluruh tubuhnya dalam menghadapi maut” seperti yang dikutip harian Republika (07/05/2000). Dia tidak bisa melupakan saat-saat bersama adiknya yang mengalami kelumpuhan total. “Kalau kuliah saya menggendongnya” ungkapnya mengenang. Pernah suatu ketika Aa Gym menanyakan kepada sang adik “mengapa sudah tidak berdaya masih terus kuliah?” adiknya menjawab “kalau orang lain ibadahnya dengan berjuang, mudah-mudahan keinginan saya untuk terus kuliah bernilai ibadah”. Pelajaran lain yang diperoleh dari sang adik adalah dia tidak pernah mengeluh. Aa Gym masih ingat sewaktu adiknya berkata “Kalau orang lain punya bekal untuk pulang dengan berbuat sesuatu, saya ingin mengumpulkan bekal pulang dengan bersabar”.
Aa Gym mengaku bahwa guru pertamanya adalah adiknya sendiri yang biasa dipanggil A Agung. “Saya bersyukur memperoleh guru yang sosoknya seperti adik saya, guru saya adalah seorang yang lemah fisiknya. Saya diajari bahwa saya haru menghargai dan memperhatikan orang-orang yang lemah disekeliling saya”. Adik Aa Gym yang meninggal dipangkuannya inilah yang membuat perubahan-perubahan yang sangat berarti dalam diri Aa Gym selanjutnya.
Pada masa mudanya, selain menuntut ilmu dan aktif berorganisasi, Aa Gym juga memiliki kegemaran berdagang. Dialah yang memelopori pembuatan stiker-stiker barsablon yang menunjukkan kekuatan dan keindahan Islam, dia juga pernah berjualan minyak wangi. Seraya tertawa dia bercerita, pernah seharian suntuk ia membersihkan botol-botol minyak gosok PPO untuk diisi minyak wangi hasil racikannya. Seluruh hasil kerja Aa Gym akhirnya membuahkan hasil, dia kemudian dapat membeli 1 unit mobil angkutan kota (angkot) dan kadang-kadang dia yang menjadi supirnya. Jika ada acara wisuda, dia menjual baterai dan film, selain itu juga kadang-kadang dia mengamen dari satu rumah makan ke rumah makan lainnya. “Sebenarnya tujuan saya mengamen ini bukan untuk mencari uang, melainkan ingin berlatih dalam berhadapan dengan orang lain, tapi ya lumayan juga dapat uang” ujarnya.
B. Hubungan Antar Saudara
Ayah dan ibu sayalah yang mendidik saya untuk mengenal kedisplinan. Saya juga merasakan bahwa saya senantiasa dilatih untuk memegang kesetiaan. Bila saya dan adik-adik saya berkelahi, yang dihukum bukan satu orang tetapi semuanya. Mengapa? Ini lantaran anak laki-lakinya berjumlah tiga orang dan satu lagi seorang wanita.
Keadaan seperti itu sangat membekas di hati saya sehingga saya bersama saudara-saudara kandung saya sulit sekali berpisah. Saya mengalami kesulitan untuk jauh dari adik-adik saya. Maksud saya, jauh tidak secara fisik namun secara batin. Misalnya secara batiniah, saya tidak rela adik-adik saya tidak memiliki rumah ataupun kendaraan. Saya dan adik-adik ada keterikatan batin yang sangat tinggi.
Namun demikian, saya dan adik-adik saya sangat menjaga harga diri masing-masing. Adik-adik saya tidak ada yang berani meminta sesuatu kepada saya. Ini lantaran, ya itu tadi, harga diri menjadi hal yang sangat ditekankan dalam menjalani hidup.
Inilah etika keluarga yang senantiasa kami junjung tinggi. Masing-masing dari kami sangat menghormati hubungan kami yang dilandasi tidak saling meminta.Keadaan seperti ini sungguh membekas didalam diri saya. Dan apa yang saya alami di dalam keluarga saya ini saya terapkan di lingkungan pesantren saya.
Misalnya saja, suatu ketika anak saya terlambat mendaftar untuk mengikuti pesantren kilat di DT. Saya pun tidak ingin memanfaatkan posisi saya agar anak saya diprioritaskan. Meskipun anak saya menangis, saya tetap tidak mau meminta anak saya diizinkan untuk diterima.
C. Aa Gym Sebagai Kepala Keluarga
Abdullah Gymnastiar memang lebih populer dipanggil Aa Gym, karena sebagian besar jama’ahnya adalah para pemuda, Aa dalam bahasa sunda berarti kakak. Dari pernikahannya dengan Ninih Muthmainnah Muhsin (cucu dari KH. Moh Tasdiqin –pengasuh pondok pesantren Kalangsari, Cijulang, Ciamis Selatan-) Allah mengaruniakan enam orang anak yakni; Ghaida Tsuraya, Muhammad Ghazi Al-Ghifari, Ghina Raudhatul Jannah, Ghaitsa Zahira Shofa, Ghefira Nur Fathimah dan Ghaza Muhammad Al-Ghazali. Anak-anaknya tersebut dididik dengan penuh disiplin dan religius, tetapi tetap dalam suasana demokratis.
Dalam lingkungan keluarganya, Aa Gym tampaknya berusaha menciptakan suasana yang enak dan egaliter agar istri dan anak-anaknya dapat mengoreksi dirinya secara terbuka dan ikhlas. Seperti yang dituturkan oleh Aa Gym sendiri bahwa seminggu sekali biasanya dia mengumpulkan seluruh anggota keluarganya dan meminta mereka supaya menilai dirinya.
Rupanya bagi Aa Gym sendiri, kebiasaan positif semacam ini harus dipupuk agar dapat membuat dirinya tidak anti kritik. “Saya mencoba membuat diri saya terbuka dan dapat disoroti dari sudut manapun, dan saya juga membutuhkan kritik untuk memperbaiki diri saya” ungkapnya dalam salah satu wawancara.
Aa Gym kemudian berusaha melebarkan proses penilaian diri kepada kalangan santri, orang-orang yang ada di sekelilingnya dan para tetangga yang sehari-hari amat dekat dengannya. Mereka diminta agar terus-menerus mengoreksi dirinya agar supaya tetap berada di jalur yang benar dengan cara apapun. Aa Gym yakin bahwa semakin dirinya dapat dibuat terbuka dan dapat menerima kritikan orang lain tanpa kedongkolan atau kejengkelan, maka kemampuan dirinya akan semakin membaik dari hari ke hari.
Inilah barangkali akar-akar kultural yang memberikan pengaruh fundamental yang cukup signifikan dalam diri Aa Gym, sehingga ia bisa tampil menjadi sosok Kiai masa depan ummat yang bersifat terbuka dan moderat seperti sekarang ini.
D. Pendidikan Aa Gym
Latar belakang pendidikan formal Aa Gym, apalagi bila dikaitkan dengan posisi dirinya sekarang ini tampak cukup unik. Diawali dari SD (Sekolah Dasar) Sukarasa III Bandung, SMP (Sekolah Menengah Pertama) 12 Bandung, SMA (Sekolah Menegah Atas) 5 Bandung, kemudian dilanjutkan dengan kuliah selama satu tahun di Pendidikan Ahli Administrasi Perusahaan (PAAP) Unpad, terakhir di Akademi Teknik Jenderal Ahmad Yani (kini Universitas Ahmad Yani -Unjani-) hingga sarjana muda, waktu itu Aa Gym meraih gelar Bachelor of Electrical Engineering. Sebenarnya Aa Gym ingin meneruskan kuliahnya hingga S1, namun waktu itu ia sudah jarang kuliah dan dia tidak enak karena tidak mengikuti prosedur yang semestinya.
Dari prestasi akademik beliau juga masuk peringkat yng lumayan, misalnya waktu SD ia menjadi siswa berprestasi kedua dengan selisih hanya satu angka dari sang juara. Dan sewaktu kuliah pun nilai-nilai akademik Aa Gym tetap terjaga dengan baik sehingga beliau sempat terpilih untuk mewakili kampusnya dalam pemilihan mahasiswa teladan. Dengan kata lain, banyak prestasi yang diperoleh pada waktu remaja dan beranjak sebagai pemuda. Di rumah Aa Gym berjejer rapi piala dan penghargaan lain akibat prestasi Aa Gym tersebut.
Pada tahun 1990, Aa Gym telah diberi amanah oleh jama’ahnya untuk menjadi ketua Yayasan Darut Tauhid, Bandung. Dari sini terlihat bahwa secara formal Aa Gym sebenarnya tidak dibesarkan atau dididik di lingkungan pesantren yang ketat ( terutama pesantren dalam pengertian tradisional). Dalam kaitan ini Aa Gym mengakui ada hal-hal yag tidak biasa dalam perjalanan hidupnya. “Secara syari’at memang sulit diukur bagaimana saya bisa menjadi Aa yang seperti sekarang ini” ujarnya.
“Akan tetapi, lanjutnya, saya merasakan sendiri bagaimana Allah seolah-olah telah mempersiapkan diri saya untuk menjadi pejuang di jalan-Nya”. Dengan hati-hati dan tawadhu ia menuturkan pencarian jati dirinya yang diwarnai beberapa peristiwa aneh yang mungkin hanya bisa disimak lewat pendekatan imani.
E. Belajar kepada Adik
Di rumah saya itu pulalah saya kemudian menjumpai adik saya yang nomer tida yang keadaan fisiknya lemah sekali. Dimasa kecilnya, adik saya itu diambil sumsum tulang belakangnya lantaran sakit. Kalau tak salah, sakit step. Jadi, adik saya itu katanya mengalami pengeringan sumsum. Perlahan sekali mata adik saya menjadi juling. Separuh tubuhnya kaku. Jalannya pun tidak normal, yaitu dengan menggeserkan tubuhnya.
Disinilah saya seperti menjumpai sebuah kehidupan yang lain daripada yang lain. Dibalik segala kelemahannya sebagai manusia saya melihat adik saya itu sebagai orang hebat. Diantara kita sekeluarga, adik saya itu paling shaleh. Pemahaman agamanya, menurut saya terbaik diantara kami sekeluarga. Dan yang paling mengherankan saya, dia itu bicaranya bagus. Pokoknya berbobotlah.
Saya ini pernah menyabet juara pidato di kampus. Saya juga dikenal sebagai pembicara yang mampu mempengaruhi orang lain. Namun, bila dibandingkan dengan adik saya, saya kalah jauh. Kata-kata yang diucapkan adik saya ini lebih bersih ketimbang kata-kata saya. Saya merasakan sekali adik saya ini memiliki daya gugah. Saya heran sekali tentang ini.
Pokoknya, kalau dia ngomong saya merasa kalah. Saya terus merenungkan tentang hal ini. Suatu ketika, dia memberikan nasihat yang sangat mengesankan saya. Kalau tak salah, dia berkata begini,”Aa itu tidak akan pernah bahagia, kecuali Aa mengenal dan mencintai Allah. Dan Aa tidak akan pernah mencapai kemuliaan yang hakiki, kecuali Aa mengenal dan meniru Rasulullah”.
Sayalah yang kemudian mengantar adik saya yang malah terus rajin kuliah di jurusan Ekonomi Unpad. Saya senantiasa menggendongnya untuk menuju ruang kuliahnya. Saya kemudian tidur satu kamar dengan adik saya ini. Dia tak kenal menyerah,padahal keadaannya terus melemah. Duduk pun sudah tidak bisa. Tangannya pun lama-kelamaan sudah susah bergerak. namun, semua itu tidak menghalanginya untuk tidak tersenyum.
Dia senantiasa menampakkan wajah yang ceria.
Jadi, dengan keadaan adik saya seperti itu saya bisa belajar banyak. Saya waktu itu dipuji sana-sini. Saya merasakan sekali bahwa adik saya tiu jauh lebih besar daripada saya. Apa yang sudah saya capai tampak kecil dibandingkan dengan kehidupan adik saya.
Shalat tajahud pun tidak pernah dilepasnya. Sayalah yang senantiasa menggendongnya bila kami berdua akan ke mesjid. Meskipun untuk bernapas sudah susah sekali, dia tetap mendisplinkan diri untuk ke mesjid. Sampai akhirnya dia meninggal di pangkuan saya.
Dialah guru saya yang pertama. Guru pertama saya ini adalah seorang yang cacat, yang lumpuh, yang matanya juling, yang telinganya hampir tuli, yang tidak bergerak. Lalu bagaimana mungkin saya meremehkan orang lain, bila guru saya sendiri lebih muda daripada saya dan seorang yang tidak berdaya? Ini merupakan pelajaran yang teramat berharga dari Allah SWT.
Dari pengalaman berinteraksi dengan adik saya, yang merupakan guru pertama saya, inilah saya kemudian mencari guru-guru yang lain. Jadi kalau masyarakat mau tahu bagaimana Allah membimbing saya, ya Dia berika kepada saya guru yang jauh lebih muda dari saya, orang yang lemah tak berdaya, orang yang cacat, lumpuh. Dan sekarang, kalau saya didengar oleh begitu banyak orang, saya berharap pahalanya diberikan kepada guru pertama saya itu.
F. Peristiwa Yang Merubah Jalan Hidup Aa Gym
Bermula dari sebuah pengalaman langka, nyaris sekeluarga (Ibu, Adik dan Dirinya sendiri) pada suatu ketika dalam tidur mereka secara bergiliran bertemu dengan Rasulullah SAW……Sang Ibu bermimpi mendapati Rasulullah sedang mencari-cari seseorang………Pada malam yang lain giliran salah seorang adiknya bermimpi Rasulullah mendatangi rumah mereka. Ketika itu Ayahnya langsung menyuruh Gymnastiar, “Gym, ayolah temani Rasul”. Ketika ditemui ternyata Rasul menyuruh Gymnastiar untuk menyeru orang-orang agar mendirikan shalat.
Beberapa malam setelah itu, Aa memimpikan hal yang sama. dalam mimpinya, dia sempat ikut shalat berjama’ah dengan Rasulullah dan keempat sahabat (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali) pada saat itu Aa Gym berdiri disamping Ali, sementara Rasulullah bertindak sebagai imam. Namun sebelum mimpi ini, terlebih dahulu ia bermimpi didatangi oleh seorang tua yang berjubah putih bersih dan kemudian mencuci mukanya dengan ekor bulu merak yang disaputi madu. Setelah itu, orang tua tersebut berkata, “Insya Allah kelak ia akan menjadi orang yang mulia”. Aa Gym mengaku sulit melupakan mimpi yang ini.
Setelah peristiwa mimpi itu, Aa Gym merasa mengalami guncangan batin, rasa takutnya akan perbuatan dosa membuat dia berperilaku aneh dimata orang lain, misalnya sering Aa Gym menangis ketika ada orang yang menyebut nama Allah, atau hatinya jengkel bila pagi tiba karena sedang asyik bertahajjud. Melihat tingkah lakunya ini, orang tuanya bahkan sempat menyarankan dirinya agar mengunjungi psikiater.
Salah satu pengalaman menarik yang diungkapkannya belakangan ini berkaitan dengan masa-masa menjalani pengalaman spiritual dulu adalah tentang kata “Allah” yang senantiasa tidak pernah lepas dari bibirnya. Kata Aa Gym pula, sang istri dulu tertarik pada dirinya lantaran dia sering mengucapkan “Bismillah” dan “Alhamdulillah”. Dengan kata lain, pada masa-masa itu Aa Gym telah mengalami mabuk kepayang kepada Allah SWT.
Menurut Aa Gym setelah melalui proses pencarian itu, dia bertemu dengan empat orang ulama yang sangat memahami keadaannya. Seorang ulma sepuh yang pertama kali ditemuinya itu mengatakan bahwa dia telah dikaruniai tanazzul oleh Allah, yakni proses secara langsung dibukakan hatinya untuk mengenal-Nya tanpa proses riyadhoh. Sementara KH. Khoer Affandi, seorang ulama tasawwuf terkenal dan juga pimpinan Pondok Pesantren Miftahul Huda, Tasikmalaya, yang ditemuinya berdasarkan saran ulama sepuh yang pertama kali ditemuinya tersebut mengatakan bahwa dirinya telah dikaruniai ma’rifatullah. Dua ulama lain juga mengatakan hal yang serupa dengan ulama tasawwuf diatas, keduanya adalah Ayah dan Kakek seorang wanita yang kini menjadi pendamping hidupnya. Keempat ulama ini bagi Aa Gym, jasanya jelas tidak dapat dilupakan karena telah memberi les kepadanya tanpa harus nyantri bertahun-tahun lamanya.
“Mungkin berkat ilmu tersebut, lidah dan pikiran saya dimudahkan oleh-Nya untuk menjelaskan sesuatu kepada masyarakat” ujarnya. Memang diakui oleh Aa Gym sendiri, hampir setiap hari dia dapat mengajar sekaligus belajar kepada banyak orang. Dia lebih sering menimba ilmu dari lingkungan sekitarnya, terutama kepada orang-orang yang dijumpainya. Dengan cara seperti itulah materi-materi yang disampaikan oleh Aa Gym bisa sesuai dengan kehidupan dan perkembangan masyarakat pada saat itu.
G. Karya-karya Aa Gym
Diantara tulisan lepas beliau adalah : Getaran Allah di Padang Arafah, Indahnya Hidup Bersama Rasulullah, Nilai hakiki Do’a, Seni Menata Hati Dalam Bergaul, Membangun Kredibilitas : Kiat Praktis, Menjadi Orang Terpercaya, Seni Mengkritik dan Menerima Kritik, Mengatasi Minder, Ma’rifatullah, Lima Kiat Praktis Menghadapi Persoalan Hidup, Bersikap Ramah Itu Indah dan Mulia, Menuju Keluarga Sakinah, dll.
H. Masalah kontroversial yang di alami A’a Gym
Hasil wawancara dari narasumber terdekat, Adi sumaryadi (salah satu murid a’a gym)
Alasan Kenapa Aa Gym Menikah Lagi
Pagi ini seperti tidak ada masalah apapun di Daarut Tauhiid, saya datang tepat pukul 06.50 disambut jabatan tangan oleh Aa Gym, tidak ada yang beda sedikitpun dengan teh ninih, teteh masih menerima Santri Akhwat yang akan naik ke mesjid. Tausiyah husus santri pun dimulai, hanya saja senin kali ini banyak wartawan yang meliput. Alhikam, kitab yang biasa kita bahas pun selesai dibahas dan berdirilah Pa Pal Gunadi, salah satu sesepuh kami. dan menyampaikan beberapa hikmah yang bisa diambil dari peristiwa ini semua, inilah yang menjadi pembuka dialog antara santri dan Aa Gym. Ada beberapa hal yang perlu pembaca ketahui berikut ini adalah beberapa alasan yang sesusungguhnya yang disampaikan oleh Aa :
1. Aa ingin memperlihatkan kepada Ummat bahwa Poligami itu halal, dibolehkan namun tidak dianjurkanoleh Allah.
2. Aa ingin mengukur tingkat keberhasilan dari dakwah beliau yang ternyata Aa masih gagal membawa ummat untuk dekat dengan Allah, Kagum akan allah, selama ini ternyata kebanyakan
masih yang kagum akan Sosok Aa Gym Semata.
3. Aa ingin memberikan semacam ujian bagi santri dan Daarut Tauhiid apakah selama ini masih tergantung kepada nama Abdullah Gymnastiar atau kepada Allah.
4. Hal lain yang mungkin belum diketahui teman-teman semuanya, alasan ini disampaikan oleh Aa sambil menangis (saya jadi ikut menangis), memang alasan ini tidak mungkin bisa ditangkap bagi
yang belum tau sedikitpun tentang ilmu Ma’rifatullah. Kenapa Alasan Aa menikah lagi ternyata, Aa sangat dan sangat ingin Teteh (Teh Ninih) menjadi Bidadari di Syurga, dan teteh akan sangat
terhalangi jalannya jika masih terlalu cinta kepada Suaminya (Aa) dan ini adalah ungkapan rasa cinta Aa kepada teh ninih. Saya yakin, alasan ini yang mendasari Aa nikah lagi disamping
alasan yang lain.
5. Aa ingin menjadikan Teh Ninih menjadi Pendakwah sejati dan panutan serta idola semua kaum, terutama akhwat, karena selama ini masih mengidolakan Aa Gym.
Itu yang bisa diinformasikan kepada teman-teman semua mudah-mudahan bisa diambil hikmah dari semua
ini.
From : Didamenak's Blog
Nama Sapaan : Aa Gym
Tempat Tgl Lahir : Bandung, 29 Januari 1962
Berdarah keturunan : Sunda
Pekerjaan : Wiraswasta
Jabatan : Pimpinan Pondok Pesantren Daarut Tauhid (Bandung, Jakarta, dan Batam)
Istri : Ummu Ghaida Mutmainah
Anak :
*) Ghaida Tsuraya
*) M Ghazali Al-Ghifari
*) Ghina Raudhatul Jannah
*) Ghaitsa Shofa
*) Gefira Nur Fatimah
*) M Ghaza Al-Ghazali
Pendidikan :
D-3 PAAP (Pendidikan Ahli Administrasi Perusahaan) Unpad.
PTKSI Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung, Jurusan Teknik Elektro
Fakultas Teknik Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani), Bandung.
Pendidikan keagamaan di Pondok Pesantren Miftahul Huda Manjonjaya, Tasikmalaya.
Hobby :
Mengikuti pelajaran menjadi pilot dengan memasang pemutar DVD seharga USD 2,000 pada salah satu mobilnya sehingga ia dapat menonton pelajaran-pelajaran terbangnya.
Mengendarai motor besar Kawasaki Eliminator hitamnya.
Menyelam, menembak, terjun payung, menyanyi lagu country, dan berkuda
Moto :
Hidup hanya untuk mempersembahkan yang terbaik, berarti bagi dunia dan bermakna bagi akhirat.
A. Keluarga Dan Masa Mudanya
Bermula dari bandung, beliau lahir pada hari senin tanggal 29 Januari 1962, beliau adalah putera tertua dari empat bersaudara pasangan letnan kolonel (letkol) H. Engkus Kuswara dan Ny. Hj. Yeti Rohayati. Saudara kandung lainnya adalah: Abdurrahman Yuri, Agung Gunmartin, dan Fathimah Genstreed.
Aa Gym lahir dari keluarga yang dikenal religius dan disiplin, meskipun religius tetapi pendidikan agama yang ditanamkan oleh orang tuanya sebenarnya sama dengan keluarga lain pada umumnya, akan tetapi disiplin ketat namun demokratis telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pola hidupnya sejak kecil, karena ayahnya adalah seorang perwira angkatan darat.
Sebgai putera seorang tentara, dia bahkan pernah diamanahkan menjadi komandan resimen mahasiswa (menwa) Akademi Teknik Jenderal Ahmad Yani, Bandung. “Disini kepanduan namanya, disiplin tidak selalu berbentuk militerisasi, kami disini menegakkan disiplin tanpa kekerasan dan kekasaran, tidak ada kekuatan tanpa disipin” ujar Aa seperti dikutip harian Kompas (22/06/2000). Dan ternyata kekuatan yang semacam inilah yang justru membuat dirinya dan dua orang adiknya memiliki rasa percaya diri, mampu hidup prihatin, pantang menyerah, da kental dengan rasa kesetiakawanan.
Dimata Aa Gym sosok sang adik (Agung Gunmartin) ternyata sangat berpengaruh. “Saya dapat pelajaran membuka mata hati saya dari adik laki-laki saya yang lumpuh seluruh tubuhnya dalam menghadapi maut” seperti yang dikutip harian Republika (07/05/2000). Dia tidak bisa melupakan saat-saat bersama adiknya yang mengalami kelumpuhan total. “Kalau kuliah saya menggendongnya” ungkapnya mengenang. Pernah suatu ketika Aa Gym menanyakan kepada sang adik “mengapa sudah tidak berdaya masih terus kuliah?” adiknya menjawab “kalau orang lain ibadahnya dengan berjuang, mudah-mudahan keinginan saya untuk terus kuliah bernilai ibadah”. Pelajaran lain yang diperoleh dari sang adik adalah dia tidak pernah mengeluh. Aa Gym masih ingat sewaktu adiknya berkata “Kalau orang lain punya bekal untuk pulang dengan berbuat sesuatu, saya ingin mengumpulkan bekal pulang dengan bersabar”.
Aa Gym mengaku bahwa guru pertamanya adalah adiknya sendiri yang biasa dipanggil A Agung. “Saya bersyukur memperoleh guru yang sosoknya seperti adik saya, guru saya adalah seorang yang lemah fisiknya. Saya diajari bahwa saya haru menghargai dan memperhatikan orang-orang yang lemah disekeliling saya”. Adik Aa Gym yang meninggal dipangkuannya inilah yang membuat perubahan-perubahan yang sangat berarti dalam diri Aa Gym selanjutnya.
Pada masa mudanya, selain menuntut ilmu dan aktif berorganisasi, Aa Gym juga memiliki kegemaran berdagang. Dialah yang memelopori pembuatan stiker-stiker barsablon yang menunjukkan kekuatan dan keindahan Islam, dia juga pernah berjualan minyak wangi. Seraya tertawa dia bercerita, pernah seharian suntuk ia membersihkan botol-botol minyak gosok PPO untuk diisi minyak wangi hasil racikannya. Seluruh hasil kerja Aa Gym akhirnya membuahkan hasil, dia kemudian dapat membeli 1 unit mobil angkutan kota (angkot) dan kadang-kadang dia yang menjadi supirnya. Jika ada acara wisuda, dia menjual baterai dan film, selain itu juga kadang-kadang dia mengamen dari satu rumah makan ke rumah makan lainnya. “Sebenarnya tujuan saya mengamen ini bukan untuk mencari uang, melainkan ingin berlatih dalam berhadapan dengan orang lain, tapi ya lumayan juga dapat uang” ujarnya.
B. Hubungan Antar Saudara
Ayah dan ibu sayalah yang mendidik saya untuk mengenal kedisplinan. Saya juga merasakan bahwa saya senantiasa dilatih untuk memegang kesetiaan. Bila saya dan adik-adik saya berkelahi, yang dihukum bukan satu orang tetapi semuanya. Mengapa? Ini lantaran anak laki-lakinya berjumlah tiga orang dan satu lagi seorang wanita.
Keadaan seperti itu sangat membekas di hati saya sehingga saya bersama saudara-saudara kandung saya sulit sekali berpisah. Saya mengalami kesulitan untuk jauh dari adik-adik saya. Maksud saya, jauh tidak secara fisik namun secara batin. Misalnya secara batiniah, saya tidak rela adik-adik saya tidak memiliki rumah ataupun kendaraan. Saya dan adik-adik ada keterikatan batin yang sangat tinggi.
Namun demikian, saya dan adik-adik saya sangat menjaga harga diri masing-masing. Adik-adik saya tidak ada yang berani meminta sesuatu kepada saya. Ini lantaran, ya itu tadi, harga diri menjadi hal yang sangat ditekankan dalam menjalani hidup.
Inilah etika keluarga yang senantiasa kami junjung tinggi. Masing-masing dari kami sangat menghormati hubungan kami yang dilandasi tidak saling meminta.Keadaan seperti ini sungguh membekas didalam diri saya. Dan apa yang saya alami di dalam keluarga saya ini saya terapkan di lingkungan pesantren saya.
Misalnya saja, suatu ketika anak saya terlambat mendaftar untuk mengikuti pesantren kilat di DT. Saya pun tidak ingin memanfaatkan posisi saya agar anak saya diprioritaskan. Meskipun anak saya menangis, saya tetap tidak mau meminta anak saya diizinkan untuk diterima.
C. Aa Gym Sebagai Kepala Keluarga
Abdullah Gymnastiar memang lebih populer dipanggil Aa Gym, karena sebagian besar jama’ahnya adalah para pemuda, Aa dalam bahasa sunda berarti kakak. Dari pernikahannya dengan Ninih Muthmainnah Muhsin (cucu dari KH. Moh Tasdiqin –pengasuh pondok pesantren Kalangsari, Cijulang, Ciamis Selatan-) Allah mengaruniakan enam orang anak yakni; Ghaida Tsuraya, Muhammad Ghazi Al-Ghifari, Ghina Raudhatul Jannah, Ghaitsa Zahira Shofa, Ghefira Nur Fathimah dan Ghaza Muhammad Al-Ghazali. Anak-anaknya tersebut dididik dengan penuh disiplin dan religius, tetapi tetap dalam suasana demokratis.
Dalam lingkungan keluarganya, Aa Gym tampaknya berusaha menciptakan suasana yang enak dan egaliter agar istri dan anak-anaknya dapat mengoreksi dirinya secara terbuka dan ikhlas. Seperti yang dituturkan oleh Aa Gym sendiri bahwa seminggu sekali biasanya dia mengumpulkan seluruh anggota keluarganya dan meminta mereka supaya menilai dirinya.
Rupanya bagi Aa Gym sendiri, kebiasaan positif semacam ini harus dipupuk agar dapat membuat dirinya tidak anti kritik. “Saya mencoba membuat diri saya terbuka dan dapat disoroti dari sudut manapun, dan saya juga membutuhkan kritik untuk memperbaiki diri saya” ungkapnya dalam salah satu wawancara.
Aa Gym kemudian berusaha melebarkan proses penilaian diri kepada kalangan santri, orang-orang yang ada di sekelilingnya dan para tetangga yang sehari-hari amat dekat dengannya. Mereka diminta agar terus-menerus mengoreksi dirinya agar supaya tetap berada di jalur yang benar dengan cara apapun. Aa Gym yakin bahwa semakin dirinya dapat dibuat terbuka dan dapat menerima kritikan orang lain tanpa kedongkolan atau kejengkelan, maka kemampuan dirinya akan semakin membaik dari hari ke hari.
Inilah barangkali akar-akar kultural yang memberikan pengaruh fundamental yang cukup signifikan dalam diri Aa Gym, sehingga ia bisa tampil menjadi sosok Kiai masa depan ummat yang bersifat terbuka dan moderat seperti sekarang ini.
D. Pendidikan Aa Gym
Latar belakang pendidikan formal Aa Gym, apalagi bila dikaitkan dengan posisi dirinya sekarang ini tampak cukup unik. Diawali dari SD (Sekolah Dasar) Sukarasa III Bandung, SMP (Sekolah Menengah Pertama) 12 Bandung, SMA (Sekolah Menegah Atas) 5 Bandung, kemudian dilanjutkan dengan kuliah selama satu tahun di Pendidikan Ahli Administrasi Perusahaan (PAAP) Unpad, terakhir di Akademi Teknik Jenderal Ahmad Yani (kini Universitas Ahmad Yani -Unjani-) hingga sarjana muda, waktu itu Aa Gym meraih gelar Bachelor of Electrical Engineering. Sebenarnya Aa Gym ingin meneruskan kuliahnya hingga S1, namun waktu itu ia sudah jarang kuliah dan dia tidak enak karena tidak mengikuti prosedur yang semestinya.
Dari prestasi akademik beliau juga masuk peringkat yng lumayan, misalnya waktu SD ia menjadi siswa berprestasi kedua dengan selisih hanya satu angka dari sang juara. Dan sewaktu kuliah pun nilai-nilai akademik Aa Gym tetap terjaga dengan baik sehingga beliau sempat terpilih untuk mewakili kampusnya dalam pemilihan mahasiswa teladan. Dengan kata lain, banyak prestasi yang diperoleh pada waktu remaja dan beranjak sebagai pemuda. Di rumah Aa Gym berjejer rapi piala dan penghargaan lain akibat prestasi Aa Gym tersebut.
Pada tahun 1990, Aa Gym telah diberi amanah oleh jama’ahnya untuk menjadi ketua Yayasan Darut Tauhid, Bandung. Dari sini terlihat bahwa secara formal Aa Gym sebenarnya tidak dibesarkan atau dididik di lingkungan pesantren yang ketat ( terutama pesantren dalam pengertian tradisional). Dalam kaitan ini Aa Gym mengakui ada hal-hal yag tidak biasa dalam perjalanan hidupnya. “Secara syari’at memang sulit diukur bagaimana saya bisa menjadi Aa yang seperti sekarang ini” ujarnya.
“Akan tetapi, lanjutnya, saya merasakan sendiri bagaimana Allah seolah-olah telah mempersiapkan diri saya untuk menjadi pejuang di jalan-Nya”. Dengan hati-hati dan tawadhu ia menuturkan pencarian jati dirinya yang diwarnai beberapa peristiwa aneh yang mungkin hanya bisa disimak lewat pendekatan imani.
E. Belajar kepada Adik
Di rumah saya itu pulalah saya kemudian menjumpai adik saya yang nomer tida yang keadaan fisiknya lemah sekali. Dimasa kecilnya, adik saya itu diambil sumsum tulang belakangnya lantaran sakit. Kalau tak salah, sakit step. Jadi, adik saya itu katanya mengalami pengeringan sumsum. Perlahan sekali mata adik saya menjadi juling. Separuh tubuhnya kaku. Jalannya pun tidak normal, yaitu dengan menggeserkan tubuhnya.
Disinilah saya seperti menjumpai sebuah kehidupan yang lain daripada yang lain. Dibalik segala kelemahannya sebagai manusia saya melihat adik saya itu sebagai orang hebat. Diantara kita sekeluarga, adik saya itu paling shaleh. Pemahaman agamanya, menurut saya terbaik diantara kami sekeluarga. Dan yang paling mengherankan saya, dia itu bicaranya bagus. Pokoknya berbobotlah.
Saya ini pernah menyabet juara pidato di kampus. Saya juga dikenal sebagai pembicara yang mampu mempengaruhi orang lain. Namun, bila dibandingkan dengan adik saya, saya kalah jauh. Kata-kata yang diucapkan adik saya ini lebih bersih ketimbang kata-kata saya. Saya merasakan sekali adik saya ini memiliki daya gugah. Saya heran sekali tentang ini.
Pokoknya, kalau dia ngomong saya merasa kalah. Saya terus merenungkan tentang hal ini. Suatu ketika, dia memberikan nasihat yang sangat mengesankan saya. Kalau tak salah, dia berkata begini,”Aa itu tidak akan pernah bahagia, kecuali Aa mengenal dan mencintai Allah. Dan Aa tidak akan pernah mencapai kemuliaan yang hakiki, kecuali Aa mengenal dan meniru Rasulullah”.
Sayalah yang kemudian mengantar adik saya yang malah terus rajin kuliah di jurusan Ekonomi Unpad. Saya senantiasa menggendongnya untuk menuju ruang kuliahnya. Saya kemudian tidur satu kamar dengan adik saya ini. Dia tak kenal menyerah,padahal keadaannya terus melemah. Duduk pun sudah tidak bisa. Tangannya pun lama-kelamaan sudah susah bergerak. namun, semua itu tidak menghalanginya untuk tidak tersenyum.
Dia senantiasa menampakkan wajah yang ceria.
Jadi, dengan keadaan adik saya seperti itu saya bisa belajar banyak. Saya waktu itu dipuji sana-sini. Saya merasakan sekali bahwa adik saya tiu jauh lebih besar daripada saya. Apa yang sudah saya capai tampak kecil dibandingkan dengan kehidupan adik saya.
Shalat tajahud pun tidak pernah dilepasnya. Sayalah yang senantiasa menggendongnya bila kami berdua akan ke mesjid. Meskipun untuk bernapas sudah susah sekali, dia tetap mendisplinkan diri untuk ke mesjid. Sampai akhirnya dia meninggal di pangkuan saya.
Dialah guru saya yang pertama. Guru pertama saya ini adalah seorang yang cacat, yang lumpuh, yang matanya juling, yang telinganya hampir tuli, yang tidak bergerak. Lalu bagaimana mungkin saya meremehkan orang lain, bila guru saya sendiri lebih muda daripada saya dan seorang yang tidak berdaya? Ini merupakan pelajaran yang teramat berharga dari Allah SWT.
Dari pengalaman berinteraksi dengan adik saya, yang merupakan guru pertama saya, inilah saya kemudian mencari guru-guru yang lain. Jadi kalau masyarakat mau tahu bagaimana Allah membimbing saya, ya Dia berika kepada saya guru yang jauh lebih muda dari saya, orang yang lemah tak berdaya, orang yang cacat, lumpuh. Dan sekarang, kalau saya didengar oleh begitu banyak orang, saya berharap pahalanya diberikan kepada guru pertama saya itu.
F. Peristiwa Yang Merubah Jalan Hidup Aa Gym
Bermula dari sebuah pengalaman langka, nyaris sekeluarga (Ibu, Adik dan Dirinya sendiri) pada suatu ketika dalam tidur mereka secara bergiliran bertemu dengan Rasulullah SAW……Sang Ibu bermimpi mendapati Rasulullah sedang mencari-cari seseorang………Pada malam yang lain giliran salah seorang adiknya bermimpi Rasulullah mendatangi rumah mereka. Ketika itu Ayahnya langsung menyuruh Gymnastiar, “Gym, ayolah temani Rasul”. Ketika ditemui ternyata Rasul menyuruh Gymnastiar untuk menyeru orang-orang agar mendirikan shalat.
Beberapa malam setelah itu, Aa memimpikan hal yang sama. dalam mimpinya, dia sempat ikut shalat berjama’ah dengan Rasulullah dan keempat sahabat (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali) pada saat itu Aa Gym berdiri disamping Ali, sementara Rasulullah bertindak sebagai imam. Namun sebelum mimpi ini, terlebih dahulu ia bermimpi didatangi oleh seorang tua yang berjubah putih bersih dan kemudian mencuci mukanya dengan ekor bulu merak yang disaputi madu. Setelah itu, orang tua tersebut berkata, “Insya Allah kelak ia akan menjadi orang yang mulia”. Aa Gym mengaku sulit melupakan mimpi yang ini.
Setelah peristiwa mimpi itu, Aa Gym merasa mengalami guncangan batin, rasa takutnya akan perbuatan dosa membuat dia berperilaku aneh dimata orang lain, misalnya sering Aa Gym menangis ketika ada orang yang menyebut nama Allah, atau hatinya jengkel bila pagi tiba karena sedang asyik bertahajjud. Melihat tingkah lakunya ini, orang tuanya bahkan sempat menyarankan dirinya agar mengunjungi psikiater.
Salah satu pengalaman menarik yang diungkapkannya belakangan ini berkaitan dengan masa-masa menjalani pengalaman spiritual dulu adalah tentang kata “Allah” yang senantiasa tidak pernah lepas dari bibirnya. Kata Aa Gym pula, sang istri dulu tertarik pada dirinya lantaran dia sering mengucapkan “Bismillah” dan “Alhamdulillah”. Dengan kata lain, pada masa-masa itu Aa Gym telah mengalami mabuk kepayang kepada Allah SWT.
Menurut Aa Gym setelah melalui proses pencarian itu, dia bertemu dengan empat orang ulama yang sangat memahami keadaannya. Seorang ulma sepuh yang pertama kali ditemuinya itu mengatakan bahwa dia telah dikaruniai tanazzul oleh Allah, yakni proses secara langsung dibukakan hatinya untuk mengenal-Nya tanpa proses riyadhoh. Sementara KH. Khoer Affandi, seorang ulama tasawwuf terkenal dan juga pimpinan Pondok Pesantren Miftahul Huda, Tasikmalaya, yang ditemuinya berdasarkan saran ulama sepuh yang pertama kali ditemuinya tersebut mengatakan bahwa dirinya telah dikaruniai ma’rifatullah. Dua ulama lain juga mengatakan hal yang serupa dengan ulama tasawwuf diatas, keduanya adalah Ayah dan Kakek seorang wanita yang kini menjadi pendamping hidupnya. Keempat ulama ini bagi Aa Gym, jasanya jelas tidak dapat dilupakan karena telah memberi les kepadanya tanpa harus nyantri bertahun-tahun lamanya.
“Mungkin berkat ilmu tersebut, lidah dan pikiran saya dimudahkan oleh-Nya untuk menjelaskan sesuatu kepada masyarakat” ujarnya. Memang diakui oleh Aa Gym sendiri, hampir setiap hari dia dapat mengajar sekaligus belajar kepada banyak orang. Dia lebih sering menimba ilmu dari lingkungan sekitarnya, terutama kepada orang-orang yang dijumpainya. Dengan cara seperti itulah materi-materi yang disampaikan oleh Aa Gym bisa sesuai dengan kehidupan dan perkembangan masyarakat pada saat itu.
G. Karya-karya Aa Gym
Diantara tulisan lepas beliau adalah : Getaran Allah di Padang Arafah, Indahnya Hidup Bersama Rasulullah, Nilai hakiki Do’a, Seni Menata Hati Dalam Bergaul, Membangun Kredibilitas : Kiat Praktis, Menjadi Orang Terpercaya, Seni Mengkritik dan Menerima Kritik, Mengatasi Minder, Ma’rifatullah, Lima Kiat Praktis Menghadapi Persoalan Hidup, Bersikap Ramah Itu Indah dan Mulia, Menuju Keluarga Sakinah, dll.
H. Masalah kontroversial yang di alami A’a Gym
Hasil wawancara dari narasumber terdekat, Adi sumaryadi (salah satu murid a’a gym)
Alasan Kenapa Aa Gym Menikah Lagi
Pagi ini seperti tidak ada masalah apapun di Daarut Tauhiid, saya datang tepat pukul 06.50 disambut jabatan tangan oleh Aa Gym, tidak ada yang beda sedikitpun dengan teh ninih, teteh masih menerima Santri Akhwat yang akan naik ke mesjid. Tausiyah husus santri pun dimulai, hanya saja senin kali ini banyak wartawan yang meliput. Alhikam, kitab yang biasa kita bahas pun selesai dibahas dan berdirilah Pa Pal Gunadi, salah satu sesepuh kami. dan menyampaikan beberapa hikmah yang bisa diambil dari peristiwa ini semua, inilah yang menjadi pembuka dialog antara santri dan Aa Gym. Ada beberapa hal yang perlu pembaca ketahui berikut ini adalah beberapa alasan yang sesusungguhnya yang disampaikan oleh Aa :
1. Aa ingin memperlihatkan kepada Ummat bahwa Poligami itu halal, dibolehkan namun tidak dianjurkanoleh Allah.
2. Aa ingin mengukur tingkat keberhasilan dari dakwah beliau yang ternyata Aa masih gagal membawa ummat untuk dekat dengan Allah, Kagum akan allah, selama ini ternyata kebanyakan
masih yang kagum akan Sosok Aa Gym Semata.
3. Aa ingin memberikan semacam ujian bagi santri dan Daarut Tauhiid apakah selama ini masih tergantung kepada nama Abdullah Gymnastiar atau kepada Allah.
4. Hal lain yang mungkin belum diketahui teman-teman semuanya, alasan ini disampaikan oleh Aa sambil menangis (saya jadi ikut menangis), memang alasan ini tidak mungkin bisa ditangkap bagi
yang belum tau sedikitpun tentang ilmu Ma’rifatullah. Kenapa Alasan Aa menikah lagi ternyata, Aa sangat dan sangat ingin Teteh (Teh Ninih) menjadi Bidadari di Syurga, dan teteh akan sangat
terhalangi jalannya jika masih terlalu cinta kepada Suaminya (Aa) dan ini adalah ungkapan rasa cinta Aa kepada teh ninih. Saya yakin, alasan ini yang mendasari Aa nikah lagi disamping
alasan yang lain.
5. Aa ingin menjadikan Teh Ninih menjadi Pendakwah sejati dan panutan serta idola semua kaum, terutama akhwat, karena selama ini masih mengidolakan Aa Gym.
Itu yang bisa diinformasikan kepada teman-teman semua mudah-mudahan bisa diambil hikmah dari semua
ini.
From : Didamenak's Blog
Ust. Rahmat Abdullah - Sang Murabbi / Guru
Rahmat Abdullah, yang seringkali dipanggil Bang Mamak oleh warga Kampung Kuningan ini juga dikenal dengan panggilan syeikh tarbiyah oleh jam'ahnya lahir di Jakarta 3 Juli 1953. Meskipun lahir dari pasangan asli Betawi, namun ia selalu menghindari sebutan Betawi yang dianggapnya berbau kolonial Belanda. Ia lebih bangga dengan menyebut Jayakarta, karena baginya itulah nama yang diberikan Pangeran Fatahillah kepada tanah kelahirannya. Sebuah sikap yang tak lain lahir dari semangat anti kolonialisme dan imperialisme, serta kebanggaan (izzah) terhadap warisan perjuangan Islam.
Biografi Ust. Rahmat Abdullah dari Biografi Web
Pada usia 11 tahun, Rahmat kecil harus menapaki hidupnya tanpa asuhan sang ayah, karena saat itu ia telah menjadi seorang anak yatim. Sang ayah hanya mewariskan pada dirinya usaha percetakan-sablon, yang ia kelola bersama sang kakak dan adik untuk menutupi segala biaya dan beban hidup yang mesti ditanggungnya.
Meskipun begitu, Rahmat bukanlah remaja yang cengeng. Walaupun harus ikut membanting tulang mengais rezeki, ia tetap tak mau tertinggal dalam pendidikan. Awal pendidikan resminya ia mulai sejak masuk sekolah dasar negeri di bilangan Kuningan, yang kala itu masih berupa perkampungan Betawi, belum berdiri gedung-gedung pencakar langit. Dan seperti umumnya generasi saat itu, Rahmat kecil setiap pagi mengaji (belajar membaca Al Qur-an, baca tulis Arab, kajian aqidah, akhlaq & fiqh dengan metode baca kitab berbahasa Arab, nukil terjemah dan syarah ustadz) baru siang harinya dilanjutkan dengan sekolah dasar.
Tahun 1966, setelah lulus SD, yang tahun ajarannya diperpanjang setengah tahun karena terjadi peristiwa G-30-S/PKI, Rahmat masuk SMP. Tapi kali ini ia mesti keluar lagi karena terjadi dilema dalam dirinya. Ironi memang, di satu sisi keaktifan dirinya sebagai aktifis demonstran anggota KAPPI & KAMI yang dikenal sebagai angkatan 66, namun di hari Jum’at sekolahnya justru masuk pukul 11.30, tepat saat shalat Jum’at.
Karenanya pada permulaan tahun ajaran berikutnya (1967/1968) Rahmat memutuskan pindah ke Ma’had Assyafi’iyah, Bali Matraman. Dari hasil test dan interview, ia harus duduk di kelas II Madrasah Ibtidaiyah (tingkat SD). Namun Rahmat tidak puas dengan hasil itu, ia mencoba melakukan lobby dengan seorang ustadz, untuk melakukan test ulang hingga ia pindah duduk di kelas III.
Permulaan belajar di Ma’had ini, bagi Rahmat begitu berbekas. Apalagi ia harus ikut mengaji pada seorang ustadz senior Madrasah Tsanawiyah (Tingkat SMP) yang sangat streng dalam berbicara dan mengajar dengan bahasa Arab. Namun tak selang lama, ternyata sang guru kelas ini justru sama-sama mengaji bersamanya.
Rahmat memang langsung meloncat naik ke kelas V, di sinilah ia belajar ilmu nahwu dasar yang sangat ia sukai karena dengan ilmu itu terkuaklah setiap misteri intonasi dan narasi penyiar Shauth Indonesia, yang sering disiarkan oleh radio RRI dengan berbahasa Arab. Siaran inilah yang menjadi acara kesukaan Rahmat. Sehingga meski hidupnya serba kekurangan, namun karena sadar akan pentingnya komunikasi dan informasi, Rahmat merelakan uang makannya untuk dikumpulkan sedikit demi sedikit dari hasil jerih payahnya mencari pelanggan sablon, untuk membeli radio. Padahal saat itu, radio masih menjadi status simbol bagi orang-orang kaya zaman itu.
Selepas kelas V, Rahmat melanjutkan di Madrasah Tsanawiyah Assyafi’iyah. Di MTs ini ia belajar ushul fiqh, musthalah hadits, psikologi & ilmu pendidikan, di samping tetap belajar ilmu nahwu, sharf dan balaghah. Tapi pelajaran yang paling ia sukai adalah talaqqi. Biasanya talaqqi ini dilakukan langsung dengan para masyaikh (kiai) serta bimbingan langsung sang orator pembangkit semangat yang selalu memberikan inspirasi Rahmat muda, KH Abdullah Syafi’i.
Di saat ini pula Rahmat merintis dakwah dengan mengajar di Ma’had Asyafi’iyah dan Darul Muqorrobin, Karet Kuningan. Di tempat inilah Rahmat remaja mengabdikan dirinya sebagai guru, pendidik dan mengajarkan berbagai ilmu. Keseharian ini ia jalani bertahun-tahun dengan berjalan kaki dari Bali Matraman ke Karet Kuningan. Bahkan untuk memberikan pelajaran tambahan berupa les privat pun ia lakukan dengan berjalan kaki masuk ke lorong-lorong jalanan Jakarta hingga larut malam.
Semangat hidup dan dakwah ini juga ia tuangkan dalam berbagai untaian bait-bait syair, puisi serta berbagai tulisan artikel kecil yang ia kirim ke berbagai media. Tak jarang ia juga berlatih bermain teater bersama rekan-rekan guru atau teman-teman seperjuangannya.
Dari jerih payah inilah, selain bisa membeli sebuah motor Honda 66 atau sering disebut motor Chips, Rahmat Abdullah mampu mengasah watak dan pikirannya sehingga menjadi murid terbaik dan murid kesayangan dari KH. Abdullah Syafi’i. Bahkan sempat pada tahun 1980, bersama empat rekannya mau diberangkatkan ke Universitas Al Azhar Kairo Mesir, namun sayang gagal karena adanya ‘fitnah’ dari kalangan internal.
Namun hal itu tak menyurutkan Rahmat untuk selalu belajar. Sejak berkenalan dengan Syeikh Mesir yang pernah dikenalkan KH. Abdullah Syafi’i padanya, ia mulai senang melahap berbagai buku dan pemikiran Islam seperti Hasan Al Banna, Sayyid Quthb, Al Maududi serta tokoh nasional seperti HOS Cokroaminoto dan M. Natsir.
Sedang dari perjalanan dakwah bersama remaja-remaja Kuningan, menjadikannya sangat suka kala berdiskusi dan berguru dengan tokoh-tokoh M Natsir, Mohammad Roem ataupun Syafrudin Prawiranegara. Rahmat pun mengakui secara terus terang mengadopsi logika dan metode orasi yang ia ambil dari sang orator Isa Anshari dan Buya Hamka serta sang gurunya sendiri, Abdullah Syafi’i yang masyhur dengan teriakan lantang penggugah jiwa.
Rahmat remaja meski dikenal sebagai demonstran tapi sosoknya dikenal lembut, bahkan dianggapnya seringkali tidak bisa marah. Kemarahannya akan terlihat meledak jika Islam dilecehkan. Sebagaimana saat mendengar pembicaraan sang kakak, Rahmi, saat meminta kolega bisnisnya yang bekerja sebagai Kopasanda -Kopassus- untuk melunasi hutangnya. Tapi Kopassanda malah menjawab, "Nabi saja bisa meleset janjinya." Kontan mendengar pernyataan itu Rahmat keluar dari ruangan samping dan langsung berucap, "Nabi yang mana janjinya tidak tepat," Kopasanda itu malah menjawab, "Anda ndak usah ikut campur dengan urusan ini." Rahmat remaja langsung menyambut, "Suara Bapak terdengar di telinga saya di sini, sekali pun bapak berpakaian dinas, nabi yang mana yang ingkar janji itu," ujar Rahmat menahan emosi. Akhirnya Kopasanda itu minta maaf.
( Film beliau yang berjudul : sang Murabbi / Guru )
Sikap tegas ini lah yang menjadikan Rahmat Abdullah muda sangat disegani para pemabok ataupun preman. Karena caranya mendekati yang bersahabat. Bahkan, meski pernah kakaknya disakiti jagoan Kuningan waktu itu, H. Hamdani, ia tetap bisa menghadapinya dengan baik. Malah anak jagoan itu yang kemudian sempat ditahan polisi.
Anak-anak muda, preman, seniman semuanya ia rangkul terutama dalam wadah seni teater yang sering ia gelar di lapangan depan masjid Raudhtul Fallah —lapangan yang berada di belakang Dubes Malaysia saat ini-. Di tempat inilah Rahmat muda sering mengekspresikan syair dan puisinya serta peranan imajinasi dan pemikirannya sebagai sutradara teater dengan menggelar pagelaran teater drama terbuka. Teater yang terakhir kali ia pentaskan berjudul "Perang Yarmuk" yang tampil bersama Abdullah Hehamahua (1984). Dimana pementasannya sempat dikepung oleh intel dan aparat keamanan karena dianggap subversif di masa kekuasan Suharto.
Selepas pentas pun, tak ayal Rahmat dipanggil untuk menghadap KODIM. Namun Rahmat justru menjawab "Kalau yang memanggil Ibu, saya akan datang. Kalau yang memanggil KODIM sampai kapan pun saya tak akan pernah datang. Kalau mau saya datang ke KODIM, datang dulu ke ibu saya," ungkap Rahmat muda menjawab aparat dari kodim yang melayangkan surat panggilannya. Bahkan salah satu aparat KODIM, Soeryat, sempat menangis di hadapan Rahmat muda karena nasehat-nasehatnya agar tidak saling ‘memberangus’ sesama Muslim.
Keasyikan menceburkan diri dalam dakwah, rupanya menjadikan Rahmat tak sadar telah dimakan usia. Rahmat baru tersadar ketika seorang teman yang baru menikah mengingatkan sudah waktunya memikirkan bangunan rumah tangga. Barulah ia menyadari usianya sudah memasuki tahun ke-32.
Malam itu, malam Kamis 14 Ramadhan 1405 H. (1984 M), bertiga; Rahmat, ibunda dan bibi datang mengkhitbah seorang anak yang pernah menjadi muridnya, Sumarni, tatkala Rahmat duduk di kelas II MTs. Saat itu Sumarni masih menjadi siswi kelas I Madrasah Ibtidaiyah (lk. Umur 5 tahun). Ia adalah sang nominator juara I untuk lomba praktik ibadah.
Saat berlangsungnya khitbah, ketika keluarga Rahmat mengajukan usulan walimah bulan Syawal seperti kebiasaan Rasululllah saw, seorang ustadz wakil dari perempuan mengatakan, "Itu tetap walimah, tetapi Anda tidak akan menemukan keberkahan seperti bulan (Ramadhan) ini." Akhirnya, disepakati untuk nikah besok malamnya, malam Jum’at 15 Ramadhan. "Soal KUA urusan Ane, tinggal terima surat aje," ujar ustadz tadi. "Bah, ini rada-rada ketemu," ujar Rahmat muda dalam hati.
Walhasil sampai menjelang rombongan berangkat 15 Ramadhan itu, masih ada teman pemuda masjid yang bertanya, "Ini mau kemana sih?" Apalagi suasana saat itu memang masih represif. Bahkan belum sebulan menikah, di pagi buta ba’da subuh sesaat setelah peristiwa Tanjung Periok, Rahmat telah dijemput untuk mendengarkan rekaman peristiwa penembakan massa di Tanjung Priok yang terjadi semalam.
Pagi itu lelaki yang sudah mulai akrab dipanggil Ustadz Rahmat itu, bersama pemuda Islam lainnya langsung meninjau lokasi yang porak poranda. Mendengar peristiwa itu pun, sang mertua justru mengusulkan untuk selalu membawa sang isteri untuk diajak juga keliling berbagai kota di Jawa. "Untuk penjajagan sikap ummat dan apa yang kerennya disebut ‘konsolidasi’lah," ujar Ustadz Rahmat saat diwawancarai beberapa saat lalu.
Setelah menikah, ia tinggal di Kuningan, bersama Ibu dan Adiknya. Hingga lahir tiga orang anaknya, Shofwatul Fida (19), Thoriq Audah (17) dan Nusaibatul Hima (15).
Pada pertengahan tahun 80-an Rahmat muda bergabung dengan Harakah Islamiyah yang saat itu tumbuh berkembang di Indonesia. Bersama Abu Ridho, Hilmi Aminudin dan beberapa tokoh pemuda Islam lainnya terus bersatu bergerak dalam dakwah yang lebih luas dan tertata. Gerakan dakwahnya ini lebih terinspirasi pada gerakan Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh Hasan Al Banna di Mesir yang sama-sama menjadi acuan kalangan muda saat itu.
Pemikiran Hasan Al Banna yang telah lama menginspirasi dakwah pribadinya kini telah bertemu implementasinya bersama teman-teman yang merintis pendidikan dan kaderisasi dalam rangka penyadaran akan Islam dan mempertahankan kemurniannya. Di wadah baru inilah Rahmat selain berdiskusi, mengakses berbagai informasi tanpa melalaikan fungsi utama juga sebagai pendidik, penceramah, Rahmat merintis sebuah majalah Islam yang sangat disukai dan digemari kalangan muda. Namun sayang, saluran ekspresi pemikirannya itu harus dibredel di saat rezim orde baru mulai mengkhawatirkan kiprahnya. Namun pembredelan itu tak menyurutkan Rahmat untuk membuka lembaran baru berekspresi dalam dakwah.
Dan setelah 8 tahun menetap di Kuningan, ia mengontrak di Jl. Potlot I/ 29 RT 2 RW 3 Duren Tiga, Kalibata. Di sana lahir anaknya, Isda Ilaiha (13). Tapi panggilan dakwah sepertinya lebih memanggilnya. Tahun 1993 bersama murid-muridnya mencoba membangun pengembangan dunia pendidikan dan sosial dengan mendirikan Islamic Center Iqro’ yang terletak di Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat.
Di sini pula ia menetap dan memboyong keluarganya dari kontrakannya di Gang Potlot, Duren Tiga, Kalibata menuju tanah yang masih penuh rawa untuk berekspresi mengembangkan cita-citanya melalui kajian kitab-kitab klasik dan kontemporer. Di tempat terakhir ini merintis segala impian dan lahir anak-anaknya, Umaimatul Wafa (11), Majdi Hafizhurrahman (9), Hasnan Fakhrul Ahmadi(7).Di sini kesibukannya, semakin padat. Tetapi, kebiasaan pribadinya, untuk membaca, mengkaji Al Qur’an dan Tafsirnya, Hadits dan syarahnya tetap berjalan. Begitupun, kegiatannya mengisi pengajian di kantor, kampus, serta melayani berbagai macam konsultasi sejak lepas subuh hingga jam 08.00 pagi. Ditambah lagi kesibukan di Iqro’.
Bahkan, kegiatan rutin ini tetap ia jalani meskipun semenjak tahun 1999 ia diamanahi sebagai Ketua Bidang Kaderisasi DPP Partai Keadilan. Demikian juga saat beralih menjadi Ketua Majelis Syuro sekaligus Ketua Majelis Pertimbangan Partai Keadilan Sejahtera yang ia dirikan bersama teman-teman seperjuangan setelah lebih dari 10 tahun ia rintis.
Pada tahun 2004 sang aktivis demonstrasi, budayawan, filosof, guru dan pendidik yang disegani anak muda ini harus masuk ke gedung parlemen. Ustadz Rahmat terpilih sebagai wakil rakyat dari daerah pemilihan Bandung, Jawa Barat. Dan baru pada saat Ustadz Rahmat Abdullah mencalonkan diri inilah Bandung untuk pertama kalinya dimenangkan partai Islam.
Meskipun telah menjadi wakil rakyat, Ustadz Rahmat dikenal dikalangan Komisi III sebagai wakil rakyat yang tetap bersuara lantang, namun penuh santun dan filosofis sekaligus puitis dalam mengkritisi setiap kabijakan. Tak peduli menteri, presiden dan pejabat manapun ia sampaikan kritikan tajam membangunnya yang seringkali menjadi wacana baru bagi para pemimpin negeri ini.
Bahkan jabatan terakhir sebagai Ketua Badan Penegak Disiplin Organisasi Partai Keadilan Sejahtera ia emban dengan penuh amanah dan luapan semangat hingga akhir hayatnya saat ia harus dijemput kematian sesaat setelah berwudhu hendak menunaikan penghambaan pada sang Khalik, Selasa, 14 Juni 2005.
Biografi Ust. Rahmat Abdullah dari Biografi Web
Pada usia 11 tahun, Rahmat kecil harus menapaki hidupnya tanpa asuhan sang ayah, karena saat itu ia telah menjadi seorang anak yatim. Sang ayah hanya mewariskan pada dirinya usaha percetakan-sablon, yang ia kelola bersama sang kakak dan adik untuk menutupi segala biaya dan beban hidup yang mesti ditanggungnya.
Meskipun begitu, Rahmat bukanlah remaja yang cengeng. Walaupun harus ikut membanting tulang mengais rezeki, ia tetap tak mau tertinggal dalam pendidikan. Awal pendidikan resminya ia mulai sejak masuk sekolah dasar negeri di bilangan Kuningan, yang kala itu masih berupa perkampungan Betawi, belum berdiri gedung-gedung pencakar langit. Dan seperti umumnya generasi saat itu, Rahmat kecil setiap pagi mengaji (belajar membaca Al Qur-an, baca tulis Arab, kajian aqidah, akhlaq & fiqh dengan metode baca kitab berbahasa Arab, nukil terjemah dan syarah ustadz) baru siang harinya dilanjutkan dengan sekolah dasar.
Tahun 1966, setelah lulus SD, yang tahun ajarannya diperpanjang setengah tahun karena terjadi peristiwa G-30-S/PKI, Rahmat masuk SMP. Tapi kali ini ia mesti keluar lagi karena terjadi dilema dalam dirinya. Ironi memang, di satu sisi keaktifan dirinya sebagai aktifis demonstran anggota KAPPI & KAMI yang dikenal sebagai angkatan 66, namun di hari Jum’at sekolahnya justru masuk pukul 11.30, tepat saat shalat Jum’at.
Karenanya pada permulaan tahun ajaran berikutnya (1967/1968) Rahmat memutuskan pindah ke Ma’had Assyafi’iyah, Bali Matraman. Dari hasil test dan interview, ia harus duduk di kelas II Madrasah Ibtidaiyah (tingkat SD). Namun Rahmat tidak puas dengan hasil itu, ia mencoba melakukan lobby dengan seorang ustadz, untuk melakukan test ulang hingga ia pindah duduk di kelas III.
Permulaan belajar di Ma’had ini, bagi Rahmat begitu berbekas. Apalagi ia harus ikut mengaji pada seorang ustadz senior Madrasah Tsanawiyah (Tingkat SMP) yang sangat streng dalam berbicara dan mengajar dengan bahasa Arab. Namun tak selang lama, ternyata sang guru kelas ini justru sama-sama mengaji bersamanya.
Rahmat memang langsung meloncat naik ke kelas V, di sinilah ia belajar ilmu nahwu dasar yang sangat ia sukai karena dengan ilmu itu terkuaklah setiap misteri intonasi dan narasi penyiar Shauth Indonesia, yang sering disiarkan oleh radio RRI dengan berbahasa Arab. Siaran inilah yang menjadi acara kesukaan Rahmat. Sehingga meski hidupnya serba kekurangan, namun karena sadar akan pentingnya komunikasi dan informasi, Rahmat merelakan uang makannya untuk dikumpulkan sedikit demi sedikit dari hasil jerih payahnya mencari pelanggan sablon, untuk membeli radio. Padahal saat itu, radio masih menjadi status simbol bagi orang-orang kaya zaman itu.
Selepas kelas V, Rahmat melanjutkan di Madrasah Tsanawiyah Assyafi’iyah. Di MTs ini ia belajar ushul fiqh, musthalah hadits, psikologi & ilmu pendidikan, di samping tetap belajar ilmu nahwu, sharf dan balaghah. Tapi pelajaran yang paling ia sukai adalah talaqqi. Biasanya talaqqi ini dilakukan langsung dengan para masyaikh (kiai) serta bimbingan langsung sang orator pembangkit semangat yang selalu memberikan inspirasi Rahmat muda, KH Abdullah Syafi’i.
Di saat ini pula Rahmat merintis dakwah dengan mengajar di Ma’had Asyafi’iyah dan Darul Muqorrobin, Karet Kuningan. Di tempat inilah Rahmat remaja mengabdikan dirinya sebagai guru, pendidik dan mengajarkan berbagai ilmu. Keseharian ini ia jalani bertahun-tahun dengan berjalan kaki dari Bali Matraman ke Karet Kuningan. Bahkan untuk memberikan pelajaran tambahan berupa les privat pun ia lakukan dengan berjalan kaki masuk ke lorong-lorong jalanan Jakarta hingga larut malam.
Semangat hidup dan dakwah ini juga ia tuangkan dalam berbagai untaian bait-bait syair, puisi serta berbagai tulisan artikel kecil yang ia kirim ke berbagai media. Tak jarang ia juga berlatih bermain teater bersama rekan-rekan guru atau teman-teman seperjuangannya.
Dari jerih payah inilah, selain bisa membeli sebuah motor Honda 66 atau sering disebut motor Chips, Rahmat Abdullah mampu mengasah watak dan pikirannya sehingga menjadi murid terbaik dan murid kesayangan dari KH. Abdullah Syafi’i. Bahkan sempat pada tahun 1980, bersama empat rekannya mau diberangkatkan ke Universitas Al Azhar Kairo Mesir, namun sayang gagal karena adanya ‘fitnah’ dari kalangan internal.
Namun hal itu tak menyurutkan Rahmat untuk selalu belajar. Sejak berkenalan dengan Syeikh Mesir yang pernah dikenalkan KH. Abdullah Syafi’i padanya, ia mulai senang melahap berbagai buku dan pemikiran Islam seperti Hasan Al Banna, Sayyid Quthb, Al Maududi serta tokoh nasional seperti HOS Cokroaminoto dan M. Natsir.
Sedang dari perjalanan dakwah bersama remaja-remaja Kuningan, menjadikannya sangat suka kala berdiskusi dan berguru dengan tokoh-tokoh M Natsir, Mohammad Roem ataupun Syafrudin Prawiranegara. Rahmat pun mengakui secara terus terang mengadopsi logika dan metode orasi yang ia ambil dari sang orator Isa Anshari dan Buya Hamka serta sang gurunya sendiri, Abdullah Syafi’i yang masyhur dengan teriakan lantang penggugah jiwa.
Rahmat remaja meski dikenal sebagai demonstran tapi sosoknya dikenal lembut, bahkan dianggapnya seringkali tidak bisa marah. Kemarahannya akan terlihat meledak jika Islam dilecehkan. Sebagaimana saat mendengar pembicaraan sang kakak, Rahmi, saat meminta kolega bisnisnya yang bekerja sebagai Kopasanda -Kopassus- untuk melunasi hutangnya. Tapi Kopassanda malah menjawab, "Nabi saja bisa meleset janjinya." Kontan mendengar pernyataan itu Rahmat keluar dari ruangan samping dan langsung berucap, "Nabi yang mana janjinya tidak tepat," Kopasanda itu malah menjawab, "Anda ndak usah ikut campur dengan urusan ini." Rahmat remaja langsung menyambut, "Suara Bapak terdengar di telinga saya di sini, sekali pun bapak berpakaian dinas, nabi yang mana yang ingkar janji itu," ujar Rahmat menahan emosi. Akhirnya Kopasanda itu minta maaf.
( Film beliau yang berjudul : sang Murabbi / Guru )
Sikap tegas ini lah yang menjadikan Rahmat Abdullah muda sangat disegani para pemabok ataupun preman. Karena caranya mendekati yang bersahabat. Bahkan, meski pernah kakaknya disakiti jagoan Kuningan waktu itu, H. Hamdani, ia tetap bisa menghadapinya dengan baik. Malah anak jagoan itu yang kemudian sempat ditahan polisi.
Anak-anak muda, preman, seniman semuanya ia rangkul terutama dalam wadah seni teater yang sering ia gelar di lapangan depan masjid Raudhtul Fallah —lapangan yang berada di belakang Dubes Malaysia saat ini-. Di tempat inilah Rahmat muda sering mengekspresikan syair dan puisinya serta peranan imajinasi dan pemikirannya sebagai sutradara teater dengan menggelar pagelaran teater drama terbuka. Teater yang terakhir kali ia pentaskan berjudul "Perang Yarmuk" yang tampil bersama Abdullah Hehamahua (1984). Dimana pementasannya sempat dikepung oleh intel dan aparat keamanan karena dianggap subversif di masa kekuasan Suharto.
Selepas pentas pun, tak ayal Rahmat dipanggil untuk menghadap KODIM. Namun Rahmat justru menjawab "Kalau yang memanggil Ibu, saya akan datang. Kalau yang memanggil KODIM sampai kapan pun saya tak akan pernah datang. Kalau mau saya datang ke KODIM, datang dulu ke ibu saya," ungkap Rahmat muda menjawab aparat dari kodim yang melayangkan surat panggilannya. Bahkan salah satu aparat KODIM, Soeryat, sempat menangis di hadapan Rahmat muda karena nasehat-nasehatnya agar tidak saling ‘memberangus’ sesama Muslim.
Keasyikan menceburkan diri dalam dakwah, rupanya menjadikan Rahmat tak sadar telah dimakan usia. Rahmat baru tersadar ketika seorang teman yang baru menikah mengingatkan sudah waktunya memikirkan bangunan rumah tangga. Barulah ia menyadari usianya sudah memasuki tahun ke-32.
Malam itu, malam Kamis 14 Ramadhan 1405 H. (1984 M), bertiga; Rahmat, ibunda dan bibi datang mengkhitbah seorang anak yang pernah menjadi muridnya, Sumarni, tatkala Rahmat duduk di kelas II MTs. Saat itu Sumarni masih menjadi siswi kelas I Madrasah Ibtidaiyah (lk. Umur 5 tahun). Ia adalah sang nominator juara I untuk lomba praktik ibadah.
Saat berlangsungnya khitbah, ketika keluarga Rahmat mengajukan usulan walimah bulan Syawal seperti kebiasaan Rasululllah saw, seorang ustadz wakil dari perempuan mengatakan, "Itu tetap walimah, tetapi Anda tidak akan menemukan keberkahan seperti bulan (Ramadhan) ini." Akhirnya, disepakati untuk nikah besok malamnya, malam Jum’at 15 Ramadhan. "Soal KUA urusan Ane, tinggal terima surat aje," ujar ustadz tadi. "Bah, ini rada-rada ketemu," ujar Rahmat muda dalam hati.
Walhasil sampai menjelang rombongan berangkat 15 Ramadhan itu, masih ada teman pemuda masjid yang bertanya, "Ini mau kemana sih?" Apalagi suasana saat itu memang masih represif. Bahkan belum sebulan menikah, di pagi buta ba’da subuh sesaat setelah peristiwa Tanjung Periok, Rahmat telah dijemput untuk mendengarkan rekaman peristiwa penembakan massa di Tanjung Priok yang terjadi semalam.
Pagi itu lelaki yang sudah mulai akrab dipanggil Ustadz Rahmat itu, bersama pemuda Islam lainnya langsung meninjau lokasi yang porak poranda. Mendengar peristiwa itu pun, sang mertua justru mengusulkan untuk selalu membawa sang isteri untuk diajak juga keliling berbagai kota di Jawa. "Untuk penjajagan sikap ummat dan apa yang kerennya disebut ‘konsolidasi’lah," ujar Ustadz Rahmat saat diwawancarai beberapa saat lalu.
Setelah menikah, ia tinggal di Kuningan, bersama Ibu dan Adiknya. Hingga lahir tiga orang anaknya, Shofwatul Fida (19), Thoriq Audah (17) dan Nusaibatul Hima (15).
Pada pertengahan tahun 80-an Rahmat muda bergabung dengan Harakah Islamiyah yang saat itu tumbuh berkembang di Indonesia. Bersama Abu Ridho, Hilmi Aminudin dan beberapa tokoh pemuda Islam lainnya terus bersatu bergerak dalam dakwah yang lebih luas dan tertata. Gerakan dakwahnya ini lebih terinspirasi pada gerakan Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh Hasan Al Banna di Mesir yang sama-sama menjadi acuan kalangan muda saat itu.
Pemikiran Hasan Al Banna yang telah lama menginspirasi dakwah pribadinya kini telah bertemu implementasinya bersama teman-teman yang merintis pendidikan dan kaderisasi dalam rangka penyadaran akan Islam dan mempertahankan kemurniannya. Di wadah baru inilah Rahmat selain berdiskusi, mengakses berbagai informasi tanpa melalaikan fungsi utama juga sebagai pendidik, penceramah, Rahmat merintis sebuah majalah Islam yang sangat disukai dan digemari kalangan muda. Namun sayang, saluran ekspresi pemikirannya itu harus dibredel di saat rezim orde baru mulai mengkhawatirkan kiprahnya. Namun pembredelan itu tak menyurutkan Rahmat untuk membuka lembaran baru berekspresi dalam dakwah.
Dan setelah 8 tahun menetap di Kuningan, ia mengontrak di Jl. Potlot I/ 29 RT 2 RW 3 Duren Tiga, Kalibata. Di sana lahir anaknya, Isda Ilaiha (13). Tapi panggilan dakwah sepertinya lebih memanggilnya. Tahun 1993 bersama murid-muridnya mencoba membangun pengembangan dunia pendidikan dan sosial dengan mendirikan Islamic Center Iqro’ yang terletak di Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat.
Di sini pula ia menetap dan memboyong keluarganya dari kontrakannya di Gang Potlot, Duren Tiga, Kalibata menuju tanah yang masih penuh rawa untuk berekspresi mengembangkan cita-citanya melalui kajian kitab-kitab klasik dan kontemporer. Di tempat terakhir ini merintis segala impian dan lahir anak-anaknya, Umaimatul Wafa (11), Majdi Hafizhurrahman (9), Hasnan Fakhrul Ahmadi(7).Di sini kesibukannya, semakin padat. Tetapi, kebiasaan pribadinya, untuk membaca, mengkaji Al Qur’an dan Tafsirnya, Hadits dan syarahnya tetap berjalan. Begitupun, kegiatannya mengisi pengajian di kantor, kampus, serta melayani berbagai macam konsultasi sejak lepas subuh hingga jam 08.00 pagi. Ditambah lagi kesibukan di Iqro’.
Bahkan, kegiatan rutin ini tetap ia jalani meskipun semenjak tahun 1999 ia diamanahi sebagai Ketua Bidang Kaderisasi DPP Partai Keadilan. Demikian juga saat beralih menjadi Ketua Majelis Syuro sekaligus Ketua Majelis Pertimbangan Partai Keadilan Sejahtera yang ia dirikan bersama teman-teman seperjuangan setelah lebih dari 10 tahun ia rintis.
Pada tahun 2004 sang aktivis demonstrasi, budayawan, filosof, guru dan pendidik yang disegani anak muda ini harus masuk ke gedung parlemen. Ustadz Rahmat terpilih sebagai wakil rakyat dari daerah pemilihan Bandung, Jawa Barat. Dan baru pada saat Ustadz Rahmat Abdullah mencalonkan diri inilah Bandung untuk pertama kalinya dimenangkan partai Islam.
Meskipun telah menjadi wakil rakyat, Ustadz Rahmat dikenal dikalangan Komisi III sebagai wakil rakyat yang tetap bersuara lantang, namun penuh santun dan filosofis sekaligus puitis dalam mengkritisi setiap kabijakan. Tak peduli menteri, presiden dan pejabat manapun ia sampaikan kritikan tajam membangunnya yang seringkali menjadi wacana baru bagi para pemimpin negeri ini.
Bahkan jabatan terakhir sebagai Ketua Badan Penegak Disiplin Organisasi Partai Keadilan Sejahtera ia emban dengan penuh amanah dan luapan semangat hingga akhir hayatnya saat ia harus dijemput kematian sesaat setelah berwudhu hendak menunaikan penghambaan pada sang Khalik, Selasa, 14 Juni 2005.
Mario Teguh - Sang Motivator
Mario Teguh adalah seorang muslim yang menjadi motivator dan konsultan bisnis dan kepribadian asal Indonesia. Nama aslinya adalah Sis Maryono Teguh, namun saat tampil di depan publik, ia menggunakan nama Mario Teguh. Ia meraih gelar Sarjana Pendidikan dari Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Malang. Mario Teguh sempat bekerja di Citibank, kemudian mendirikan Bussiness Effectiveness Consultant, Exnal Corp. menjabat sebagai CEO (Chief Executive Officer) dan Senior Consultan. Beliau juga membentuk komunnitas Mario Teguh Super Club (MTSC). Pak Mario lahir di Makassar, 5 Maret 1956.
Biografi Mario Teguh dari Google Biografi
Tahun 2010 kembali meraih penghargaan dari Museum Rekor Indonesia, MURI, sebagai Motivator dengan Facebook Fans terbesar di dunia.
Di awal tahun 2010, Beliau terpilih sebagai satu dari 8 Tokoh Perubahan 2009 versi Republika surat kabar yang terbit di Jakarta.
Sebelumnya Beliau membawakan acara bertajuk Business Art di O'Channel. Kemudian namanya semakin dikenal luas oleh masyarakat ketika ia membawakan acara Mario Teguh Golden Ways di Metro TV. Pada saat ini Mario Teguh dikenal sebagai salah satu motivator termahal di Indonesia.
Di tahun 2003 mendapat penghargaan dari Museum Rekor Indonesia, MURI, sebagai penyelenggara seminar berhadiah mobil pertama di Indonesia.
PENDIDIKAN
Jurusan Arsitektur New Trier West High (setingkat SMA) di Chicago, Amerika Serikat, 1975.
Jurusan Linguistik dan Pendidikan Bahasa Inggris, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang (S-1).
Jurusan International Business, Sophia University, Tokyo, Jepang.
Jurusan Operations Systems, Indiana University, Amerika Serikat, 1983 (MBA).
PENGALAMAN
Citibank Indonesia (1983 – 1986) as Head of Sales
BSB Bank (1986 – 1989) as Manager Business Development
Aspac Bank (1990 – 1994) as Vice President Marketing & Organization Development
Exnal Corp Jakarta (1994 – present) as CEO, Senior Consultant
Spesialisasi : Business Effectiveness Consultant
BUKU KARANGAN MARIO TEGUH
Becoming a Star (2006)
One Million Second Chances (2006)
Life Changer (2009)
Leadership Golden Ways (2009)
PRESTASI MARIO TEGUH DI TAHUN 2010
* Meraih penghargaan dari Museum Rekor Indonesia, MURI, sebagai Motivator dengan Facebook Fans terbesar di dunia.
* Terpilih sebagai satu dari 8 Tokoh Perubahan 2009 versi Republika surat kabar yang terbit di Jakarta.
Sebelumnya Mario Teguh membawakan acara bertajuk Business Art di O’Channel. Kemudian namanya semakin dikenal luas oleh masyarakat ketika ia membawakan acara Mario Teguh Golden Ways di Metro TV. Dan pada saat ini Mario Teguh dikenal sebagai salah satu motivator termahal di Indonesia.
TIPS MARIO TEGUH
Semua keberhasilan dan kegagalan seseorang itu berasal dari masing masing orang tersebut, memulai suatu usaha apapun harus dimulai dari sikap dan cara berpikir kita dalam menanggapi berbagai situasi yang akan ditemui dalam mengarungi kerasnya kehidupan ini. Semua kita ini adalah orang orang yang memiliki kelebihan dan kekurangan, tinggal bagaimana kita mengoptimalkan potensi kelebihan kita dan meminimalkan kekurangan kita, karna keseimbangan ke semua unsur kita adalah kinci sukses yang akan kita raih. Kita bukan harus berhasil, bukan harus sukses, tapi kita harus mencoba untuk sukses tampa kenal lelah dan kata menyerah, kegagalan adalah jenjang untuk sebuah kesuksesan bukan harus ditangisi dan disesali.
KUMPULAN KATA BIJAK MARIO TEGUH | KATA MUTIARA MARIO TEGUH | KATA MOTIVASI MARIO TEGUH (sebagian, sebagai contoh saja)
Jika anda menasehatkan sesuatu yang belum pernah anda lakukan, cepat atau lambat anda akan diuji dengan apa yang anda nasehati. Nasehatkan tentang kesabaran, maka kesabaran anda akan diuji.
Orang yang menghindari kesalahan, tidak akan tumbuh.
Nikmatilah setiap proses kehidupan.
Orang lain adalah cermin. Ada dua jenis : cermin baik dan buruk.
Cermin buruk, sebaik apapun diri kita, akan tetap memantulkan gambar diri yang bengkok. Itulah mengapa anda perlu bergaul dengan lingkungan yang baik
Budi Pekerti adalah tindakan baik yang didasari oleh tujuan yang baik. Tujuan kemanusiaan dari budi pekerti adalah agar anda berguna bagi sesama.
Jika hidup dan matiku untuk Tuhan, untuk saya apa? Anda dapat apa yang Tuhan miliki.
Kebesaran orang bukan ditentukan oleh besar kecil tubuhnya, melainkan besar kecil hatinya.
Tidak mungkin ada dua benda dalam satu ruang. Pilih apa yang hendak anda masukkan ke hati anda : kebaikan atau kejahatan?
Hadiah pertama bagi orang yang melakukan kebaikan adalah kebaikan.
Penampilan terbaik dari seseorang adalah penampilan yang mewakili hati yang baik.
Manusia terindah adalah manusia yang bermanfaat untuk saudaranya.
Bagi pribadi yang tidak waspada dan tidak bersikap baik, dia bahkan akan menipu dirinya sendiri di hadapan pribadi yang mulia dan jujur kepadanya.
Harus datang akhir dari masa di mana orang mengambil keuntungan dari mengatakan dan melakukan yang tidak jujur kepada kita dan kepada mereka yang kita cintai.
Segala yang kita lakukan tidak ada yang tidak beresiko. Tinggal bagaimana kita menyikapinya. Ada beberapa panduan menyikapi resiko.
* Resiko tidak seharusnya membuat kita ciut nyali, namun tidak seharusnya juga menjadikan diri sebagai orang yang tidak takut dosa.
* Memilih sebuah hubungan adalah menerima resiko, cerminan diri kita dapat dilihat dari perilakunya terhadap kita.
* Resiko seharusnya dapat membuat kita menjadi orang yang lebih baik.
* Berfokuslah pada apa yang berani kita lakukan, hasilnya kita serahkan kepada Tuhan.
Jangan paksa orang untuk berubah. Berubah itu sulit. Berkasih sayanglah.
Perubahan itu tidak mudah, terutama untuk memperbaiki kualitas hidup.
Inginkanlah yang mudah, tetapi jangan lupakan keharusan mu untuk menjadi lebih kuat. Bukan pemberian yang mudah yang akan memudahkan hidup mu, tetapi kemampuan yang menjadikan mu pantas bagi semua pemberian besar – yang tidak mudah untuk didapat itu, yang akan menjadikan mu penegak kehidupan yang berjaya.
Lebih mudah meneruskan apa adanya, walau pun tidak mudah hidup dalam kesulitan. Maka jangan ganggu dia yang sulit berubah, walau pun itu untuk kebaikannya sendiri. Biarkanlah dia mengutamakan yang mudah sekarang, karena dia tidak keberatan dengan kesulitannya.
Orang yang hidup hanya untuk dirinya sendiri ・lebih mudah untuk merasa sedih dan tidak berguna.
Tujuan hidup adalah sebuah ketetapan yang mendasari semua rencana dan kerja kita, dan yang menjadi penjaga arah perjalanan.
Kasih sayang itu sederhana. Tetapi, tidak sederhana perannya dalam mencantikkan kehidupan kita. Marilah kita mengikhlaskanlah diri untuk mengasihi pasangan kita sepenuhnya.
Jika kita sedang benar, jangan terlalu berani dan bila kita sedang takut, jangan terlalu takut. Karena keseimbangan sikap adalah penentu ketepatan perjalanan kesuksesan kita.
Tidak ada harga atas waktu, tapi waktu sangat berharga. Memilik waktu tidak menjadikan kita kaya, tetapi menggunakannya dengan baik adalah sumber dari semua kekayaan.
Tugas kita bukanlah untuk berhasil. Tugas kita adalah untuk mencoba, karena didalam mencoba itulah kita menemukan dan belajar membangun kesempatan untuk berhasil.
Kita hanya dekat dengan mereka yang kita sukai. Dan seringkali kita menghindari orang yang tidak tidak kita sukai, padahal dari dialah kita akan mengenal sudut pikiran yang baru.
Orang-orang yang berhenti belajar akan menjadi pemilik masa lalu. Orang-orang yang masih terus belajar, akan menjadi pemilik masa depan.
Tinggalkanlah kesenangan yang menghalangi pencapaian kecemerlangan hidup yang diidamkan. Dan berhati-hatilah, karena beberapa kesenangan adalah cara gembira menuju kegagalan.
Jangan menolak perubahan hanya karena kita takut kehilangan yang telah dimiliki, karena dengannya kita merendahkan nilai yang bisa kita capai melalui perubahan itu.
Kita tidak akan berhasil menjadi pribadi baru bila kita berkeras untuk mempertahankan cara-cara lama kita. Kita akan disebut baru, hanya bila cara-cara kita baru.
Ketepatan sikap adalah dasar semua ketepatan. Tidak ada penghalang keberhasilan bila sikap kita tepat, dan tidak ada yang bisa menolong bila sikap kita salah.
Orang lanjut usia yang berorientasi pada kesempatan adalah orang muda yang tidak pernah menua ; tetapi pemuda yang berorientasi pada keamanan, telah menua sejak muda.
Hanya orang takut yang bisa berani, karena keberanian adalah melakukan sesuatu yang ditakutinya. Maka, bila merasa takut, kita akan punya kesempatan untuk bersikap berani.
Kekuatan terbesar yang mampu mengalahkan stress adalah kemampuan memilih pikiran yang tepat. kita akan menjadi lebih damai bila yang kita pikirkan adalah jalan keluar masalah.
Jangan pernah merobohkan pagar tanpa mengetahui mengapa didirikan. Jangan pernah mengabaikan tuntunan kebaikan tanpa mengetahui keburukan yang kemudian kita dapat.
Seseorang yang menolak memperbarui cara-cara kerjanya yang tidak lagi menghasilkan, berlaku seperti orang yang terus memeras jerami untuk mendapatkan santan.
Bila kita belum menemukan pekerjaan yang sesuai dengan bakat kita, bakatilah apapun pekerjaan kita sekarang. Kita akan tampil secemerlang yang berbakat.
Kita lebih menghormati orang miskin yang berani daripada orang kaya yang penakut. Karena sebetulnya telah jelas perbedaan kualitas masa depan yang akan mereka capai.
Jika kita hanya mengerjakan yang sudah kita ketahui, kapankah kita akan mendapat pengetahuan yang baru ? Melakukan yang belum kita ketahui adalah pintu menuju pengetahuan.
Jangan hanya menghindari yang tidak mungkin. Dengan mencoba sesuatu yang tidak mungkin,kita akan bisa mencapai yang terbaik dari yang mungkin kita capai.
Salah satu pengkerdilan terkejam dalam hidup adalah membiarkan pikiran yang cemerlang menjadi budak bagi tubuh yang malas, yang mendahulukan istirahat sebelum lelah.
Bila kita mencari uang, kita akan dipaksa mengupayakan pelayanan yang terbaik. Tetapi jika kita mengutamakan pelayanan yang baik, maka kitalah yang akan dicari uang.
Semua waktu adalah waktu yang tepat untuk melakukan sesuatu yang baik. Jangan menjadi orang tua yang masih melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan saat muda.
Kekuatan terbesar yang mampu mengalahkan stress adalah kemampuan memilih pikiran yang tepat. Anda akan menjadi lebih damai bila yang anda pikirkan adalah jalan keluar masalah.
Kita lebih menghormati orang miskin yang berani daripada orang kaya yang penakut. Karena sebetulnya telah jelas perbedaan kualitas masa depan yang akan mereka capai.
Jangan hanya menghindari yang tidak mungkin. Dengan mencoba sesuatu yang tidak mungkin,anda akan bisa mencapai yang terbaik dari yang mungkin anda capai.
Waktu ,mengubah semua hal, kecuali kita. Kita mungkin menua dengan berjalanannya waktu, tetapi belum tentu membijak. Kita-lah yang harus mengubah diri kita sendiri.
Website resmi:
http://www.marioteguh.asia/
Biografi Mario Teguh dari Google Biografi
Tahun 2010 kembali meraih penghargaan dari Museum Rekor Indonesia, MURI, sebagai Motivator dengan Facebook Fans terbesar di dunia.
Di awal tahun 2010, Beliau terpilih sebagai satu dari 8 Tokoh Perubahan 2009 versi Republika surat kabar yang terbit di Jakarta.
Sebelumnya Beliau membawakan acara bertajuk Business Art di O'Channel. Kemudian namanya semakin dikenal luas oleh masyarakat ketika ia membawakan acara Mario Teguh Golden Ways di Metro TV. Pada saat ini Mario Teguh dikenal sebagai salah satu motivator termahal di Indonesia.
Di tahun 2003 mendapat penghargaan dari Museum Rekor Indonesia, MURI, sebagai penyelenggara seminar berhadiah mobil pertama di Indonesia.
PENDIDIKAN
Jurusan Arsitektur New Trier West High (setingkat SMA) di Chicago, Amerika Serikat, 1975.
Jurusan Linguistik dan Pendidikan Bahasa Inggris, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang (S-1).
Jurusan International Business, Sophia University, Tokyo, Jepang.
Jurusan Operations Systems, Indiana University, Amerika Serikat, 1983 (MBA).
PENGALAMAN
Citibank Indonesia (1983 – 1986) as Head of Sales
BSB Bank (1986 – 1989) as Manager Business Development
Aspac Bank (1990 – 1994) as Vice President Marketing & Organization Development
Exnal Corp Jakarta (1994 – present) as CEO, Senior Consultant
Spesialisasi : Business Effectiveness Consultant
BUKU KARANGAN MARIO TEGUH
Becoming a Star (2006)
One Million Second Chances (2006)
Life Changer (2009)
Leadership Golden Ways (2009)
PRESTASI MARIO TEGUH DI TAHUN 2010
* Meraih penghargaan dari Museum Rekor Indonesia, MURI, sebagai Motivator dengan Facebook Fans terbesar di dunia.
* Terpilih sebagai satu dari 8 Tokoh Perubahan 2009 versi Republika surat kabar yang terbit di Jakarta.
Sebelumnya Mario Teguh membawakan acara bertajuk Business Art di O’Channel. Kemudian namanya semakin dikenal luas oleh masyarakat ketika ia membawakan acara Mario Teguh Golden Ways di Metro TV. Dan pada saat ini Mario Teguh dikenal sebagai salah satu motivator termahal di Indonesia.
TIPS MARIO TEGUH
Semua keberhasilan dan kegagalan seseorang itu berasal dari masing masing orang tersebut, memulai suatu usaha apapun harus dimulai dari sikap dan cara berpikir kita dalam menanggapi berbagai situasi yang akan ditemui dalam mengarungi kerasnya kehidupan ini. Semua kita ini adalah orang orang yang memiliki kelebihan dan kekurangan, tinggal bagaimana kita mengoptimalkan potensi kelebihan kita dan meminimalkan kekurangan kita, karna keseimbangan ke semua unsur kita adalah kinci sukses yang akan kita raih. Kita bukan harus berhasil, bukan harus sukses, tapi kita harus mencoba untuk sukses tampa kenal lelah dan kata menyerah, kegagalan adalah jenjang untuk sebuah kesuksesan bukan harus ditangisi dan disesali.
KUMPULAN KATA BIJAK MARIO TEGUH | KATA MUTIARA MARIO TEGUH | KATA MOTIVASI MARIO TEGUH (sebagian, sebagai contoh saja)
Jika anda menasehatkan sesuatu yang belum pernah anda lakukan, cepat atau lambat anda akan diuji dengan apa yang anda nasehati. Nasehatkan tentang kesabaran, maka kesabaran anda akan diuji.
Orang yang menghindari kesalahan, tidak akan tumbuh.
Nikmatilah setiap proses kehidupan.
Orang lain adalah cermin. Ada dua jenis : cermin baik dan buruk.
Cermin buruk, sebaik apapun diri kita, akan tetap memantulkan gambar diri yang bengkok. Itulah mengapa anda perlu bergaul dengan lingkungan yang baik
Budi Pekerti adalah tindakan baik yang didasari oleh tujuan yang baik. Tujuan kemanusiaan dari budi pekerti adalah agar anda berguna bagi sesama.
Jika hidup dan matiku untuk Tuhan, untuk saya apa? Anda dapat apa yang Tuhan miliki.
Kebesaran orang bukan ditentukan oleh besar kecil tubuhnya, melainkan besar kecil hatinya.
Tidak mungkin ada dua benda dalam satu ruang. Pilih apa yang hendak anda masukkan ke hati anda : kebaikan atau kejahatan?
Hadiah pertama bagi orang yang melakukan kebaikan adalah kebaikan.
Penampilan terbaik dari seseorang adalah penampilan yang mewakili hati yang baik.
Manusia terindah adalah manusia yang bermanfaat untuk saudaranya.
Bagi pribadi yang tidak waspada dan tidak bersikap baik, dia bahkan akan menipu dirinya sendiri di hadapan pribadi yang mulia dan jujur kepadanya.
Harus datang akhir dari masa di mana orang mengambil keuntungan dari mengatakan dan melakukan yang tidak jujur kepada kita dan kepada mereka yang kita cintai.
Segala yang kita lakukan tidak ada yang tidak beresiko. Tinggal bagaimana kita menyikapinya. Ada beberapa panduan menyikapi resiko.
* Resiko tidak seharusnya membuat kita ciut nyali, namun tidak seharusnya juga menjadikan diri sebagai orang yang tidak takut dosa.
* Memilih sebuah hubungan adalah menerima resiko, cerminan diri kita dapat dilihat dari perilakunya terhadap kita.
* Resiko seharusnya dapat membuat kita menjadi orang yang lebih baik.
* Berfokuslah pada apa yang berani kita lakukan, hasilnya kita serahkan kepada Tuhan.
Jangan paksa orang untuk berubah. Berubah itu sulit. Berkasih sayanglah.
Perubahan itu tidak mudah, terutama untuk memperbaiki kualitas hidup.
Inginkanlah yang mudah, tetapi jangan lupakan keharusan mu untuk menjadi lebih kuat. Bukan pemberian yang mudah yang akan memudahkan hidup mu, tetapi kemampuan yang menjadikan mu pantas bagi semua pemberian besar – yang tidak mudah untuk didapat itu, yang akan menjadikan mu penegak kehidupan yang berjaya.
Lebih mudah meneruskan apa adanya, walau pun tidak mudah hidup dalam kesulitan. Maka jangan ganggu dia yang sulit berubah, walau pun itu untuk kebaikannya sendiri. Biarkanlah dia mengutamakan yang mudah sekarang, karena dia tidak keberatan dengan kesulitannya.
Orang yang hidup hanya untuk dirinya sendiri ・lebih mudah untuk merasa sedih dan tidak berguna.
Tujuan hidup adalah sebuah ketetapan yang mendasari semua rencana dan kerja kita, dan yang menjadi penjaga arah perjalanan.
Kasih sayang itu sederhana. Tetapi, tidak sederhana perannya dalam mencantikkan kehidupan kita. Marilah kita mengikhlaskanlah diri untuk mengasihi pasangan kita sepenuhnya.
Jika kita sedang benar, jangan terlalu berani dan bila kita sedang takut, jangan terlalu takut. Karena keseimbangan sikap adalah penentu ketepatan perjalanan kesuksesan kita.
Tidak ada harga atas waktu, tapi waktu sangat berharga. Memilik waktu tidak menjadikan kita kaya, tetapi menggunakannya dengan baik adalah sumber dari semua kekayaan.
Tugas kita bukanlah untuk berhasil. Tugas kita adalah untuk mencoba, karena didalam mencoba itulah kita menemukan dan belajar membangun kesempatan untuk berhasil.
Kita hanya dekat dengan mereka yang kita sukai. Dan seringkali kita menghindari orang yang tidak tidak kita sukai, padahal dari dialah kita akan mengenal sudut pikiran yang baru.
Orang-orang yang berhenti belajar akan menjadi pemilik masa lalu. Orang-orang yang masih terus belajar, akan menjadi pemilik masa depan.
Tinggalkanlah kesenangan yang menghalangi pencapaian kecemerlangan hidup yang diidamkan. Dan berhati-hatilah, karena beberapa kesenangan adalah cara gembira menuju kegagalan.
Jangan menolak perubahan hanya karena kita takut kehilangan yang telah dimiliki, karena dengannya kita merendahkan nilai yang bisa kita capai melalui perubahan itu.
Kita tidak akan berhasil menjadi pribadi baru bila kita berkeras untuk mempertahankan cara-cara lama kita. Kita akan disebut baru, hanya bila cara-cara kita baru.
Ketepatan sikap adalah dasar semua ketepatan. Tidak ada penghalang keberhasilan bila sikap kita tepat, dan tidak ada yang bisa menolong bila sikap kita salah.
Orang lanjut usia yang berorientasi pada kesempatan adalah orang muda yang tidak pernah menua ; tetapi pemuda yang berorientasi pada keamanan, telah menua sejak muda.
Hanya orang takut yang bisa berani, karena keberanian adalah melakukan sesuatu yang ditakutinya. Maka, bila merasa takut, kita akan punya kesempatan untuk bersikap berani.
Kekuatan terbesar yang mampu mengalahkan stress adalah kemampuan memilih pikiran yang tepat. kita akan menjadi lebih damai bila yang kita pikirkan adalah jalan keluar masalah.
Jangan pernah merobohkan pagar tanpa mengetahui mengapa didirikan. Jangan pernah mengabaikan tuntunan kebaikan tanpa mengetahui keburukan yang kemudian kita dapat.
Seseorang yang menolak memperbarui cara-cara kerjanya yang tidak lagi menghasilkan, berlaku seperti orang yang terus memeras jerami untuk mendapatkan santan.
Bila kita belum menemukan pekerjaan yang sesuai dengan bakat kita, bakatilah apapun pekerjaan kita sekarang. Kita akan tampil secemerlang yang berbakat.
Kita lebih menghormati orang miskin yang berani daripada orang kaya yang penakut. Karena sebetulnya telah jelas perbedaan kualitas masa depan yang akan mereka capai.
Jika kita hanya mengerjakan yang sudah kita ketahui, kapankah kita akan mendapat pengetahuan yang baru ? Melakukan yang belum kita ketahui adalah pintu menuju pengetahuan.
Jangan hanya menghindari yang tidak mungkin. Dengan mencoba sesuatu yang tidak mungkin,kita akan bisa mencapai yang terbaik dari yang mungkin kita capai.
Salah satu pengkerdilan terkejam dalam hidup adalah membiarkan pikiran yang cemerlang menjadi budak bagi tubuh yang malas, yang mendahulukan istirahat sebelum lelah.
Bila kita mencari uang, kita akan dipaksa mengupayakan pelayanan yang terbaik. Tetapi jika kita mengutamakan pelayanan yang baik, maka kitalah yang akan dicari uang.
Semua waktu adalah waktu yang tepat untuk melakukan sesuatu yang baik. Jangan menjadi orang tua yang masih melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan saat muda.
Kekuatan terbesar yang mampu mengalahkan stress adalah kemampuan memilih pikiran yang tepat. Anda akan menjadi lebih damai bila yang anda pikirkan adalah jalan keluar masalah.
Kita lebih menghormati orang miskin yang berani daripada orang kaya yang penakut. Karena sebetulnya telah jelas perbedaan kualitas masa depan yang akan mereka capai.
Jangan hanya menghindari yang tidak mungkin. Dengan mencoba sesuatu yang tidak mungkin,anda akan bisa mencapai yang terbaik dari yang mungkin anda capai.
Waktu ,mengubah semua hal, kecuali kita. Kita mungkin menua dengan berjalanannya waktu, tetapi belum tentu membijak. Kita-lah yang harus mengubah diri kita sendiri.
Website resmi:
http://www.marioteguh.asia/
Neno Warisman
Bercermin Pada kehidupan Nabi,
Berkiprah di Duni Pendidikan
Untuk mewujudkan cita-citanya, wanita cantik bernama asli Titi Widoretno Warisman atau yang sering di sapa dengan Neno Warisman, mengatakan tidak terlepas dari peran kedua orang tuanya yang selalu menanamkan sikap kesederhanaan. Keluarganya, kata Neno, bukan orang kaya, tapi miskin sekali juga tidak.
Sejak kecil, Neno mengaku sudah punya beragam cita-cita. "Ganti-ganti terus, mau jadi nabi, lalu jadi dokter, jadi pesenam, jadi orang kaya, lalu jadi guru tuna rungu, jadi pengembara, jadi ibu yang hebat, jadi penulis, dst...dst...terakhir, ingin jadi hamba," katanya.
Peran Kedua Orang Tua di Mata Neno
Neno mengungkapkan, dulu, neneknya punya tanah yang cukup luas di segitiga emas. Rumah nenek banyak didatangi orang. Ibunya adalah anak sulung yang dididik bertanggung jawab terhadap adik-adiknya yang banyak. Oleh sebab itu, setelah berkeluarga, mengurus 6 orang buah hatinya, bukan pengalaman baru buat beliau. Bagi Neno, ibu adalah orang yang paling berpengaruh dalam hidupnya, tapi bukan berarti bapaknya yang bekerja sebagai karyawan Bank tidak memiliki peran yang tak kalah pentingnya.
"Bapak orang lurus, sangat lurus, tidak pandai komunikasi. Ia mewariskan tiga hal penting untuk hidup, kejujuran, kerja keras dan berserah diri pada ALLAH secara kaffah. Bapak amat bangga pada saya karena ia sering dengar anaknya ini selalu berpihak pada orang miskin dan dhuafa. Bapak namakan saya pejuang dan sangat mendukung saya. Saya tidak pernah melihat bapak menangis, sampai suatu hari saya melihat beliau mbrebes mili dan mengungkapkan isi hatinya, bapak memberikan wasiat penting, untuk bertakzim pada rakyat. Entahlah, apakah cita-cita terakhir saya untuk jadi hamba itu sekaligus dapat memenuhi harapan bapak? Allahualam," ujarnya bangga.
Ibu kelahiran Jakarta 21 Juni 1964 ini mengatakan, bahwa ibunya tidak mendidik dirinya dan saudara-saudaranya dengan paksaan, termasuk dalam menentukan cita-cita. Walaupun bukan sarjana, tapi ibu sangat ahli berkomunikasi. Beliau pakar berkomunikasi sehingga banyak orang yang datang meminta nasehat ini dan itu terutama sejak kami menginjak remaja. Neno menambahkan, ibunya berprinsip, mendidik anak dengan mengembangkan bakat sejak dini, dan ternyata prisip itu terbukti dalam diri Neno.
"Mama telaten menemani saya ikut kegiatan apa saja. Mulai menari, senam, teater, nyanyi, puisi...dst... Tidak tahu siapa yang mengajari mama pengetahuan itu, bahwa jika bakat dan minat anak disalurkan, dikembangkan, dia dengan cepat akan jadi bintang, dan dia dapat ketrampilan hidup jika ia kelak dewasa. Mama hebat. Karena mama demikian ngemong kepada bakat saya, maka saya pun merasa santai dalam belajar," ungkapnya.
Ia mengakui meskipun memiliki aktifitas yang sangat banyak, namun dirinya selalu menjadi juara kelas bahkan jadi siswa teladan.
"Padahal aktifitas saya sangat luar biasa banyaknya. Saya kuliah sambil nyanyi ke seluruh nusantara, (waktu itu belum jaman laptop), mama selalu ikut dan bangun malam hari, membangunkan saya saat harus menyelesaikan makalah di mana saja kami tour atau show. Saya memang tidak diluluskan oleh jurusan saya, artinya saya tidak bergelar sarjana sebagaimana disangka banyak orang, tapi mama tetap membesarkan hati saya karena skripsi saya sebetulnya selesai juga at the last minute. Ujian kesarjanaan saya lakukan diantara kesibukan tinggi tersebut, maka bagi mama saya tetap sarjana, Ha ha ha," jelasnya sambil tertawa.
Anak ke empat dari enam bersaudara ini menuturkan, satu-satunya "kesalahan" Neno, menurut ibunya, adalah dia memperjuangkan nasib keluarga. Untuk itu dia di diskualifikasi dan dianggap tidak layak menjadi sarjana. Dan sekarang, jika ia diminta bicara di mana-mana menyangkut banyak persoalan sosial, pendidikan, dan sedikit tentang politik atau agama, mama selalu bilang, anak mama doktor, begitu juga dengan bapak.
Kedua orang tuanya, lanjut Neno menginginkan anak-anaknya lebih dari mereka. Ada satu peristiwa besar yang tidak akan pernah dilupakan Neno, yaitu ketika bapaknya memutuskan untuk tidak bersedia dipindah-pindah sebagai syarat untuk naik pangkat, dengan alasan agar anak-anaknya dapat sekolah dengan tenang.
"Itu pengorbanan yang luar biasa untuk kami. Maka benarlah, tidak perlu kata-kata apapun juga kecuali keteladanan sikap dari orang tua pada anak-anaknya, kami sekarang mau berkorban apa saja untuk orang tua karena paham, ngerti orang tua dulu selalu berkorban untuk kami," ceritanya dengan haru.
Seseorang yang Istimewa di Kampus
Pendidikan formal ia lalui dari TK SD Tunas Harapan, SMP negeri 82, SMA Tarakanita I dan Kuliah Universitas Indonesia, sastra Prancis. Neno pernah mengalami kegamangan antara mengejar pendidikan formal atau mengembangan bakat meski selalu dimusuhi bahkan sedikit disingkirkan.Tapi Neno merasakan, kasih sayang Allah SWT tidak pernah meninggalkannya, dalam keadaan harus berjuang memenangkan dua pertandingan itu, datanglah seorang yang istimewa buat Neno.
Seorang itu tidak pernah menganggap dirinya bodoh, baginya beliau adalah seorang manusia besar dan ilmuwan tulen, seorang pembelajar yang luar biasa. Sikap beliau pada mahasiswa yang bekerja seperti dirinya, benar-benar memberi rasa nyaman. Beliau tidak menempatkan dirinya menjadi terdakwa dan bodoh, seperti yang sering Neno rasakan dari sikap kebanyakan dosen dan pengajar semasa kuliah.
"Saya kagum habis-habisan padanya. Dia membiarkan saya tertidur di kursi kuliahnya karena sangat faham saya mungkin datang dari Kalimantan, Sulawesi, atau daerah tempat saya show malam harinya. Selama masa kuliah, keharusan absensi penuh 90 persen membuat saya harus gila-gilaan, meski sekedar duduk di ruang kelas pagi harinya dan siang harinya naik pesawat lagi, terbang ke daerah lain lagi..., besok dan besoknya begitu lagi. Apalagi kalau ada ujian akhir atau tengah semester yang berbarengan dengan jadwal show yang tidak bisa saya batalkan. Pada tahun-tahun itu saya memang sedang mengumpulkan uang untuk beberapa keperluan mendasar untuk keluarga besar kami," tuturnya.
Bercermin Pada Nabi dalam Berkiprah di Dunia Pendidikan
Setelah berhenti dari dunia tarik suara dan sinetron, Neno memilih berkhidmat pada masyarakat. Terutama anak-anak, terutama anak usia dini, sejalan dengan tumbuh kembang ketiga anaknya. Neno sendiri cukup lama menimba ilmu di Yayasan Kita dan Buah Hati dibawah asuhan Ibu Elly Risman Musa yang banyak mewariskan ilmu tentang pengasuhan/parenting.
Sampai hari ini dua hal itu yang menjadi minat dirinya untuk beraktifitas di Neno Education and Care dan sebuah yayasan tempat saya berkumpul lagi dengan Ibu Elly serta seorang sahabat kami yang menjadi konseptor unggul dari banyak produk pengabdian masyarakat, Sutan I.Rinaldi, namanya. Kami bawa Yayasan SAHABAT ANAK INDONESIA (SAI) ini menjadi sebuah lembaga untuk menghasilkan "Student Profile" anak bangsa yang bahagia dan selamat dunia akhirat.
Neno menjelaskan, alasannya memilih bidang pendidikan adalah karena fitrah. Tanpa terasa sudah 12 tahun ia tekuni aktifitasnya itu. Ketika ditanya adakah keinginan dirinya untuk bermain sinetron dan bernyanyi kembali, Neno mengatakan poinnya sekarang bukan ingin atau tidak, melainkan perlu dan bermanfaatkah untuk ummat. Neno menegaskan, dirinya bukan lulusan dari jenjang tinggi bidang pendidikan, tapi Ia berguru kepada banyak pakar dan ahli, berusaha banyak baca, berusaha terus menerus menggali dari dalam diri dan nuraninya sendiri.
Ada beberapa hal yang selama ini ia dengar dan renungi, antara lain persoalan orientasi. Ini kaitannnya dengan hakikat mendidik itu sendiri. Manusia beda dengan binatang. Manusia diberi kelebihan sebagai master piece, ciptaan unggulan Allah. Kelebihan itu merupakan suatu komposisi yang harmonis dari tiga unsur, badan/raga, otak/akalnya dan jiwa/ruhaninya.
Dalam menjalankan aktifitasnya sebagai pendidik, Neno selalu berusaha meneladani Nabi Muhammad SAW yang menitik beratkan bukan pada pencapaian materi atau ilmu lebih dahulu, melainkan pendidikan yang mendahulukan kesejahteraan/keselamatan ruhani/iman sebagai panglimanya. Hasil didikan jaman itu, kata Neno bisa terlihat dari orang-orangnya yang secara duniawi sangat mapan, canggih, tetapi mereka bertaqwa penuh pada Allah SWT. Allah adalah segala-galanya.
Beda sekali dengan sistem pendididian (baca: sekolah) sekarang. Yang dikejar adalah angka. Ini melahirkan banyak kepalsuan dan kemunafikan. Yang dikejar adalah titel kesarjanaan sehingga yang dihasilkan adalah pengangguran dan tindak kriminalitas kerah putih yang dahsyat. Yang dituju adalah dunia. Maka benar firman Allah, kalau tujuan kamu dunia, yang kamu dapat celaka. Tapi tujukan pada dunia dan akhir, pasti akan mendapat kebahagiaan dan keselamatan.
Dengan pola yang dilakukan secara nasional seperti sekarang ini, Neno menilai dampaknya sangat banyak. Yang paling kentara adalah rendahnya SDM atau SDI (sumber daya Insani) kita. Semua itu tidak akan terjadi kalau sejak seorang anak bersentuhan dengan sarana dan prasarana pendidikannya (baik di rumah, sekolah maupun lingkungan), pihak orang tua, pendidik di sekolah/ institusi serta masyarakat (pemerintah, penguasa, dan masyarakat umumnya) memiliki STUDENT PROFILE yang melibatkan tujuan Allah SWT menciptakan manusia.
Manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah. Kalau lulus S3 ternyata yang ada di batok kepalanya yang hebat itu hanyalah dunia saja, maka gagallah tujuan penciptaannya. Pendidikan berhasil hanya sebatas dunia saja dan itu bertentangan dengan keinginan Sang Pencipta. Jadi, benarlah Diknas hari ini mengunggulkan program anak usia dini/ anak dini usia karena mendidik manusia itu selayaknya dari mata air yang paling jernih. Ini sesuai dengan yang Nabi dan para Salafus shaleh lakukan.
Nabi mendidik dengan memberikan rasa aman dan nyaman, jadi kenapa di sekolah ada sederet panjang kurikulum yang dituhankan dan menjadi beban serta menganiaya (abuse) harga diri dan otak anak-anak. Kenapa sistem ranking dan akselerasi dianggap memberdayakan sementara jutaan anak-anak terpenggal bakat dan minatnya karena sistem penyeragaman telah meremukkan potensi dahsyat setiap anak.
Anak Adalah Sahabat Sejati bagi Neno
Neno kini memiliki tiga orang anak, Giffari 11 tahun, Maghfira 9 tahun 5 bulan dan Raudya 8 tahun. Menurut Neno, keluarga sakinah adalah keluarga yang di dalamnya ada rasa nyaman bagi seluruh anggota keluarga, di mana di dalamnya ada laki laki terbaik yang dikatakan Nabi, yaitu ia yang paling santun pada ahlinya, istri dan anak serta memenuhi kewajibannya sebagai wali/pemimpin bukan hanya dalam nafkah lahir, tetapi memenuhi kebutuhan rasa bahagia semua anggota dikeluarga.
Ada wanita terbaik, yaitu wanita yang lebih mahal dari langit dan bumi yang boleh masuk surga dari pintu mana saja. Yiatu wanita yang taat pada suami karena Allah dan menjaga amanah suaminya karena Allah dan lebih mencintai Allah dan rasulnya dari apapun juga. Dan ada anak-anak yang merasa aman dan nyaman karena hak pertama mereka diberikan: yaitu memiliki ayah dan Ibu yang takut hanya pada ALLAH dan mengajak mereka untuk selalu menjaga hak - hak Allah dengan ihsan dan rela.
Rumah tersebut bukan rumah penuh hiasan mahal bermilyar. Semua itu tidak ada artinya jika di dalamnya tidak ada kesepakatan menjadikan rumah tersebut sebagai rumah perjuangan, rumah yang di dalamnya setiap orang membiasakan diri untuk melakukan aktifitas apapun dalam kerangka berjuang di jalan Allah.
Bercerita tentang cara dirinya berbagi waktu antara pekerjaan dan keluarga, Neno mengatakan sekarang dirinya lebih banyak menyelenggarakan kegiatan dari rumah, kecuali pertemuan yang tidak bisa dihindarkan. Pada hari Sabtu dan Ahad, ia sangat pelit kepada aktifitas di luar rumah.
Untuk selalu berkomunikasi dengan anak, Neno mengaku tidak pernah mengalami kesulitan sebab sejak awal, dirinya amat sangat terbuka dan transparan terhadap anak-anaknya. Anak-anak adalah furqan. Mereka suci bersih, mereka adalah kaca terbaik. Bahkan ia selalu minta diberi masukan untuk perbaikan secara rutin, karena anak-anak adalah sahabat sejati.
Santai tapi sungguh-sungguh, itulah gaya Neno mendidik anak-anaknya, namun dalam momen yang tepat kalau ada kesempatan untuk merebut the golden opportunity biasanya ia katakan, kira-kira seperti ini, "Aku, ibumu, adalah orang di dunia ini yang paling mencintaimu dan tidak ada orang lain yang lebih dari aku dalam hal ini. Tetapi Allah lebih mencintaimu dari aku. Dan kalian/kau pun mencintaiku tapi ada yang lebih baik cintanya yaitu cinta Allah padaku. Dan tidak ada yang lebih mencintai kita, siapapun saja, kecuali Allah. Dan Kitapun mencintai Allah dan Rasul lebih dari apapun, lebih dari siapapun."
Setiap hari bahkan di setiap pertemuan Neno dengan anak-anaknya selalu diisi dengan diskusi. Neno menegaskan dalam meraih cita-citanya, ia selalu menekankan pada anak-anaknya, bahwa tidak penting ranking yang penting senang belajar. Nilai tidak terlalu penting, tapi yang penting rela menegakkan shalat terutama yang lima. "Dan tidak ada ilmu yang lebih hebat dan lebih harus kita kejar daripada Al-quran," tegasnya.
Hari libur selalu Neno manfaatkan bersama anak-anaknya, misalnya di rumah saja, gelar tikar di lapangan menghibur keluarga, atau berkunjung ke teman yang terbatas, atau sekedar naik kereta api. Tempat berlibur yang paling favorit adalah rumah, karena bila di rumah dirinya bisa lebih akrab, bercanda, mengambil pelajaran dari percakapan atau kejadian. Jadi selalu ada liburan tiap hari. Makanan yang paling Neno sukai adalah makanan yang agak pedas, tapi tidak berbau terasi, petai dan sebagainya.
( By. Travel Sri WR/ln) (www.eramuslim.com)
Berkiprah di Duni Pendidikan
Untuk mewujudkan cita-citanya, wanita cantik bernama asli Titi Widoretno Warisman atau yang sering di sapa dengan Neno Warisman, mengatakan tidak terlepas dari peran kedua orang tuanya yang selalu menanamkan sikap kesederhanaan. Keluarganya, kata Neno, bukan orang kaya, tapi miskin sekali juga tidak.
Sejak kecil, Neno mengaku sudah punya beragam cita-cita. "Ganti-ganti terus, mau jadi nabi, lalu jadi dokter, jadi pesenam, jadi orang kaya, lalu jadi guru tuna rungu, jadi pengembara, jadi ibu yang hebat, jadi penulis, dst...dst...terakhir, ingin jadi hamba," katanya.
Peran Kedua Orang Tua di Mata Neno
Neno mengungkapkan, dulu, neneknya punya tanah yang cukup luas di segitiga emas. Rumah nenek banyak didatangi orang. Ibunya adalah anak sulung yang dididik bertanggung jawab terhadap adik-adiknya yang banyak. Oleh sebab itu, setelah berkeluarga, mengurus 6 orang buah hatinya, bukan pengalaman baru buat beliau. Bagi Neno, ibu adalah orang yang paling berpengaruh dalam hidupnya, tapi bukan berarti bapaknya yang bekerja sebagai karyawan Bank tidak memiliki peran yang tak kalah pentingnya.
"Bapak orang lurus, sangat lurus, tidak pandai komunikasi. Ia mewariskan tiga hal penting untuk hidup, kejujuran, kerja keras dan berserah diri pada ALLAH secara kaffah. Bapak amat bangga pada saya karena ia sering dengar anaknya ini selalu berpihak pada orang miskin dan dhuafa. Bapak namakan saya pejuang dan sangat mendukung saya. Saya tidak pernah melihat bapak menangis, sampai suatu hari saya melihat beliau mbrebes mili dan mengungkapkan isi hatinya, bapak memberikan wasiat penting, untuk bertakzim pada rakyat. Entahlah, apakah cita-cita terakhir saya untuk jadi hamba itu sekaligus dapat memenuhi harapan bapak? Allahualam," ujarnya bangga.
Ibu kelahiran Jakarta 21 Juni 1964 ini mengatakan, bahwa ibunya tidak mendidik dirinya dan saudara-saudaranya dengan paksaan, termasuk dalam menentukan cita-cita. Walaupun bukan sarjana, tapi ibu sangat ahli berkomunikasi. Beliau pakar berkomunikasi sehingga banyak orang yang datang meminta nasehat ini dan itu terutama sejak kami menginjak remaja. Neno menambahkan, ibunya berprinsip, mendidik anak dengan mengembangkan bakat sejak dini, dan ternyata prisip itu terbukti dalam diri Neno.
"Mama telaten menemani saya ikut kegiatan apa saja. Mulai menari, senam, teater, nyanyi, puisi...dst... Tidak tahu siapa yang mengajari mama pengetahuan itu, bahwa jika bakat dan minat anak disalurkan, dikembangkan, dia dengan cepat akan jadi bintang, dan dia dapat ketrampilan hidup jika ia kelak dewasa. Mama hebat. Karena mama demikian ngemong kepada bakat saya, maka saya pun merasa santai dalam belajar," ungkapnya.
Ia mengakui meskipun memiliki aktifitas yang sangat banyak, namun dirinya selalu menjadi juara kelas bahkan jadi siswa teladan.
"Padahal aktifitas saya sangat luar biasa banyaknya. Saya kuliah sambil nyanyi ke seluruh nusantara, (waktu itu belum jaman laptop), mama selalu ikut dan bangun malam hari, membangunkan saya saat harus menyelesaikan makalah di mana saja kami tour atau show. Saya memang tidak diluluskan oleh jurusan saya, artinya saya tidak bergelar sarjana sebagaimana disangka banyak orang, tapi mama tetap membesarkan hati saya karena skripsi saya sebetulnya selesai juga at the last minute. Ujian kesarjanaan saya lakukan diantara kesibukan tinggi tersebut, maka bagi mama saya tetap sarjana, Ha ha ha," jelasnya sambil tertawa.
Anak ke empat dari enam bersaudara ini menuturkan, satu-satunya "kesalahan" Neno, menurut ibunya, adalah dia memperjuangkan nasib keluarga. Untuk itu dia di diskualifikasi dan dianggap tidak layak menjadi sarjana. Dan sekarang, jika ia diminta bicara di mana-mana menyangkut banyak persoalan sosial, pendidikan, dan sedikit tentang politik atau agama, mama selalu bilang, anak mama doktor, begitu juga dengan bapak.
Kedua orang tuanya, lanjut Neno menginginkan anak-anaknya lebih dari mereka. Ada satu peristiwa besar yang tidak akan pernah dilupakan Neno, yaitu ketika bapaknya memutuskan untuk tidak bersedia dipindah-pindah sebagai syarat untuk naik pangkat, dengan alasan agar anak-anaknya dapat sekolah dengan tenang.
"Itu pengorbanan yang luar biasa untuk kami. Maka benarlah, tidak perlu kata-kata apapun juga kecuali keteladanan sikap dari orang tua pada anak-anaknya, kami sekarang mau berkorban apa saja untuk orang tua karena paham, ngerti orang tua dulu selalu berkorban untuk kami," ceritanya dengan haru.
Seseorang yang Istimewa di Kampus
Pendidikan formal ia lalui dari TK SD Tunas Harapan, SMP negeri 82, SMA Tarakanita I dan Kuliah Universitas Indonesia, sastra Prancis. Neno pernah mengalami kegamangan antara mengejar pendidikan formal atau mengembangan bakat meski selalu dimusuhi bahkan sedikit disingkirkan.Tapi Neno merasakan, kasih sayang Allah SWT tidak pernah meninggalkannya, dalam keadaan harus berjuang memenangkan dua pertandingan itu, datanglah seorang yang istimewa buat Neno.
Seorang itu tidak pernah menganggap dirinya bodoh, baginya beliau adalah seorang manusia besar dan ilmuwan tulen, seorang pembelajar yang luar biasa. Sikap beliau pada mahasiswa yang bekerja seperti dirinya, benar-benar memberi rasa nyaman. Beliau tidak menempatkan dirinya menjadi terdakwa dan bodoh, seperti yang sering Neno rasakan dari sikap kebanyakan dosen dan pengajar semasa kuliah.
"Saya kagum habis-habisan padanya. Dia membiarkan saya tertidur di kursi kuliahnya karena sangat faham saya mungkin datang dari Kalimantan, Sulawesi, atau daerah tempat saya show malam harinya. Selama masa kuliah, keharusan absensi penuh 90 persen membuat saya harus gila-gilaan, meski sekedar duduk di ruang kelas pagi harinya dan siang harinya naik pesawat lagi, terbang ke daerah lain lagi..., besok dan besoknya begitu lagi. Apalagi kalau ada ujian akhir atau tengah semester yang berbarengan dengan jadwal show yang tidak bisa saya batalkan. Pada tahun-tahun itu saya memang sedang mengumpulkan uang untuk beberapa keperluan mendasar untuk keluarga besar kami," tuturnya.
Bercermin Pada Nabi dalam Berkiprah di Dunia Pendidikan
Setelah berhenti dari dunia tarik suara dan sinetron, Neno memilih berkhidmat pada masyarakat. Terutama anak-anak, terutama anak usia dini, sejalan dengan tumbuh kembang ketiga anaknya. Neno sendiri cukup lama menimba ilmu di Yayasan Kita dan Buah Hati dibawah asuhan Ibu Elly Risman Musa yang banyak mewariskan ilmu tentang pengasuhan/parenting.
Sampai hari ini dua hal itu yang menjadi minat dirinya untuk beraktifitas di Neno Education and Care dan sebuah yayasan tempat saya berkumpul lagi dengan Ibu Elly serta seorang sahabat kami yang menjadi konseptor unggul dari banyak produk pengabdian masyarakat, Sutan I.Rinaldi, namanya. Kami bawa Yayasan SAHABAT ANAK INDONESIA (SAI) ini menjadi sebuah lembaga untuk menghasilkan "Student Profile" anak bangsa yang bahagia dan selamat dunia akhirat.
Neno menjelaskan, alasannya memilih bidang pendidikan adalah karena fitrah. Tanpa terasa sudah 12 tahun ia tekuni aktifitasnya itu. Ketika ditanya adakah keinginan dirinya untuk bermain sinetron dan bernyanyi kembali, Neno mengatakan poinnya sekarang bukan ingin atau tidak, melainkan perlu dan bermanfaatkah untuk ummat. Neno menegaskan, dirinya bukan lulusan dari jenjang tinggi bidang pendidikan, tapi Ia berguru kepada banyak pakar dan ahli, berusaha banyak baca, berusaha terus menerus menggali dari dalam diri dan nuraninya sendiri.
Ada beberapa hal yang selama ini ia dengar dan renungi, antara lain persoalan orientasi. Ini kaitannnya dengan hakikat mendidik itu sendiri. Manusia beda dengan binatang. Manusia diberi kelebihan sebagai master piece, ciptaan unggulan Allah. Kelebihan itu merupakan suatu komposisi yang harmonis dari tiga unsur, badan/raga, otak/akalnya dan jiwa/ruhaninya.
Dalam menjalankan aktifitasnya sebagai pendidik, Neno selalu berusaha meneladani Nabi Muhammad SAW yang menitik beratkan bukan pada pencapaian materi atau ilmu lebih dahulu, melainkan pendidikan yang mendahulukan kesejahteraan/keselamatan ruhani/iman sebagai panglimanya. Hasil didikan jaman itu, kata Neno bisa terlihat dari orang-orangnya yang secara duniawi sangat mapan, canggih, tetapi mereka bertaqwa penuh pada Allah SWT. Allah adalah segala-galanya.
Beda sekali dengan sistem pendididian (baca: sekolah) sekarang. Yang dikejar adalah angka. Ini melahirkan banyak kepalsuan dan kemunafikan. Yang dikejar adalah titel kesarjanaan sehingga yang dihasilkan adalah pengangguran dan tindak kriminalitas kerah putih yang dahsyat. Yang dituju adalah dunia. Maka benar firman Allah, kalau tujuan kamu dunia, yang kamu dapat celaka. Tapi tujukan pada dunia dan akhir, pasti akan mendapat kebahagiaan dan keselamatan.
Dengan pola yang dilakukan secara nasional seperti sekarang ini, Neno menilai dampaknya sangat banyak. Yang paling kentara adalah rendahnya SDM atau SDI (sumber daya Insani) kita. Semua itu tidak akan terjadi kalau sejak seorang anak bersentuhan dengan sarana dan prasarana pendidikannya (baik di rumah, sekolah maupun lingkungan), pihak orang tua, pendidik di sekolah/ institusi serta masyarakat (pemerintah, penguasa, dan masyarakat umumnya) memiliki STUDENT PROFILE yang melibatkan tujuan Allah SWT menciptakan manusia.
Manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah. Kalau lulus S3 ternyata yang ada di batok kepalanya yang hebat itu hanyalah dunia saja, maka gagallah tujuan penciptaannya. Pendidikan berhasil hanya sebatas dunia saja dan itu bertentangan dengan keinginan Sang Pencipta. Jadi, benarlah Diknas hari ini mengunggulkan program anak usia dini/ anak dini usia karena mendidik manusia itu selayaknya dari mata air yang paling jernih. Ini sesuai dengan yang Nabi dan para Salafus shaleh lakukan.
Nabi mendidik dengan memberikan rasa aman dan nyaman, jadi kenapa di sekolah ada sederet panjang kurikulum yang dituhankan dan menjadi beban serta menganiaya (abuse) harga diri dan otak anak-anak. Kenapa sistem ranking dan akselerasi dianggap memberdayakan sementara jutaan anak-anak terpenggal bakat dan minatnya karena sistem penyeragaman telah meremukkan potensi dahsyat setiap anak.
Anak Adalah Sahabat Sejati bagi Neno
Neno kini memiliki tiga orang anak, Giffari 11 tahun, Maghfira 9 tahun 5 bulan dan Raudya 8 tahun. Menurut Neno, keluarga sakinah adalah keluarga yang di dalamnya ada rasa nyaman bagi seluruh anggota keluarga, di mana di dalamnya ada laki laki terbaik yang dikatakan Nabi, yaitu ia yang paling santun pada ahlinya, istri dan anak serta memenuhi kewajibannya sebagai wali/pemimpin bukan hanya dalam nafkah lahir, tetapi memenuhi kebutuhan rasa bahagia semua anggota dikeluarga.
Ada wanita terbaik, yaitu wanita yang lebih mahal dari langit dan bumi yang boleh masuk surga dari pintu mana saja. Yiatu wanita yang taat pada suami karena Allah dan menjaga amanah suaminya karena Allah dan lebih mencintai Allah dan rasulnya dari apapun juga. Dan ada anak-anak yang merasa aman dan nyaman karena hak pertama mereka diberikan: yaitu memiliki ayah dan Ibu yang takut hanya pada ALLAH dan mengajak mereka untuk selalu menjaga hak - hak Allah dengan ihsan dan rela.
Rumah tersebut bukan rumah penuh hiasan mahal bermilyar. Semua itu tidak ada artinya jika di dalamnya tidak ada kesepakatan menjadikan rumah tersebut sebagai rumah perjuangan, rumah yang di dalamnya setiap orang membiasakan diri untuk melakukan aktifitas apapun dalam kerangka berjuang di jalan Allah.
Bercerita tentang cara dirinya berbagi waktu antara pekerjaan dan keluarga, Neno mengatakan sekarang dirinya lebih banyak menyelenggarakan kegiatan dari rumah, kecuali pertemuan yang tidak bisa dihindarkan. Pada hari Sabtu dan Ahad, ia sangat pelit kepada aktifitas di luar rumah.
Untuk selalu berkomunikasi dengan anak, Neno mengaku tidak pernah mengalami kesulitan sebab sejak awal, dirinya amat sangat terbuka dan transparan terhadap anak-anaknya. Anak-anak adalah furqan. Mereka suci bersih, mereka adalah kaca terbaik. Bahkan ia selalu minta diberi masukan untuk perbaikan secara rutin, karena anak-anak adalah sahabat sejati.
Santai tapi sungguh-sungguh, itulah gaya Neno mendidik anak-anaknya, namun dalam momen yang tepat kalau ada kesempatan untuk merebut the golden opportunity biasanya ia katakan, kira-kira seperti ini, "Aku, ibumu, adalah orang di dunia ini yang paling mencintaimu dan tidak ada orang lain yang lebih dari aku dalam hal ini. Tetapi Allah lebih mencintaimu dari aku. Dan kalian/kau pun mencintaiku tapi ada yang lebih baik cintanya yaitu cinta Allah padaku. Dan tidak ada yang lebih mencintai kita, siapapun saja, kecuali Allah. Dan Kitapun mencintai Allah dan Rasul lebih dari apapun, lebih dari siapapun."
Setiap hari bahkan di setiap pertemuan Neno dengan anak-anaknya selalu diisi dengan diskusi. Neno menegaskan dalam meraih cita-citanya, ia selalu menekankan pada anak-anaknya, bahwa tidak penting ranking yang penting senang belajar. Nilai tidak terlalu penting, tapi yang penting rela menegakkan shalat terutama yang lima. "Dan tidak ada ilmu yang lebih hebat dan lebih harus kita kejar daripada Al-quran," tegasnya.
Hari libur selalu Neno manfaatkan bersama anak-anaknya, misalnya di rumah saja, gelar tikar di lapangan menghibur keluarga, atau berkunjung ke teman yang terbatas, atau sekedar naik kereta api. Tempat berlibur yang paling favorit adalah rumah, karena bila di rumah dirinya bisa lebih akrab, bercanda, mengambil pelajaran dari percakapan atau kejadian. Jadi selalu ada liburan tiap hari. Makanan yang paling Neno sukai adalah makanan yang agak pedas, tapi tidak berbau terasi, petai dan sebagainya.
( By. Travel Sri WR/ln) (www.eramuslim.com)
M. Antonio Syafii -
Muhammad Syafii Antonio adalah seorang muslim keturunan Tiong Hoa yang menjadi pakar ekonomi syariah di Indonesia. Ia lahir di Sukabumi, Jawa Barat, 12 Mei 1965. Nama aslinya Nio Cwan Chung. Sejak kecil ia mengenal dan menganut ajaran Konghucu, karena ayahnya seorang pendeta Konghucu. Selain mengenal ajaran Konghucu, ia juga mengenal ajaran Islam melalui pergaulan di lingkungan rumah dan sekolah. Ia sering memperhatikan cara-cara ibadah orang-orang muslim. Kerena terlalu sering memperhatikan tanpa sadar ia diam-diam suka melakukan shalat. Kegiatan ibadah orang lain ini ia lakukan walaupun ia belum mengikrarkan diri menjadi seorang muslim.
Biografi Muhammad Syafii Antonio dari Google Biografi
Kehidupan keluarganya sangat memberikan kebebasan dalam memilih agama. Sehingga ia memilih agama Kristen Protestan menjadi agamanya. Setelah itu ia berganti nama menjadi Pilot Sagaran Antonio. Kepindahan ia ke agama Kristen Protestan tidak membuat ayanya marah. Ayahnya akan sangat kecewa jika ia sekeluarga memilih Islam sebagai agama. Sikap ayahnya ini berangkat dari image gambaran buruk terhadap pemeluk Islam. Ayahnnnya sebenarnya melihat ajaran Islam itu bagus. Apalagi dilihat dari sisi Al Qur’an dan hadits. Tapi, ayahnya sangat heran pada pemeluknya yang tidak mencerminkan kesempurnaan ajaran agamanya.
Gambaran buruk tentang kaum muslimin itu menurut ayahnya terlihat dari banyaknya umat Islam yang berada dalam kemiskinan,keterbelakangan,dan kebodohan. Bahkan, sampai mencuri sandal di mushola pun dilakukan oleh umat Islam sendiri. Jadi keindahan dan kebagusan ajaran Islam dinodai oleh prilaku umatnya yang kurang baik. Kendati demikian buruknya citra kaum muslimin di mata ayah, tak membuat ia kendur untuk mengetahui lebih jauh tentang agama islam.
Untuk mengetahui agama Islam, ia mencoba mengkaji Islam secara komparatif (perbandingan) dengan agama-agama lain. Dalam melakukan studi perbandingan ini ia menggunakan tiga pendekatan, yakni pendekatan sejarah, pendekatan alamiah, dan pendekatan nalar rasio biasa. Sengaja ia tidak menggunakan pendekatan kitab-kitab suci agar dapat secara obyektif mengetahui hasilnya.
Muhammad Syafii Antonio
Berdasarkan tiga pendekatan itu, ia melihat Islam benar-benar agama yang mudah dipahami ketimbang agama-agama lain. Dalam Islam ia temukan bahwa semua rasul yang diutus Tuhan ke muka bumi mengajarkan risalah yang satu, yaitu Tauhid. Selain itu, ia sangat tertarik pada kitab suci umat Islam, yaitu Al-Qur’an. Kitab suci ini penuh dengan kemukjizatan, baik ditinjau dari sisi bahasa, tatanan kata, isi, berita, keteraturan sastra, data-data ilmiah, dan berbagai aspek lainnya. Ajaran Islam juga memiliki system nilai yang sangat lengkap dan komprehensif, meliputi system tatanan akidah, kepercayaan, dan tidak perlu perantara dalam beribadah.
Dibanding agama lain, ibadah dalam islam diartikan secara universal. Artinya, semua yang dilakukan baik ritual, rumah tangga, ekonomi, sosial, maupun budaya, selama tidak menyimpang dan untuk meninggikan siar Allah, nilainya adalah ibadah. Selain itu,disbanding agama lain, terbukti tidak ada agama yang memiliki system selengkap agama Islam. Hasil dari studi banding inilah yang memantapkan hati ia untuk segera memutuskan bahwa Islam adalah agama yang dapat menjawab persoalan hidup.
Masuk Islam Setelah melakukan perenungan untuk memantapkan hati, maka di saat ia berusia 17 tahun dan masih duduk di bangku SMA, ia putuskan untuk memeluk agama Islam. Oleh K.H.Abdullah bin Nuh al-Ghazali ia dibimbing untuk mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat pada tahun 1984. Nama ia kemudian diganti menjadi Syafii Antonio. Keputusan yang ia ambil untuk menjadi pengikut Nabi Muhammad saw. Ternyata mendapat tantangan dari pihak keluarga. Ia dikucilkan dan diusir dari rumah. Jika ia pulang, pintu selalu tertutup dan terkunci. Bahkan pada waktu shalat, kain sarung ia sering diludahi.
Perlakuan keluarga terhadap diri ia tak ia hadapi dengan wajah marah, tapi dengan kesabaran dan perilaku yang santun. Ini sudah konsekuensi dari keputusan yang ia ambil. Alhamdulillah,perlakuan dan sikap ia terhadap mereka membuahkan hasil. Tak lama kemudian ibunya menyusul jejak ia menjadi pengikut Nabi Muhammad saw. Setelah mengikrarkan diri, ia terus mempelajari Islam, mulai dari membaca buku, diskusi, dan sebagainya. Kemudian ia mempelajari bahasa Arab di Pesantren an-Nidzom, Sukabumi, dibawah pimpinan K.H.Abdullah Muchtar. Lulus SMA ia melanjutkan ke ITB dan IKIP, tapi kemudian pindah ke IAIN Syarif Hidayatullah. Itupun tidak lama, kemudian ia melanjutkan sekolah ke University of yourdan (Yordania).
Selesai studi S1 ia melanjutkan program S2 di International Islamic University (IIU) di Malaysia, khusus mempelajari ekonomi Islam. Selesai studi, ia bekerja dan mengajar pada beberapa universitas. Segala aktivitas ia sengaja ia arahkan pada bidang agama. Untuk membantu saudara-saudara muslim Tionghoa, ia aktif pada Yayasan Haji Karim Oei. Di yayasan inilah para mualaf mendapat informasi dan pembinaan. Mulai dari bimbingan shalat, membaca Al-Qur’an, diskusi, ceramah, dan kajian Islam, hingga informasi mengenai agama Islam.
Note:
Saya sangat ngefans banget ma Ust. Antonio Syafii, karena cara bicaranya yang lembut, kalem tetapi smart dan tegas.. siip..
Semoga kita bisa mengambil manfaat dari kisah hidup beliau, aammiinn...
Biografi Muhammad Syafii Antonio dari Google Biografi
Kehidupan keluarganya sangat memberikan kebebasan dalam memilih agama. Sehingga ia memilih agama Kristen Protestan menjadi agamanya. Setelah itu ia berganti nama menjadi Pilot Sagaran Antonio. Kepindahan ia ke agama Kristen Protestan tidak membuat ayanya marah. Ayahnya akan sangat kecewa jika ia sekeluarga memilih Islam sebagai agama. Sikap ayahnya ini berangkat dari image gambaran buruk terhadap pemeluk Islam. Ayahnnnya sebenarnya melihat ajaran Islam itu bagus. Apalagi dilihat dari sisi Al Qur’an dan hadits. Tapi, ayahnya sangat heran pada pemeluknya yang tidak mencerminkan kesempurnaan ajaran agamanya.
Gambaran buruk tentang kaum muslimin itu menurut ayahnya terlihat dari banyaknya umat Islam yang berada dalam kemiskinan,keterbelakangan,dan kebodohan. Bahkan, sampai mencuri sandal di mushola pun dilakukan oleh umat Islam sendiri. Jadi keindahan dan kebagusan ajaran Islam dinodai oleh prilaku umatnya yang kurang baik. Kendati demikian buruknya citra kaum muslimin di mata ayah, tak membuat ia kendur untuk mengetahui lebih jauh tentang agama islam.
Untuk mengetahui agama Islam, ia mencoba mengkaji Islam secara komparatif (perbandingan) dengan agama-agama lain. Dalam melakukan studi perbandingan ini ia menggunakan tiga pendekatan, yakni pendekatan sejarah, pendekatan alamiah, dan pendekatan nalar rasio biasa. Sengaja ia tidak menggunakan pendekatan kitab-kitab suci agar dapat secara obyektif mengetahui hasilnya.
Muhammad Syafii Antonio
Berdasarkan tiga pendekatan itu, ia melihat Islam benar-benar agama yang mudah dipahami ketimbang agama-agama lain. Dalam Islam ia temukan bahwa semua rasul yang diutus Tuhan ke muka bumi mengajarkan risalah yang satu, yaitu Tauhid. Selain itu, ia sangat tertarik pada kitab suci umat Islam, yaitu Al-Qur’an. Kitab suci ini penuh dengan kemukjizatan, baik ditinjau dari sisi bahasa, tatanan kata, isi, berita, keteraturan sastra, data-data ilmiah, dan berbagai aspek lainnya. Ajaran Islam juga memiliki system nilai yang sangat lengkap dan komprehensif, meliputi system tatanan akidah, kepercayaan, dan tidak perlu perantara dalam beribadah.
Dibanding agama lain, ibadah dalam islam diartikan secara universal. Artinya, semua yang dilakukan baik ritual, rumah tangga, ekonomi, sosial, maupun budaya, selama tidak menyimpang dan untuk meninggikan siar Allah, nilainya adalah ibadah. Selain itu,disbanding agama lain, terbukti tidak ada agama yang memiliki system selengkap agama Islam. Hasil dari studi banding inilah yang memantapkan hati ia untuk segera memutuskan bahwa Islam adalah agama yang dapat menjawab persoalan hidup.
Masuk Islam Setelah melakukan perenungan untuk memantapkan hati, maka di saat ia berusia 17 tahun dan masih duduk di bangku SMA, ia putuskan untuk memeluk agama Islam. Oleh K.H.Abdullah bin Nuh al-Ghazali ia dibimbing untuk mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat pada tahun 1984. Nama ia kemudian diganti menjadi Syafii Antonio. Keputusan yang ia ambil untuk menjadi pengikut Nabi Muhammad saw. Ternyata mendapat tantangan dari pihak keluarga. Ia dikucilkan dan diusir dari rumah. Jika ia pulang, pintu selalu tertutup dan terkunci. Bahkan pada waktu shalat, kain sarung ia sering diludahi.
Perlakuan keluarga terhadap diri ia tak ia hadapi dengan wajah marah, tapi dengan kesabaran dan perilaku yang santun. Ini sudah konsekuensi dari keputusan yang ia ambil. Alhamdulillah,perlakuan dan sikap ia terhadap mereka membuahkan hasil. Tak lama kemudian ibunya menyusul jejak ia menjadi pengikut Nabi Muhammad saw. Setelah mengikrarkan diri, ia terus mempelajari Islam, mulai dari membaca buku, diskusi, dan sebagainya. Kemudian ia mempelajari bahasa Arab di Pesantren an-Nidzom, Sukabumi, dibawah pimpinan K.H.Abdullah Muchtar. Lulus SMA ia melanjutkan ke ITB dan IKIP, tapi kemudian pindah ke IAIN Syarif Hidayatullah. Itupun tidak lama, kemudian ia melanjutkan sekolah ke University of yourdan (Yordania).
Selesai studi S1 ia melanjutkan program S2 di International Islamic University (IIU) di Malaysia, khusus mempelajari ekonomi Islam. Selesai studi, ia bekerja dan mengajar pada beberapa universitas. Segala aktivitas ia sengaja ia arahkan pada bidang agama. Untuk membantu saudara-saudara muslim Tionghoa, ia aktif pada Yayasan Haji Karim Oei. Di yayasan inilah para mualaf mendapat informasi dan pembinaan. Mulai dari bimbingan shalat, membaca Al-Qur’an, diskusi, ceramah, dan kajian Islam, hingga informasi mengenai agama Islam.
Note:
Saya sangat ngefans banget ma Ust. Antonio Syafii, karena cara bicaranya yang lembut, kalem tetapi smart dan tegas.. siip..
Semoga kita bisa mengambil manfaat dari kisah hidup beliau, aammiinn...
Ustad Arifin Ilham
Si Badung dari Banjarmasin
Begitu lahir, ia sudah bergigi. Ketika kecil, badungnya bukan alang kepalang. Ia nyaris membakar rumah, hanya karena permintaannya tidak dituruti. Doa kedua orang tuanya di Tanah Suci mengubah perangai Arifin.
Suatu siang di tepi sungai kecil tak bernama di Jalan Sutoyo, Banjarmasin, seorang anak laki-laki berusia dua tahun sedang asyik bermain-main air menemani sang ibu yang sedang sibuk mencuci. Tiba-tiba bocah itu tergelincir dan sekejap kemudian air yang deras sudah menariknya ke tengah sungai.
Menyaksikan anaknya hanyut, tanpa berpikir panjang ibu yang tengah hamil delapan bulan itu langsung terjun ke sungai. Air sungai yang deras dan dalam tidak membuatnya ciut. Ia berenang semampunya agar bisa menggapai kaki anak lelaki satu-satunya itu. Bocah itu sudah tenggelam cukup jauh dan terus meluncur cepat sejalan dengan derasnya air sungai. Sekujur tubuhnya tak terlihat dan hanya sesekali kaki anak itu tampak menjulur ke atas. Sambil terus berenang, wanita muda itu berusaha sekuat tenaga menggapai kaki anak itu. Ia seakan sudah tidak menghiraukan lagi bahwa di perutnya tengah ada jabang bayi yang usianya sudah cukup tua.
imageSyukurlah, usahanya membuahkan hasil. Setelah berenang sekitar empat meter lebih, ia akhirnya berhasil menangkap kaki putranya. Bocah itu sudah pucat pasi dan tak sadarkan diri. Beruntung, ibu itu masih merasakan ada gerak kehidupan di jantungnya. Dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, ibu itu menggendong putranya ke pinggir kali. Setelah itu, sang ibu tak sadarkan diri dan tidak tahu lagi apa yang terjadi selanjutnya.
Perjuangan ibu itu tidak sia-sia. Bocah yang nyaris mati tenggelam itu, kini telah menjadi seorang dai (penceramah agama) yang sangat kondang. Sejak namanya mulai dikenal, hampir setiap hari K.H. Arifin Ilham muncul di layar TV atau media lain. Berbeda dengan dai sejuta umat, K.H. Zainuddin M.Z., dan dai manajemen kalbu, Aa Gym, Arifin Ilham tampil dengan gaya zikirnya yang menyejukkan. Seakan membawa jemaahnya terbang ke langit serta melupakan dunia yang fana.
BERGIGI SEJAK LAHIR
Saat Arifin kecil itu tenggelam, ayahnya, H. Ilham Marzuki, yang bekerja sebagai staf di Bank BNI 46 di Banjarmasin, tengah berada di luar kota. Saat itu Arifin tengah bermain dengan kakaknya, Mursidah, sementara ibunya tengah mencuci. “Saat bermain dengan kakak, saya tiba-tiba terpeleset dan terjatuh ke sungai. Saya langsung tenggelam dan setelah itu saya tak sadar lagi apa yang terjadi,” Arifin Ilham membuka kisah masa kecilnya di sela-sela kegiatannya yang padat, antara lain mengisi siaran rohani di televisi.
Alhamdulillah, Arifin berhasil ditolong dan sehat kembali, sementara ibunya maupun kandungannya juga tak bermasalah. Pada 21 April 1971 (kandungan usia sembilan bulan sepuluh hari) ibunya melahirkan adik Arifin, Siti Hajar, dengan selamat.
Arifin Ilham adalah anak kedua dari lima bersaudara, dan dia satu-satunya anak lelaki. Ayah Arifin masih keturunan ketujuh Syeh Al-Banjar, ulama besar di Kalimantan, sementara ibunya, Hj. Nurhayati, kelahiran Haruyan, Kabupaten Barabay.
Setahun setelah menikah, pasangan ini melahirkan putri pertama mereka tahun 1967. Karena anak pertama mereka perempuan, betapa bahagianya mereka ketika anak keduanya adalah laki-laki. Nurhayati mengatakan bahwa saat hamil anak keduanya itu, ia merasa biasa-biasa saja, tidak ada tanda-tanda khusus. Hanya, berbeda dengan keempat putrinya, saat dalam kandungan, bayi yang satu ini sangat aktif. Tendangan kakinya pun sangat kuat, sehingga sang ibu acapkali meringis menahan rasa sakit.
Bayi yang lahir tanggal 8 Juni 1969 itu kemudian diberi nama Muhammad Arifin Ilham. Berbeda dengan keempat saudaranya yang lain, yang saat lahir berat mereka rata-rata 3 kilogram lebih, bayi yang satu ini beratnya 4,3 kilogram dengan panjang 50 sentimeter. “Anehnya, bayi itu sejak lahir sudah bergigi, yaitu di rahang bagian atasnya,” kenang Nurhayati.
Bayi itu selanjutnya tumbuh sehat. Usia setahun sudah bisa berjalan dan tak lama setelah itu ia mulai bisa berbicara. Setelah Siti Hajar, satu demi satu adik Arifin pun lahir. Yaitu, Qomariah yang lahir tanggal 17 Mei 1972 dan si bungsu Fitriani yang lahir tanggal 24 Oktober 1973.
Saat berusia lima tahun, Arifin dimasukkan oleh ibunya ke TK Aisyiah dan setelah itu langsung ke SD Muhammadiyah tidak jauh dari rumahnya di Banjarmasin. Arifin mengaku, saat masih di SD itu ia tergolong pemalas dan bodoh. “Kata orang Banjarmasin, Arifin itu babal. Arifin baru bisa baca-tulis huruf Latin setelah kelas 3,” kenang Arifin yang setiap kali berbicara tentang dirinya selalu menyebut namanya sendiri.
Di SD Muhammadiyah ini Arifin hanya sampai kelas 3, karena berkelahi melawan teman sekelasnya. Masalahnya, dia tidak rela ada salah seorang temannya yang berbadan kecil diganggu oleh teman sekelasnya yang berbadan cukup besar. Arifin kalah berkelahi karena lawannya jagoan karate. Wajahnya babak belur dan bibirnya sobek. Agar tidak berkelahi lagi, oleh ayahnya Arifin kemudian dipindahkan ke SD Rajawali.
KECIL, TAPI TUA
Rumah tempat tinggal orang tua Arifin terletak di Simpang Kertak Baru RT 7/RW 9, kota Banjarmasin, tepat di sebelah rumah neneknya, ibu dari ibunda Arifin. Sebagai pegawai Bank BNI 46, ayahnya sering kali bertugas ke luar kota Banjarmasin, kadang-kadang sampai dua-tiga bulan. Ayah Arifin mengakui bahwa ia tidak banyak berperan mendidik kelima anaknya, sehingga akhirnya yang banyak berperan mendidik Arifin adalah istri dan ibu mertuanya. Arifin mengungkapkan bahwa cara mendidik kedua orang tua itu keras sekali. “Baik Mama maupun Nenek kalau menghukum sukanya mencubit atau memukul. Dua-duanya turunan, kalau nyubit maupun memukul keras dan sakit sekali,” canda ustad muda itu.
Nenek Arifin sangat disiplin. Setiap pulang sekolah, Arifin kecil diharuskan untuk tidur siang. Kalau tak bisa tidur, ia terpaksa berpura-pura tidur, karena ditunggui dan dipelototi oleh sang nenek. Kalau mata melek sedikit, neneknya langsung berteriak-teriak, “Tidur... tidur…!” Meski tak ditunggu sekalipun, ia tak berani kabur karena kalau ketahuan pasti langsung dicubit atau dipukuli. Meskipun semua saudaranya perempuan, mereka pernah merasakan cubitan ibu maupun neneknya. “Nenek, kalau nyubit di paha, kenceng sekali, sampai-sampai paha kami biru-biru semua,” tambahnya sembari tertawa.
Di masa kecil, Arifin lebih suka bermain dengan teman-teman yang usianya lebih tua, sehingga ia dijuluki ‘ketu’, maksudnya, kecil tapi tua. Akibatnya, meski secara fisik dan usianya masih bocah, penalarannya acapkali seperti orang dewasa. Ibunda Arifin sangat terkesan dengan sifat sosial dari anak lelaki satu-satunya itu. “Sejak kecil, Arifin sangat berjiwa sosial. Dulu, ketika anak-anak masih kecil, setiap kali saya membagikan makanan dan di antara saudaranya ada yang merasa kurang, maka bagian makanannya langsung diberikan kepada saudaranya itu,” kenang sang ibu.
Ada satu kenangan yang tak pernah dilupakan oleh ibu dari lima anak itu. Saat itu, Arifin, yang baru duduk di kelas IV SD, serta semua saudaranya diajak jalan-jalan oleh kedua orang tuanya. Di tengah jalan, Arifin tiba-tiba memohon kepada ayahnya agar menghentikan mobilnya. Begitu mobil berhenti, ia segera turun. Rupanya, Arifin merasa iba melihat seorang lelaki tua yang susah payah menarik gerobak yang sarat dengan bawaan, menaiki jembatan. Bocah itu langsung membantu mendorong gerobak dari belakang sampai akhirnya berhasil mendaki jembatan itu. “Setelah itu, Arifin masih memberi uang kepada lelaki tua itu,” tutur Nurhayati, mengenang kelakuan putranya.
HAMPIR MAU BAKAR RUMAH
Kenakalan Arifin rupanya masih saja berlanjut, meskipun sudah dipindahkan ke SD Rajawali. “Maklum, karena kami tinggal di kota, Arifin mulai agak terpengaruh pada hal-hal yang sedikit negatif,” tutur Ilham Marzuki. ”Dia mulai bisa bermain judi dengan uang kecil-kecilan dan merokok dengan sembunyi-sembunyi.”
Menurut Arifin, ia tidak pernah berjudi dengan taruhan uang. “Arifin memang suka bermain judi dadu, tapi taruhannya bukan uang,” sergahnya. “Kalau Arifin berjudi, taruhannya kelereng. Kita pasang tiga kelereng, kalau menang dapat 10 kelereng. Tapi, Arifin banyak kalahnya sehingga lama- kelamaan duit Arifin pun habis untuk membeli kelereng. Karena masih ingin main judi, Arifin pun mencuri. Saat Abah memanggil-manggil dan mengajak salat berjemaah, Arifin pura-pura mandi. Begitu Abah sudah mulai salat, Arifin pun segera masuk ke kamar Abah dan mengambil uang Abah yang ada di kamar. Arifin tak berani mengambil banyak-banyak, hanya sekitar seribu rupiah!”
Pendidikan yang keras dan disiplin terhadap Arifin di rumah rupanya tidak selalu membuahkan hasil yang sesuai dengan harapan kedua orang tuanya. Di luar rumah, Arifin menikmati dunianya sendiri, sehingga membuat kedua orang tuanya jadi semakin cemas. “Karena Abah sering ke luar kota, maka Arifin pun jadi kurang terkontrol dan nakal,” kata Arifin beralasan.
Oleh kedua orang tuanya Arifin pun didatangkan guru mengaji ke rumah. Selain diharapkan pintar mengaji, kedua orang tuanya juga berharap agar anak lelaki satu-satunya itu tidak banyak bermain di luar rumah. Tapi, apa yang terjadi? Arifin justru membuat ulah yang aneh-aneh. Setiap kali guru mengaji itu datang ke rumah, ia selalu saja dijaili Arifin. “Kadang-kadang Arifin gembosin ban sepedanya, kadang-kadang ngumpetin sandalnya,” ujar Arifin berterus terang.
Saat kelas 6 SD Arifin pernah mengancam akan membakar rumah orang tuanya. Pasalnya, sang ayah tidak mau mengabulkan permintaannya. Rupanya, ia minta dibelikan motor trail, tapi malah dibelikan motor Vespa. Ayahnya khawatir, kalau dibelikan motor trail, Arifin akan main kebut-kebutan yang tentu sangat membahayakan keselamatannya. “Biarpun harganya lebih mahal, motor itu tidak trendi,” ujarnya jengkel.
Meski sudah menyiapkan minyak tanah dan korek api, orang tuanya tidak memperhatikan ancamannya itu. Arifin jadi kesal. Ia kemudian membuat ulah agar ayahnya naik pitam. Suatu sore, ketika banyak orang sedang bermain badminton di sebelah rumahnya, Arifin ikut bergabung bersama mereka. Ia tahu ayahnya sedang duduk-duduk di teras rumahnya dan dengan mudah bisa melihat apa yang diperbuatnya. Ia juga tahu ayahnya sangat tidak suka melihat orang merokok, terlebih itu dilakukan oleh anak kecil, seperti dirinya. Arifin pun sesungguhnya tidak suka merokok. Tapi, untuk memancing kemarahan ayahnya, ia sengaja merokok di depan ayahnya dan orang banyak. Begitu sampai pada tiga empat isapan, sang ayah mendekatinya dan langsung menampar sambil memarahinya. “Kamu ini nyontoh siapa, sih. Kamu, kok, jadi badung seperti ini? Kamu mau jadi apa kalau sudah besar nanti?”
Tamparan itu tidak hanya mempermalukannya, tapi juga membuatnya sakit lahir batin. Maklum, sewaktu muda ayahnya juga pernah berlatih karate, sehingga pukulannya cukup mantap. Saat itu juga ia kabur dari rumah. Ia sangat marah dan sakit hati sehingga tidak ingin pulang lagi ke rumah orang tuanya. Tapi, begitu jauh dari rumah, ia bingung mau lari ke mana. Karena hari sudah larut, maka ia putuskan singgah di rumah Ahmad, sahabat mainnya. Ia berpesan kepada keluarga Ahmad agar tidak memberitahukan keberadaannya kepada kedua orang tuanya. Tapi, diam-diam orang tua Ahmad memberitahukannya kepada Hj. Nurhayati, ibu Arifin. Nurhayati kemudian memberikan sejumlah uang kepada orang tua Ahmad untuk keperluan Arifin, baik untuk makan atau keperluan lain.
Arifin sama sekali tidak tahu bahwa ibunya sudah mengetahui keberadaannya. Tapi, ia merasa ada sesuatu yang agak janggal. Ia tahu persis bahwa kehidupan keluarga Ahmad tergolong susah. “Tapi, kenapa setiap hari makanannya selalu lezat-lezat? Nasinya enak, lauknya pun lengkap, ada ikan, daging, dan sebagainya,” papar Arifin. “Rupanya, selama Arifin menginap di rumah ini, selalu disubsidi Mama. Mama datang setiap hari dengan sembunyi-sembunyi, tanpa Arifin ketahui atau pas Arifin tidak berada di rumah,” lanjutnya.
Memasuki hari kelima, Nurhayati datang ke rumah orang tua Ahmad dan sengaja menemui Arifin. Ia memberi tahu bahwa ayahnya sakit keras gara-gara memikirkan Arifin. Ia membujuk putranya agar segera pulang ke rumah. Arifin trenyuh juga mendengar cerita itu dan saat itu pun ia bersedia pulang bersama ibunya. Sampai di rumah, Arifin langsung memohon maaf kepada ayahnya yang langsung memeluknya. “Kami saling berpelukan dan bertangis-tangisan,” kenang Arifin sendu. “Ini benar-benar seperti cerita sinetron!” lanjutnya bercanda.
Jadi Jagoan di Pesantren
Di Tanah Suci, kedua orang tuanya berdoa khusyuk untuk Arifin. Hasilnya, tabiat Arifin berubah drastis!
Saat kedua orang tuanya menunaikan ibadah haji, Arifin malah asyik berjudi. Tapi, ucapan seorang temannya yang pemabuk dan penjudi, hidupnya berubah total. Ia tinggalkan dunia remajanya yang ‘hitam’ dan dengan caranya ia mencoba memperbaiki hidupnya.
Apa saja yang dilakoni Arifin untuk menebus kesalahannya pada orang tuanya? Dan bagaimana langkahnya dari seorang ‘penjudi’ menjadi seorang dai?
SANTRI BERDASI
Meskipun badung, Arifin berhasil lulus SD dengan baik. Nilai pendidikan agamanya biasa-biasa saja, namun nilai pengetahuan umumnya cukup bagus sehingga ia bisa masuk ke SMP Negeri I Banjarmasin, sekolah favorit di ibu kota Kalimantan Selatan itu. “Kalau Arifin serius dan bersemangat untuk belajar, Arifin pasti mampu,” ujar Arifin. “Ketika kelas 6 Arifin mulai memiliki semangat belajar, sehingga nilai Arifin pun cukup bagus.”
Tapi, bukan berarti Arifin tidak nakal lagi. Ia masih suka bermain dengan anak-anak yang lebih tua darinya, serta bermain judi. Tahun 1982 ayah-ibunya berangkat ke Tanah Suci Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Di depan Kabah kedua orang tua Arifin bersimpuh di hadapan Ilahi, memohon agar Arifin diberikan petunjuk dan hidayah oleh-Nya.
Sementara itu, Arifin yang ditinggal di rumah bersama keempat saudaranya, tetap asyik bermain judi. Bekal yang ditinggalkan oleh ayahnya saat berangkat haji sudah ludes untuk membeli kelereng guna taruhan berjudi dadu. Suatu hari, ketika tengah asyik-asyiknya berjudi kelereng, Denny, salah seorang temannya bermain judi, tiba-tiba nyeletuk, “Fin, ayah lu naik haji, lu malah main judi!”
Arifin terenyak dan pikirannya mendadak menjadi tidak tenang. Saat itu juga ia langsung pamit pulang. Celetukan itu ternyata masuk ke nalar Arifin. Meski Denny seorang pemabuk dan penjudi, entah kenapa, ucapannya kali ini seakan langsung menohok kalbu Arifin. Sepanjang perjalanan, ia teringat pada kedua orang tuanya yang tengah menunaikan ibadah haji. Tiba-tiba ia dihantui perasaan bersalah yang luar biasa kepada kedua orang tuanya. Bayang-bayang kenakalannya selama ini mendadak muncul di hadapannya, membuat batinnya makin tersiksa. Semalaman ia tidak bisa tidur pulas. Setiap kali terbangun, bayangan kedua orang tuanya muncul, hingga membuatnya sangat khawatir. Tiba-tiba saja batinnya tercabik-cabik, hingga membuatnya menangis sendirian di kamar. “Hidayah tidak selalu datang dari seorang kiai atau ulama, tapi bisa juga dari mereka yang berlumur dosa,” tandasnya.
Arifin yakin, terbukanya mata hatinya tentu bukan semata-mata karena ucapan Denny yang menohok hatinya. Arifin mengatakan, “Selain Arifin mendapatkan hikmah dari ucapan Denny, doa Abah dan Mamah di Mekah ternyata dikabulkan oleh Allah. Selain untuk menunaikan ibadah haji, Arifin yakin Abah pasti memohon pada Allah agar anaknya yang nakal ini bisa mendapat petunjuk dan hidayah-Nya. Saat itu juga nur Ilahi itu tiba-tiba datang menyinari seluruh kalbu Arifin. Sejak itu, Arifin berjanji pada diri sendiri untuk tidak berjudi dan melakukan tindakan yang tercela. Kalau selama ini Arifin hanya salat magrib dan itu pun tidak rutin, sejak itu Arifin bertekad untuk salat lima waktu.”
Saat kedua orang tuanya pulang dari Tanah Suci, mereka sangat terkejut melihat perubahan sikap Arifin. “Kok, Arifin ini berubah sekali sifat dan kebiasaannya?” tanya ayahnya dalam hati. Belakangan, Arifin yang saat itu baru kelas 1 SMPN bahkan minta dimasukkan ke pesantren.
Menjelang saat penerimaan rapor semester akhir kelas 1 SMP, Arifin diajak oleh kedua orang tuanya berkunjung ke Pesantren Al-Fallah di kilometer 24, Banjarmasin. Tapi, Arifin menolak untuk dimasukkan ke pesantren itu. “Saya ingin masuk pesantren, tapi tidak mau pakai sarung. Saya ingin masuk pesantren yang bercelana panjang dan berdasi,” kenangnya sembari tertawa.
Sepengetahuan ayahnya, pesantren yang diharapkan Arifin itu tidak ada di Banjarmasin atau bahkan di Kalimantan. Pesantren Darussalam di Banjarmasin yang dipimpin oleh kakek Arifin pun, keadaannya sama. Pesantren yang dimaksud oleh Arifin itu adalah pesantren modern yang hanya ada di Pulau Jawa. Arifin ternyata tidak keberatan untuk nyantri di Pulau Jawa. Begitu menerima rapor kenaikan, ke kelas 2 SMP, Arifin bersama adiknya, Siti Hajar, diantar oleh sang ibu ke Jakarta tahun 1983. Kedua kakak-beradik itu kemudian dimasukkan ke Pesantren Darunnajah di Ulujami, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Meski masuk pesantren atas kemauannya sendiri, pada awalnya Arifin merasa sangat tidak betah tinggal di pesantren yang jaraknya sangat jauh dari kedua orang tuanya itu. Padahal, di pesantren itu ia juga ditemani oleh adiknya. “Kalau di rumah kami ingin makan lauk yang enak, tinggal ngomong sama Mamah. Di pesantren, makanan serba terbatas dan rasanya masih kurang pas di lidah kami,” kata Arifin. “Setiap minggu kami hanya sekali bisa makan daging serta ikan, selebihnya setiap hari kami hanya makan tahu tempe.”
SENINYA JADI SANTRI
Rekan dekat Arifin di Pesantren Darunnajah, Drs. H. Royhan Sabuki, memaklumi keluhan Arifin. Tapi, ia menyadari kenapa fasilitas pesantren demikian memprihatinkan. Saat ia masuk tahun 1983, uang masuknya masih sangat murah. Saat itu jumlah santrinya baru sekitar 300 orang, dan setiap anak ditarik uang masuk Rp50.000, serta uang makan setiap bulan Rp22.000. “Padahal, untuk sekali makan di warteg (warung Tegal) saja, waktu itu sudah seribu rupiah. Jadi, wajar kalau dengan biaya sebesar itu menu pokok kami setiap hari tidak lepas dari tahu tempe,” kenangnya.
“Di sinilah seninya tinggal di pondok pesantren. Mereka harus ulet dan disiplin,” kata Ustad Drs. K.H. Machrus Amin, pendiri dan pimpinan Pondok Pesantren Darunnajah, Jakarta. “Di pesantren tentu saja berbeda dengan di rumah, baik untuk mandi atau makan. Agar bisa mandi pagi-pagi, mereka harus disiplin bangun pagi-pagi pukul empat. Begitu juga dengan makan. Makan di pesantren itu rumusnya berkah. Sekarang, dengan uang makan Rp135.000 sebulan bagi setiap santri, yang berarti sekali makan hanya Rp1.500, tentu saja tidak akan bisa memuaskan semua pihak. Tapi, masih bisa makan dengan lauk ayam, ikan, maupun daging, tentu sudah lumayan. Dengan anggaran itu, semua guru dan karyawan sudah bisa ikut makan. Di sinilah letak keberkahan pesantren itu!”
Salah satu sifat yang sangat berkesan pada diri Arifin dari kacamata Royhan adalah kedermawanannya. Saat di tingkat aliyah (SMU), pertemanan mereka makin dekat. Setiap kali keluar pesantren, Arifin sering kali mengajak Royhan. “Ustad Arifin orangnya sangat sosial. Setiap kali keluar pesantren, dia pasti mengajak saya makan dan makannya selalu di restoran yang enak-enak,” tutur Sarjana Fakultas Syariah Darunnajah yang kini mengasuh Pesantren Darunnisak di Legoso, Ciputat, itu.
Tidak hanya pada dirinya Arifin bersikap dermawan. Suatu hari, Arifin membeli baju dari bahan kaus di Pasar Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Sesampainya di pesantren, salah seorang teman menegurnya, “Wah, habis beli baju baru, Fin?”
“Ya, lu mau?” jawab Arifin spontan.
“Nggak... nggak, ah,” jawab teman itu malu-malu.
“Ambil, deh, untuk lu!” kata Arifin enteng sembari melempar baju yang baru saja dibelinya itu.
GILA PIDATO
Di samping masalah makan dan fasilitas tempat tinggal, ada masalah lain yang membuat Arifin tidak betah di pesantren. Selain kurang serius dalam belajar, ia merasa sangat berat mengikuti materi pelajaran agama di pesantren itu. Seharusnya, untuk masuk di tingkat tsanawiyah (tingkat SMP dengan pendidikan agama) harus berijazah ibtidaiyah (tingkat SD dengan tambahan pendidikan agama). Arifin sendiri berasal dari SD umum dan pengetahuan agamanya pun sangat tipis. Ia belum lancar membaca dan menulis Arab. Padahal, itu merupakan materi utama pelajaran di tingkat tsanawiyah.
“Karena sangat jauh tertinggal, maka semangat belajar Arifin pun jadi sangat kurang,” Arifin beralasan. “Selain itu, di pesantren tersebut nilainya jujur sekali. Kalau nilainya 2 atau 3, nilai di rapor pun akan seperti itu. Nilai rapor Arifin pun seperti lautan merah. Dari 40 mata pelajaran di rapor, lebih dari 30 mata pelajaran merah semua. Buruk sekali!”
Saat itu Arifin sangat terpukul dan sedih. Tapi, ia tak ingin menyerah. Bagaimanapun, masuk ke pesantren itu adalah kemauannya sendiri. Ia tidak ingin mengecewakan kedua orang tuanya. Memasuki semester dua, ia berusaha memacu diri. Kalau orang lain bisa, ia pun harus bisa, begitu tekadnya. Usahanya tidak sia-sia, ia berhasil naik ke kelas II. Di kelas ini ia memacu diri lebih keras lagi. Hasilnya, sangat fantastis. Ia berhasil naik kelas dengan nilai yang cukup bagus, sehingga nilainya di atas rata-rata. Belakangan, ia bahkan masuk ranking sepuluh besar di kelasnya.
Tahun berikutnya, Arifin tidak hanya bernilai bagus, namun juga menjadi bintang di bidang olahraga dan kesenian. Selain lari dan badminton, ia berhasil menjadi juara membaca puisi. Hanya, dalam bidang pidato, Arifin masih belum pede (percaya diri). Setiap kali ada acara latihan berpidato, keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Sebenarnya, ia ingin sekali bisa tampil berpidato. Tetapi, ia selalu diselimuti ketegangan dan ketakutan yang luar biasa setiap kali akan melangkahkan kakinya ke podium.
Tapi, bukan Muhammad Arifin kalau ia langsung menyerah. Pikirannya tiba-tiba menerawang jauh ke belakang, ketika ia masih tinggal bersama kedua orang tuanya di Banjarmasin. Setiap sore menjelang magrib, ia dan saudara-saudaranya selalu diajak kedua orang tua mereka ke Masjid Sabilal-Muqtadin, sekitar 200 meter dari rumahnya. Mereka berada di masjid hingga salat isya, sambil mendengarkan pengajian yang disampaikan oleh K.H. Rafi Hamdan, seorang ustad kenamaan di kota Banjarmasin. “Arifin sangat terkesan dengan cara-cara beliau memberikan pengajian. Sayang, kini beliau sudah tiada,” tutur Arifin.
Arifin sangat mengidolakan ustad itu. “Enak juga jadi seorang dai seperti beliau, bisa memberikan pencerahan pada banyak orang,” pikirnya. “Tapi, bagaimana mungkin berceramah panjang lebar seperti itu, kalau mau naik ke mimbar saja Arifin sudah gemetaran?”
Arifin terus merenung dan berpikir bagaimana caranya bisa berpidato dengan baik. Setiap kali acara latihan berpidato itu diselenggarakan di pesantren, ia selalu berusaha datang. Begitu juga ketika di pesantrennya diselenggarakan lomba pidato, ia selalu mengamati satu demi satu rekan-rekannya yang tampil. Ketika akhirnya salah seorang di antara mereka dinyatakan tampil sebagai juara, pengamatannya pun dialihkan kepada rekannya itu. Arifin mengamati kehidupan sehari-hari rekannya itu, sejak mulai bangun tidur, salat, makan, dan sebagainya. “Ternyata anaknya biasa-biasa saja. Kalau dia bisa, kenapa Arifin tidak?” kata Arifin mengungkapkan perasaannya saat itu.
Sejak itulah, Arifin seperti ‘kesetanan’ pidato. Di saat semua teman di kamarnya tertidur lelap, ia justru bangun. Ia lalu berdiri di atas tempat tidurnya, dan beraksi seperti layaknya orang-orang berpidato di atas mimbar, ”Para hadirin yang sedang nyenyak tidur, para bantal, para kasur, dan para sarung yang kumal-kumal yang kami hormati. Pertama-tama marilah kita panjatkan kepada Allah SWT yang….”
MR ENGLISHMAN
Cara ‘gila’ belajar dan berlatih pidato itu ternyata tidak percuma. Ia tidak lagi mandi keringat dingin dan gemetaran setiap kali harus naik mimbar di hadapan teman-teman santrinya untuk berlatih pidato. Ia pun mulai mampu mengatur kata demi kata yang harus ia sampaikan dalam setiap latihan pidatonya. Kepercayaan dirinya terus bertambah, sehingga ia pun mulai berani tampil berceramah di luar pesantren. Setiap kali ia pulang liburan ke rumah orang tuanya di Banjarmasin, ia mulai memberanikan diri berceramah di Dakwatul-Chair, surau yang lokasinya tidak jauh dari rumahnya.
Meski di pesantren sudah sering berpidato, Arifin mengaku sangat tegang saat pertama kali diminta oleh pengurus surau itu untuk berceramah. “Semalaman Arifin tidak bisa tidur dan keringat dingin keluar dari sekujur tubuh,” kenangnya. “Arifin kemudian bangkit dari tempat tidur dan berusaha membaca buku untuk mempersiapkan bahan ceramah. Siapa tahu, sambil membaca, mata jadi lelah dan bisa tidur. Ee… mata Arifin tetap saja melek dan buku yang Arifin baca pun tidak masuk ke otak. Berhadapan dengan massa ternyata lebih menakutkan!”
Tapi, hanya sekali itu saja Arifin nervous, sehingga ceramahnya pun dirasakan tidak keruan dan banyak kalimat yang salah-salah. Sampai di rumah, Arifin pun kemudian berpikir panjang. “Arifin ternyata dibutuhkan umat. Arifin ditunggu oleh umat. Jadi, Arifin harus lebih serius dan bersungguh-sungguh lagi!”
Hari-hari selanjutnya ketegangan itu makin berkurang dan ia pun tampil dengan penuh percaya diri. Rupanya, banyak jemaah yang menyukai gaya ceramahnya, sehingga belakangan ia diminta tampil di tempat-tempat lain. Akhirnya, setiap kali pulang ke Banjarmasin, Arifin jadi sangat sibuk. Di usianya yang masih sangat remaja, ia sudah menjadi penceramah agama dari masjid ke masjid. “Belakangan, Arifin bahkan diminta untuk berkhotbah Jumat di Masjid Al-Jihad, masjid orang-orang Muhammadiyah yang cukup dikenal di Banjarmasin,” kata sang ayah.
Menanggapi tentang kepiawaian Arifin berpidato, Royhan bercerita, “Sejak dulu, cara bicaranya sangat terlatih, sehingga setiap kali dia tampil selalu mendapat sambutan hangat dari teman-teman. Akhirnya ia pun berhasil menjadi juara di berbagai lomba pidato. Selain di Pesantren Darunnajah, ia berhasil menjadi juara pidato tingkat nasional dan tingkat Asean.”
Kesimpulan Arifin, “Sebesar kesadaranmu, sebesar itu pula keuntunganmu. Sebesar keinsafanmu, sebanyak itu pula keuntunganmu!” Royhan pun sangat kagum pada semangat dan kesungguhan Arifin. Memasuki tahun kedua, setiap santri di Darunnajah diharuskan berkomunikasi dengan bahasa Arab atau Inggris. Kalau ada santri yang berbicara sehari-hari tidak menggunakan kedua bahasa asing itu, maka mereka akan dihukum. Hukumannya bisa bermacam-macam, tergantung berapa kali santri itu ketahuan tidak berbahasa asing. Hukuman bisa berupa menghafal atau menulis kata atau kalimat bahasa Arab/Inggris, bisa disuruh membersihkan kamar mandi, dan sebagainya.
Setiap anak diwajibkan menjadi mata-mata bagi anak lain, sehingga siapa pun yang berbicara dengan tidak menggunakan bahasa Arab atau Inggris, pasti akan mendapatkan hukuman. Akhirnya, hampir semua santri pernah menjalani hukuman itu. Kalau teman-teman lain lebih suka berbicara dengan bahasa Arab, Arifin lebih suka berbahasa Inggris. Arifin sering kali mengatakan, “I don’t care. I don’t care with the other person!” ujar Arifin seperti ditirukan oleh Royhan. “Teman-teman menyebut Ustad Arifin sebagai Mr Englishman!” Royhan bercerita sembari tertawa. Di kalangan teman-temannya, Arifin dikenal lebih piawai berbahasa Inggris daripada berbahasa Arab.
JAGOAN BERKELAHI
Perjalanan menuju sukses ternyata memang tidak mudah. Di mana pun, ada saja orang yang iri dan dengki melihat orang lain sukses. Demikian juga yang dirasakan Arifin. Selain merasa sulit bergaul, ia sering kali merasa diperlakukan tidak adil oleh pengasuh pesantren maupun para guru. Maklum, yang masuk di pesantren itu memang santri-santri dari berbagai suku di tanah air, sehingga budaya dan tingkah laku mereka pun bermacam-macam. “Sejak kecil Arifin paling tidak bisa melihat ketidakadilan. Karena itu, Arifin pun terpaksa berkelahi karena melihat ketidakadilan itu,” kata Arifin.
Suatu hari, Arifin melihat ada seorang santri yunior bernama Muhammad Ali disakiti oleh santri senior. Arifin pun marah dan tidak mau menerima keadaan itu sambil menantang sang senior itu berkelahi. “Eh, lu jangan cuma berani lawan anak kecil. Lawan gua kalau i memang jagoan!”
Dalam kesempatan lain, Arifin naik pitam lagi ketika ia berhasil memergoki santri yang mencuri lauk-pauk kiriman ibunya dari Banjarmasin. Hampir setiap bulan ia memang mendapat kiriman kecap, abon, dan ikan khas Banjarmasin. Sebagian ia bagikan kepada teman-temannya, dan sebagian lagi ia simpan agar bisa untuk makan sebulan. Tapi, belum lagi genap tiga hari, semua lauk itu sudah raib. Bulan berikutnya, Arifin sengaja memasang jebakan, sampai akhirnya berhasil menangkap ‘pencuri’nya. Arifin pun langsung menghajar anak itu. Sambil melempar abon dan kecap ke wajah temannya itu, Arifin membentaknya, “Makan, tuh, abon sama kecap ini!”
Selain dikenal sebagai juara lomba pidato, di Pesantren Darunnajah Arifin akhirnya juga dikenal sebagai santri yang suka berkelahi. Padahal, setiap kali usai berkelahi, Arifin selalu mendapat hukuman, yaitu digunduli kepalanya. Suatu hari, ketika Arifin dan santri-santri lain tengah antre makan, mendadak salah seorang santri langsung nyerobot antrean. Melihat ketidakadilan seperti itu, Arifin tentu saja sangat marah. Saat itu hanya Arifin yang berani menegur santri nakal itu, karena dia punya banyak teman. “Meskipun di pesantren, rupanya mereka main geng-gengan juga,” kenang Arifin. “Tapi, Arifin tidak takut, walaupun akhirnya Arifin dikeroyok oleh mereka. Perkelahian tentu saja sangat tidak seimbang, sehingga bibir Arifin pun robek dan berdarah-darah!”
Sebagai hukuman, Arifin pun harus digunduli. Tapi, ia berontak karena merasa diperlakukan tidak adil. Santri yang mengeroyok dan memukulinya ternyata malah tidak dihukum sama sekali. “Apanya lagi yang mau dibotaki, Kiai, sementara kepala saya sudah botak?” gumam Arifin.
MULAI DIUNDANG CERAMAH
Merasa diperlakukan tidak adil, Arifin mulai merasa tidak nyaman sekolah di pesantren itu. Ia pun memutuskan keluar sekolah, meski baru duduk di kelas dua aliyah (tingkat SMU). Setelah mengundurkan diri dari pesantren itu, Arifin pun masuk ke Pesantren Assyafi’iyah di daerah Bali Matraman, Tebet, Jakarta Selatan. “Saya merasakan banyak ketidakadilan yang terjadi di Darunnajah, sehingga tidak nyaman lagi untuk meneruskan sekolah di sini,” tuturnya pendek.
Seperti di Darunnajah, tahun 1987 itu Arifin langsung masuk ke kelas 2 aliyah Assyafi’iyah. Di tempat ini ia tidak mondok di pesantren sehingga bisa lebih bebas mengekspresikan kemampuannya berpidato. Awalnya, ia hanya diminta menggantikan Ustad Ahmad yang berhalangan hadir karena beliau harus berangkat ke luar negeri. Ia dijemput dengan mengendarai motor Vespa dan pulangnya dibelikan nasi goreng.
Undangan ceramah kedua datang untuk peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Tapi, porsinya juga hanya sebagai pengisi waktu karena Ustad Manarul Hidayat —ustad kenamaan saat itu— yang seharusnya mengisi acara tersebut, datang agak terlambat. Namun, dua kali pemunculan tanpa sengaja justru membawa hikmah. Ia mulai dikenal banyak orang. Dan sejak itulah undangan berceramah di lingkungan pesantren itu mulai berdatangan.
Lebih setahun kemudian ia berhasil lulus aliyah dan berhasil mendapat ranking ketiga. Menurut rencana, ia akan melanjutkan kuliah ke sebuah universitas di Mekah, tapi beberapa guru menasihatinya agar kuliah di perguruan tinggi umum di Indonesia saja. Arifin akhirnya mendaftarkan diri di Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Politik Universitas Nasional di Jakarta. Sambil kuliah, Arifin terus berceramah di masjid, surau, atau majelis taklim. Kian lama langkahnya kian jauh. Dari seputar Bali Matraman, merambah ke seluruh wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi.
Tahun 1994 Arifin lulus dari Universitas Nasional sebagai sarjana ilmu hubungan internasional. Sambil menjadi dosen di Universitas Borobudur, Arifin makin memantapkan diri sebagai dai. Arifin mengemukakan, “Arifin ingin membuktikan kepada semua orang bahwa kalau kita bersunggung-sungguh, maka kita akan berprestasi. Di mana pun, kita akan bisa berprestasi!”
Merebut Hati Umat Lewat Zikir
Arifin beberapa kali lolos dari maut. Hidupnya kian bersinar ketika berjumpa wanita pujaan dan ajakan zikir berjemaahnya mendapat sambutan gempita dari umat.
Selain menjadi dosen di Universitas Borobudur dan berdakwah, Arifin mempunyai kesibukan lain. Di tempat tinggalnya di Perumahan Mampang Indah II Depok, ustad muda yang masih lajang ini mempunyai hobi yang unik: memelihara beberapa jenis satwa, termasuk di antaranya burung hantu, iguana, monyet, dan ular.
Suatu hari, menjelang magrib tahun 1997, ia berhasil menangkap seekor ular kobra sepanjang satu meter lebih di semak-semak. Menurutnya, ular berkepala segi tiga dan di atasnya ada warna merahnya itu warnanya sangat indah. Ternyata, ular itu tidak hanya memukau, tetapi juga nyaris merenggut nyawa Arifin.
Bagaimana Arifin bisa lolos dari maut? Dan bagaimana kisah cintanya serta awalnya ia mengajak ribuan umat untuk berzikir?
NYARIS MENINGGGAL
Ular tangkapan Arifin itu diberi makan oleh Sulaeman, salah seorang jemaahnya. Pagi itu Arifin kedatangan tamu, Cut Tursina, ibu angkatnya, seorang dokter gigi, yang minta tolong diantar ke Parung untuk mencari pohon hias. Usai salat duha (salat sunah pagi hari), Arifin langsung naik ke mobil. Entah kenapa, mendadak ia turun lagi untuk melihat ularnya. Saat naik ke mobil lagi ia memberi tahu Cut bahwa tangan kanannya digigit ular. Cut mengajaknya ke dokter, tapi Arifin menolak karena merasa tidak ada gejala sakit apa-apa di tubuhnya. Ia bahkan yang mengemudikan mobilnya. Mereka bertiga pun berangkat sekitar pukul 10 pagi dan rencananya mereka akan mampir ke warung untuk makan, sebelum mencari pohon hias. Tapi, sekitar 200 meter menjelang warung makan langganan mereka di Parung, Arifin tiba-tiba mengeluh pandangan matanya mulai kabur dan mulai sulit bernapas. Ia meminta kepada Cut untuk menggantikannya mengemudi.
Cut yakin bisa ular itu sudah bereaksi sehingga ia harus bertindak cepat untuk melarikannya ke rumah sakit. Setelah keliling ke berbagai rumah sakit di Bogor dan Parung, Arifin segera dibawa ke RS Bakti Yudha di Depok. Kondisi tubuh Arifin benar-benar makin buruk saat tiba di rumah sakit itu sekitar pukul 12 siang. Cut dan Sulaeman bahkan sudah sempat menalkin (menuntun zikir bagi mereka yang akan meninggal) Arifin. Beberapa menit sebelum akhirnya tak sadarkan diri, Arifin pun berdoa, “Ya, Allah... kalau hamba tidak lagi bermanfaat hidup di dunia, segeralah hamba Kau panggil ke haribaan-Mu. Tapi, kalau hidup hamba akan bermanfaat dunia-akhirat, maka berilah kesempatan pada hamba untuk hidup.”
Setelah memeriksa dan menyuntik Arifin dengan SABU (serum anti bisa ular), dokter menganjurkan agar Arifin segera dibawa ke sebuah rumah sakit negeri yang sangat besar di Jakarta Pusat. Tapi malang, sampai sore hari berada di ruang gawat darurat, tubuh Arifin yang mulai menghitam itu tak segera disentuh oleh petugas medis.
Cut pun langsung memindahkannya ke RS Sint Carolus. Di rumah sakit inilah Arifin mendapat pertolongan yang intensif. Selain memiliki peralatan yang lengkap, pelayanannya cukup bagus. Saat itu juga Arifin dimasukkan ke ruang ICU, dan tubuhnya langsung dipasang alat bantu pernapasan, infus, alat pacu jantung, dan sebagainya.
Arifin ditangani oleh dr. Memet Nataprawira, dokter ahli bedah pencernaan yang juga ahli dalam menangani pasien yang digigit ular berbisa. Menurut dokter spesialis lulusan UI tahun 1977 itu, saat Arifin datang kondisinya sudah sangat buruk. Seperti umumnya pasien korban gigitan ular kobra atau ular laut, pernapasan Arifin pun jadi terhenti karena yang diracuni adalah sarafnya. “Kalau tak segera ditolong dengan pernapasan buatan, pernapasan korban bisa langsung terhenti. Artinya, pasien akan mati,” katanya.
Melihat keadaan pasiennya itu, ia sangat pesimistis Arifin akan bisa tertolong. “Selain kondisi pasien sangat buruk, persediaan SABU di rumah sakit maupun di seluruh apotek di Jakarta tidak ada. Dari kacamata medis, saya pesimistis pasien akan bisa tertolong! Hanya karena Tuhan-lah pasien ini akhirnya bisa tertolong,” jelas dokter Memet.
Ilham Marzuki, ayah Arifin, yang datang di hari kedua bersama istrinya setelah ditelepon Cut, hanya bisa pasrah ketika dipesan dr. Memet untuk bersabar dan banyak berdoa. “Keadaan putra Bapak sudah sangat parah, 99% sudah tidak ada harapan,” kata dr. Memet dengan sangat hati-hati. “Bapak sebaiknya banyak berdoa dan kita serahkan jalan yang terbaik pada Allah. Hanya mukjizat Allah-lah yang mampu menolong putra Bapak!”
Nurhayati, ibunda Arifin, terus-menerus menangis sejak diberi tahu bahwa anaknya masuk rumah sakit karena digigit ular. Ia bahkan nyaris pingsan ketika melihat anak kesayangannya itu tak sadarkan diri. Belahan jiwa yang kini menjadi kebanggaan keluarga itu, kini tengah menunggu malaikat maut. Tak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali, kecuali denyut jantung yang dibantu dengan alat pacu jantung, dan tarikan napas yang dibantu dengan alat bantu pernapasan.
Esoknya, saat memeriksa Arifin, dr. Memet melihat kaki pasiennya itu bergerak-gerak. “Alhamdulillah... putra Bapak masih ada harapan untuk hidup. Kakinya sudah mulai bergerak-gerak,” katanya kepada Ilham.
Ditambahkannya, kalau seorang pasien yang masih koma itu tiba-tiba menggerakkan kakinya, maka harapan hidup pasien itu cukup tinggi. “Fisik pasien ini memang sangat prima. Dari hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa otak, jantung, ginjal, maupun paru-parunya bagus tidak terkena racun bisa, sehingga akhirnya lolos dari maut,” tutur dr. Memet.
ZIKIRNYA MUDAH DIPAHAMI
Arifin bersyukur kesehatannya secara bertahap pulih kembali, setelah 21 hari mengalami koma. Setelah sebulan menunggui Arifin di rumah sakit, ayahnya pun kembali ke Kalimantan, sementara ibunya menemaninya di rumahnya di Depok. Perlahan-lahan lumpuh pada kaki dan tangannya mulai sirna, dan belakangan tinggal matanya yang silau setiap kali melihat cahaya. Tapi, tak lama kemudian keadaan matanya berangsur membaik. Ia juga sudah mulai aktif kembali ke Masjid Al-Amru Bit-Taqwa, masjid yang didirikan olehnya bersama tetangganya di Perumahan Mampang Indah II, Depok. Selain berceramah, ia mulai lagi memperbanyak zikir berjemaah (zikir bersama-sama).
Budi Noor dan Abdul Syukur, orang dekat Arifin, mengemukakan bahwa zikir berjemaah itu sudah dilakukan jauh sebelum Arifin mengalami koma akibat digigit ular. “Saya rasa keliru kalau menganggap Ustad Arifin berzikir setelah digigit ular kobra dan lolos dari maut. Jauh sebelum itu Ustad Arifin sudah sering kali memimpin jemaah zikir!” tandas keduanya.
Arifin juga mengelak anggapan beberapa media bahwa ia berzikir sebagai ungkapan rasa syukur karena telah lolos dari maut. “Arifin berzikir karena ingin mencintai Allah secara lebih total! Arifin prihatin melihat kenyataan umat Islam yang saat ini sedang terpuruk, dizalimi, difitnah, dan ditindas. Anehnya, umat Islam yang di Indonesia katanya mayoritas ini, ternyata tak berdaya sama sekali untuk melawannya. Ia sedih, para koruptor besar bebas dari hukuman, sementara orang yang belum tentu bersalah sudah menerima hukuman berat,” lanjutnya lagi.
Arifin kemudian menceritakan bahwa saat ia memperkenalkan zikir berjemaah itu di masjidnya sekitar tahun 1997, jumlah jemaahnya hanya dua-tiga orang saja. Tapi, ia terus berusaha meyakinkan para jemaahnya bahwa zikir berjemaah itu sangat besar faedahnya. Dalam sebuah hadis dikatakan, “Sesungguhnya kelompok yang berzikir kepada Allah memperoleh empat perkara. Yaitu, turunnya ketenteraman pada mereka, rahmat akan menaungi mereka, para malaikat akan mengelilingi mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka di hadapan para makhluk yang ada di dekat-Nya.”
Arifin menyadari, untuk mengajak ke jalan kebaikan itu tidaklah mudah. Setelah bertahun-tahun berzikir di masjid dengan dua-tiga jemaah, belakangan mulai bertambah menjadi satu saf (sebaris salat, sekitar 15 orang), dua saf, dan akhirnya masjid pun dipenuhi jemaah zikir. Setelah Arifin berulang kali tampil berzikir di layar teve, belakangan jumlah jemaah yang datang pun makin tak tertampung lagi di masjidnya. Apa boleh buat, ia pun terpaksa memasang tenda dan tikar di depan dan belakang rumahnya menuju ke masjid. Majelis zikir yang diselenggarakan setiap awal bulan itu didatangi puluhan ribu jemaah.
Kenapa zikir Arifin saat ini terasa begitu memikat? Syaefullah, mahasiswa program pascasarjana UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah, menilai, kelebihan zikir yang dibawakan Ustad Arifin itu adalah sangat sederhana dan mudah dipahami semua orang. Menurutnya, ada lima sebab utama kenapa zikir Arifin segera menasional. “Pertama, zikir beliau ini lepas, tidak terikat dengan pakem dan tarekat tertentu, sehingga setiap orang bisa mengikuti tanpa harus dibaeat (diambil sumpah). Kedua, cara berzikirnya mudah diikuti oleh orang awam sekalipun, karena setiap kali selalu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Ketiga, zikirnya itu bukan sekadar zikir, tapi ada muhasabahnya, yaitu usaha mengoreksi diri sendiri, sehingga setiap orang bisa langsung tersentuh. Keempat, zikirnya ini bukan sekadar zikir lisan, tapi sampai ke hati, sehingga semua orang bisa menangis karenanya. Kelima, zikirnya itu bisa diikuti oleh semua orang dari semua golongan,” paparnya.
MISTERI GUMPALAN SINAR
Arifin mengaku sudah beberapa kali mengalami kejadian yang nyaris merenggut nyawanya. Selain pernah nyaris mati tenggelam di sungai sewaktu kanak-kanak, kemudian digigit ular berbisa, Arifin juga nyaris mati saat melintasi rel kereta api di Citayam, Bogor, tahun 1996. Karena di perlintasan itu tidak ada pintunya, maka ia pun langsung saja melintasi rel itu. “Begitu masuk ternyata ada kereta lewat, sehingga pantat mobilnya tinggal beberapa sentimeter saja dengan badan kereta itu. Semua orang di jalan itu berteriak bahagia karena Arifin lolos dari maut,” kenangnya. “Setahun berikutnya, Arifin juga nyaris mati ketika hampir tubrukan dengan truk. Jaraknya juga tinggal beberapa sentimeter saja,” lanjutnya.
Budi Noor, yang juga tetangga Arifin, menyaksikan keajaiban lain. Suatu hari, usai salat magrib, ia melihat seberkas sinar di atas rumah ustad muda itu. Semula ia tidak percaya dengan pandangan matanya, kalau-kalau hanya sebuah halusinasi atau mimpi. Tapi, setelah beberapa kali ia mengusap matanya, ia yakin akan apa yang dilihatnya. Selama beberapa saat sinar itu tetap berada di situ sampai akhirnya berputar membentuk kerucut dan menghilang ke arah langit. Anehnya, hanya dia sendiri yang menyaksikan peristiwa itu. Karena, saat ia tanyakan kepada para tetangganya yang lain, mereka mengaku tidak menyaksikan sinar apa pun di atas rumah Arifin.
Syaefullah yang kini menjadi asisten Ustad Arifin juga merasakan sesuatu keanehan lain. “Bau keringatnya lain, tidak seperti manusia biasa,” ujarnya. “Saya merasakannya sendiri, baunya wangi. Saya yakin itu bukan bau minyak wangi, karena saya juga tahu bau minyak wangi.”
“Ia tidak hanya wangi, tapi juga smart dan tampan!” sambung Dr. H.M. Bhakty Kasry, Presiden Direktur PT Pandu Logistik, perusahaan jasa pengiriman. “Ia memiliki mata hati yang dalam dan mempunyai karisma yang tinggi. Nilai plus yang paling utama, ia mendapatkan hidayah dari Allah! Kalau tidak mendapatkan hidayah-Nya, mana mungkin jemaah pengajian dan zikirnya makin hari makin bertambah. Puluhan ribu jemaah mendatangi pengajian yang diselenggarakan setiap awal bulan di masjidnya. Sebagai ustad muda, ia mampu menjalankan syariat agama dengan baik dan dengan konsentrasi tinggi. Dalam berbicara ia santun dan terbimbing. Ia mempunyai wawasan luas dan ilmu pengetahuan agamanya pun cukup, karena ia dibesarkan di pesantren. Ia memiliki visi yang jauh dan bisa bergaul dengan yang tua maupun yang muda. Sebelum menganjurkan kepada jemaah, jauh-jauh hari ia sudah melakukannya sendiri,” tambahnya.
Mengenal Arifin sekitar tiga tahun yang lalu, Bhakty merasa hubungannya jadi sangat dekat. Di antara mereka tidak hanya saling mengenal, tapi sudah seperti keluarga. “Kami sering silaturahmi, jalan bareng, dan berbagi rasa, seperti layaknya kakak dengan adik,” tambah pria pujakusuma (putra Jawa kelahiran Sumatra) ini. Ia mengakui, warna kehidupannya saat ini banyak dipengaruhi oleh Arifin. Saat ini, selain secara intensif menjalankan tujuh sunah Rasul sesuai yang diajarkan Arifin, alumnus Institut Ilmu Keuangan ini juga mempercayakan Arifin untuk duduk sebagai komisaris di perusahaannya. Di pihak lain, Arifin mengakui peran Bhakty sangat besar dalam membantu aktivitas Majelis Zikir yang dipimpinnya. “Kami dan teman-teman di sini, Pak Bhakty yang menggaji. Bahkan, rumah dan kendaraan yang Arifin pakai adalah pemberiannya,” tuturnya jujur.
Abdul Syukur mengemukakan bahwa apa yang dijanjikan Allah itu memang terbukti dengan melihat keseharian ustad muda yang dikaguminya itu. “Seperti janji Allah, makin banyak kita memberikan infak dan sedekah, hidup kita makin berkah. Itu memang saya saksikan langsung pada kehidupan Ustad Arifin!” tandasnya. “Tangan kanannya, masya Allah... penuh hikmah, enteng sekali untuk beramal. Bagi Ustad Arifin, tiada hari tanpa bersedekah karena dia sangat tanggap terhadap penderitaan orang lain. Kalau ada tetangga, teman, atau siapa saja yang ditimpa musibah, anaknya masuk sekolah tidak punya uang, atau kesulitan lain, tanpa diminta beliau pasti langsung membantu!”
BERTEMU JODOH
Kalau memang jodoh, tidak akan ke mana-mana! Begitu petuah orang tua. Kisah itulah yang terjadi pada pasangan Arifin dengan Wahyuniati Al-Waly, putri ketiga dari enam bersaudara dari mantan anggota DPR, Drs. Teuku Djamaris. Arifin pertama kali bertemu Yuni saat usai berceramah di kediaman keluarga H. Yusuf di Depok, bulan September 1997. Saat itu Arifin tengah duduk menunggu antrean makan, begitu juga Yuni. Jarak di antara mereka sekitar tiga-empat meter. Tiba-tiba di antara keduanya saling beradu pandang dan keduanya pun saling tersenyum. Hanya beberapa detik saja adu pandang itu berlangsung dan setelah itu mereka pun pulang. Setelah itu, mereka pun tidak pernah saling bertemu, apalagi saling berbicara.
Malam itu Yuni tidak pulang ke rumah orang tuanya di Kompleks DPR di Kalibata, karena ia memang berniat menginap di rumah sahabatnya, Fitrah, di Depok. Semula ia tidak berniat mengikuti pengajian itu, karena niatnya memang hanya ingin kangen-kangenan ke rumah sahabatnya yang sama-sama dari Padang itu. Karena itu, ia pun pergi ke pengajian dengan pakaian seadanya, yaitu celana jins, baju berwarna biru, dan kerudung putih. Tapi, ia tidak merasa rugi mendatangi pengajian itu. “Ustadnya masih muda, cakep, dan materi ceramahnya pun lumayan menarik,” kenangnya.
Meski yakin matanya tidak salah saat melihat kecantikan gadis itu, Arifin tidak mau mengumbar perasaannya. Ia tak berusaha mencari tahu siapa dan dari mana gadis itu. Ia biarkan kehidupannya mengalir sesuai kehendak-Nya. Sebagai makhluk yang berusaha menyerahkan seluruh kehidupannya hanya untuk Allah, dalam urusan jodoh pun ia pasrahkan seutuhnya kepada Sang Mahakuasa. Setiap malam dia bangun kemudian salat tahajud dan berserah diri kepada-Nya.
Sejak masih kuliah di Universitas Nasional, kemudian lulus kuliah, dan selanjutnya menjadi dosen di Universitas Borobudur, sudah beberapa kali ia berteman dengan wanita. Tapi, sejauh itu selalu saja gagal sampai ke pelaminan.
Hari-hari pun berjalan, ternyata Tuhan belum pula menunjukkan tanda-tanda akan hadirnya seorang pujaan hati. Suatu hari, ada salah seorang temannya, Hasan Sandi, yang menawarinya berkenalan dengan seorang gadis. Katanya, “Ustad Arifin... mau tidak kalau saya kenalkan dengan seorang gadis. Dia seorang putri ulama.”
“Mau, anaknya tinggal di mana?” Arifin balik bertanya.
“Di Kalibata. Tapi, lebih baik kita ketemu di tempat lain saja, deh.”
Suatu hari di bulan Februari 1998 Hasan menghubungi Arifin lagi. Ia mengundang Arifin untuk memberikan ceramah dalam acara syukuran menempati rumah baru. “Nanti saya kenalkan sekalian dengan gadis itu,” kata Hasan. Saat memasuki rumah itu, Arifin kaget ketika melihat salah satu foto yang terpampang di kamar tamu, yang rupanya pernah dia kenal. “Ini, lho, foto gadis itu,” kata Hasan sambil menunjuk foto itu.
Bertepatan dengan tangan Hasan menunjuk foto gadis itu, seperti disihir, gadis itu keluar bersama kedua orang tuanya. Hanya beberapa detik, karena setelah itu gadis yang mengenakan celana biru, baju biru, dan kerudung putih itu langsung masuk ke dalam lagi. Saat itu Arifin baru ingat bahwa ia pernah bertemu dengan gadis itu sekitar enam bulan yang lalu, saat ia berceramah di Depok.
Kali ini Arifin benar-benar jatuh cinta. Sejak kedua kalinya bertemu gadis itu, ada perasaan yang aneh di hatinya. Bayang-bayang gadis kerudung putih itu terus mengusik kesendiriannya. Tapi, berbeda dengan kebanyakan muda-mudi lain, ia menyampaikan perasaan hatinya kepada Sang Maha Pencipta. Setiap kali bangun malam, ia langsung bersujud dan bersimpuh di hadapan-Nya. Sambil berdoa ia menangis dan memohon petunjuk agar diberikan pendamping hidup yang terbaik untuknya.
Selama ini, ia memang selalu memanfaatkan sepertiga malam yang terakhir untuk-Nya. Hanya, kini kualitas dan kuantitas penghambaannya kepada Allah itu kian ditingkatkan. Setiap malam ia salat malam delapan rakaat ditambah witir tiga rakaat. Memasuki hari kesebelas, ia tiba-tiba mengalami kelelahan yang luar biasa hingga ia pun tertidur. Di tengah kelelapan tidurnya, ia bermimpi seolah menjalankan ibadah umroh bersama gadis itu tepat tanggal 1 Muharam.
Arifin percaya, mimpinya kali ini bukan sekadar kembang tidur. “Ini adalah petunjuk Allah yang Arifin terjemahkan untuk menikah tanggal 1 Muharam,” tegasnya. Pagi-pagi, usai salat subuh, ia langsung menelepon gadis itu. “Aku Muhammad Arifin Ilham,” katanya memulai pembicaraan. “Aku ingin mengatakan sesuatu kepada kamu. Pertama, aku ingin menikah dengan kamu tanggal 1 Muharam. Kedua, niatku ini karena Allah. Ketiga, karena sunah Rasul. Keempat, aku ingin terbang ke langit. Cuma sayang, sayapku cuma satu. Bagaimana kalau salah satu sayap itu adalah kamu? Kelima, aku butuhkan jawabanmu besok pukul 5 pagi.”
Gadis itu terduduk lunglai. Berbagai perasaan menyelimuti kalbunya. Di satu sisi ia merasa tersanjung dan bahagia, tapi di sisi lain ia juga merasa sedih dan khawatir. Bagaimanapun, ia belum mengenal lelaki itu, walaupun ia seorang ustad. Sebagai gadis, selama ini ia belum pernah pacaran atau pergi berduaan dengan lelaki. Selain tidak suka pergi-pergi iseng, pendidikan ayahnya pun sangat ketat. Sudah beberapa kali ia dilamar, tapi selalu ditolak oleh kedua orang tuanya. Karena itu, awalnya ia gamang saat ingin menyampaikan lamaran Arifin itu.
Apa boleh buat, lamaran ‘mengagetkan’ dari ustad muda itu harus segera dia sampaikan kepada kedua orang tuanya, karena esok subuh sudah ditunggu jawabannya. Untunglah kedua orang tuanya menyetujuinya. Saat esok harinya, pukul 5 pagi, Arifin telepon dan yang menerima Yuni sendiri, ia yakin lamarannya bakal diterima. Satu bulan kemudian, tepat tanggal 1 Muharam (28 April 1998), Arifin dan Yuni menikah di Masjid Baiturrahman di Kompleks DPR Kalibata. Dua sejoli ini ternyata banyak kesamaannya. Antara lain, Arifin maupun Yuni adalah alumni Pesantren Darunnajah dan Universitas Nasional. Hanya tenggang waktu mereka yang berbeda. Kedua kakek mereka sama-sama memiliki pesantren, yang namanya juga sama, Darussalam.
Kini, pasangan ini dikaruniai dua putra, Muhammad Alvin Faiz (4 Februari 1999) dan Muhammad Amer Adzikro (21 Desember 2000). Saat ini pasangan muda yang berbahagia ini tengah menantikan bayinya yang ketiga, yang diharapkan lahir pada bulan Oktober ini. “Saya sangat bahagia, doa saya dikabulkan oleh Allah,” tutur Yuni yang sehari-hari dipanggil ‘Sayang’ oleh suaminya.
Diceritakannya, sejak sekolah SMP sampai kemudian mengakhiri masa gadisnya, setiap kali usai salat wajib ia selalu berdoa. Tanpa ada yang menyuruh dan tak ada yang mengajarinya, Yuni selalu memohon kepada Tuhan agar mendapatkan jodoh pria dengan 10 kriteria. Antara lain, pria yang saleh, beriman, ganteng, berkecukupan, terkenal, berakhlak mulia, disayang semua umat, bertanggung jawab, dan pintar. Katanya, “Alhamdulillah... semua yang saya mohon itu ternyata ada pada diri Kak Arifin!” (Femina Online)
Begitu lahir, ia sudah bergigi. Ketika kecil, badungnya bukan alang kepalang. Ia nyaris membakar rumah, hanya karena permintaannya tidak dituruti. Doa kedua orang tuanya di Tanah Suci mengubah perangai Arifin.
Suatu siang di tepi sungai kecil tak bernama di Jalan Sutoyo, Banjarmasin, seorang anak laki-laki berusia dua tahun sedang asyik bermain-main air menemani sang ibu yang sedang sibuk mencuci. Tiba-tiba bocah itu tergelincir dan sekejap kemudian air yang deras sudah menariknya ke tengah sungai.
Menyaksikan anaknya hanyut, tanpa berpikir panjang ibu yang tengah hamil delapan bulan itu langsung terjun ke sungai. Air sungai yang deras dan dalam tidak membuatnya ciut. Ia berenang semampunya agar bisa menggapai kaki anak lelaki satu-satunya itu. Bocah itu sudah tenggelam cukup jauh dan terus meluncur cepat sejalan dengan derasnya air sungai. Sekujur tubuhnya tak terlihat dan hanya sesekali kaki anak itu tampak menjulur ke atas. Sambil terus berenang, wanita muda itu berusaha sekuat tenaga menggapai kaki anak itu. Ia seakan sudah tidak menghiraukan lagi bahwa di perutnya tengah ada jabang bayi yang usianya sudah cukup tua.
imageSyukurlah, usahanya membuahkan hasil. Setelah berenang sekitar empat meter lebih, ia akhirnya berhasil menangkap kaki putranya. Bocah itu sudah pucat pasi dan tak sadarkan diri. Beruntung, ibu itu masih merasakan ada gerak kehidupan di jantungnya. Dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, ibu itu menggendong putranya ke pinggir kali. Setelah itu, sang ibu tak sadarkan diri dan tidak tahu lagi apa yang terjadi selanjutnya.
Perjuangan ibu itu tidak sia-sia. Bocah yang nyaris mati tenggelam itu, kini telah menjadi seorang dai (penceramah agama) yang sangat kondang. Sejak namanya mulai dikenal, hampir setiap hari K.H. Arifin Ilham muncul di layar TV atau media lain. Berbeda dengan dai sejuta umat, K.H. Zainuddin M.Z., dan dai manajemen kalbu, Aa Gym, Arifin Ilham tampil dengan gaya zikirnya yang menyejukkan. Seakan membawa jemaahnya terbang ke langit serta melupakan dunia yang fana.
BERGIGI SEJAK LAHIR
Saat Arifin kecil itu tenggelam, ayahnya, H. Ilham Marzuki, yang bekerja sebagai staf di Bank BNI 46 di Banjarmasin, tengah berada di luar kota. Saat itu Arifin tengah bermain dengan kakaknya, Mursidah, sementara ibunya tengah mencuci. “Saat bermain dengan kakak, saya tiba-tiba terpeleset dan terjatuh ke sungai. Saya langsung tenggelam dan setelah itu saya tak sadar lagi apa yang terjadi,” Arifin Ilham membuka kisah masa kecilnya di sela-sela kegiatannya yang padat, antara lain mengisi siaran rohani di televisi.
Alhamdulillah, Arifin berhasil ditolong dan sehat kembali, sementara ibunya maupun kandungannya juga tak bermasalah. Pada 21 April 1971 (kandungan usia sembilan bulan sepuluh hari) ibunya melahirkan adik Arifin, Siti Hajar, dengan selamat.
Arifin Ilham adalah anak kedua dari lima bersaudara, dan dia satu-satunya anak lelaki. Ayah Arifin masih keturunan ketujuh Syeh Al-Banjar, ulama besar di Kalimantan, sementara ibunya, Hj. Nurhayati, kelahiran Haruyan, Kabupaten Barabay.
Setahun setelah menikah, pasangan ini melahirkan putri pertama mereka tahun 1967. Karena anak pertama mereka perempuan, betapa bahagianya mereka ketika anak keduanya adalah laki-laki. Nurhayati mengatakan bahwa saat hamil anak keduanya itu, ia merasa biasa-biasa saja, tidak ada tanda-tanda khusus. Hanya, berbeda dengan keempat putrinya, saat dalam kandungan, bayi yang satu ini sangat aktif. Tendangan kakinya pun sangat kuat, sehingga sang ibu acapkali meringis menahan rasa sakit.
Bayi yang lahir tanggal 8 Juni 1969 itu kemudian diberi nama Muhammad Arifin Ilham. Berbeda dengan keempat saudaranya yang lain, yang saat lahir berat mereka rata-rata 3 kilogram lebih, bayi yang satu ini beratnya 4,3 kilogram dengan panjang 50 sentimeter. “Anehnya, bayi itu sejak lahir sudah bergigi, yaitu di rahang bagian atasnya,” kenang Nurhayati.
Bayi itu selanjutnya tumbuh sehat. Usia setahun sudah bisa berjalan dan tak lama setelah itu ia mulai bisa berbicara. Setelah Siti Hajar, satu demi satu adik Arifin pun lahir. Yaitu, Qomariah yang lahir tanggal 17 Mei 1972 dan si bungsu Fitriani yang lahir tanggal 24 Oktober 1973.
Saat berusia lima tahun, Arifin dimasukkan oleh ibunya ke TK Aisyiah dan setelah itu langsung ke SD Muhammadiyah tidak jauh dari rumahnya di Banjarmasin. Arifin mengaku, saat masih di SD itu ia tergolong pemalas dan bodoh. “Kata orang Banjarmasin, Arifin itu babal. Arifin baru bisa baca-tulis huruf Latin setelah kelas 3,” kenang Arifin yang setiap kali berbicara tentang dirinya selalu menyebut namanya sendiri.
Di SD Muhammadiyah ini Arifin hanya sampai kelas 3, karena berkelahi melawan teman sekelasnya. Masalahnya, dia tidak rela ada salah seorang temannya yang berbadan kecil diganggu oleh teman sekelasnya yang berbadan cukup besar. Arifin kalah berkelahi karena lawannya jagoan karate. Wajahnya babak belur dan bibirnya sobek. Agar tidak berkelahi lagi, oleh ayahnya Arifin kemudian dipindahkan ke SD Rajawali.
KECIL, TAPI TUA
Rumah tempat tinggal orang tua Arifin terletak di Simpang Kertak Baru RT 7/RW 9, kota Banjarmasin, tepat di sebelah rumah neneknya, ibu dari ibunda Arifin. Sebagai pegawai Bank BNI 46, ayahnya sering kali bertugas ke luar kota Banjarmasin, kadang-kadang sampai dua-tiga bulan. Ayah Arifin mengakui bahwa ia tidak banyak berperan mendidik kelima anaknya, sehingga akhirnya yang banyak berperan mendidik Arifin adalah istri dan ibu mertuanya. Arifin mengungkapkan bahwa cara mendidik kedua orang tua itu keras sekali. “Baik Mama maupun Nenek kalau menghukum sukanya mencubit atau memukul. Dua-duanya turunan, kalau nyubit maupun memukul keras dan sakit sekali,” canda ustad muda itu.
Nenek Arifin sangat disiplin. Setiap pulang sekolah, Arifin kecil diharuskan untuk tidur siang. Kalau tak bisa tidur, ia terpaksa berpura-pura tidur, karena ditunggui dan dipelototi oleh sang nenek. Kalau mata melek sedikit, neneknya langsung berteriak-teriak, “Tidur... tidur…!” Meski tak ditunggu sekalipun, ia tak berani kabur karena kalau ketahuan pasti langsung dicubit atau dipukuli. Meskipun semua saudaranya perempuan, mereka pernah merasakan cubitan ibu maupun neneknya. “Nenek, kalau nyubit di paha, kenceng sekali, sampai-sampai paha kami biru-biru semua,” tambahnya sembari tertawa.
Di masa kecil, Arifin lebih suka bermain dengan teman-teman yang usianya lebih tua, sehingga ia dijuluki ‘ketu’, maksudnya, kecil tapi tua. Akibatnya, meski secara fisik dan usianya masih bocah, penalarannya acapkali seperti orang dewasa. Ibunda Arifin sangat terkesan dengan sifat sosial dari anak lelaki satu-satunya itu. “Sejak kecil, Arifin sangat berjiwa sosial. Dulu, ketika anak-anak masih kecil, setiap kali saya membagikan makanan dan di antara saudaranya ada yang merasa kurang, maka bagian makanannya langsung diberikan kepada saudaranya itu,” kenang sang ibu.
Ada satu kenangan yang tak pernah dilupakan oleh ibu dari lima anak itu. Saat itu, Arifin, yang baru duduk di kelas IV SD, serta semua saudaranya diajak jalan-jalan oleh kedua orang tuanya. Di tengah jalan, Arifin tiba-tiba memohon kepada ayahnya agar menghentikan mobilnya. Begitu mobil berhenti, ia segera turun. Rupanya, Arifin merasa iba melihat seorang lelaki tua yang susah payah menarik gerobak yang sarat dengan bawaan, menaiki jembatan. Bocah itu langsung membantu mendorong gerobak dari belakang sampai akhirnya berhasil mendaki jembatan itu. “Setelah itu, Arifin masih memberi uang kepada lelaki tua itu,” tutur Nurhayati, mengenang kelakuan putranya.
HAMPIR MAU BAKAR RUMAH
Kenakalan Arifin rupanya masih saja berlanjut, meskipun sudah dipindahkan ke SD Rajawali. “Maklum, karena kami tinggal di kota, Arifin mulai agak terpengaruh pada hal-hal yang sedikit negatif,” tutur Ilham Marzuki. ”Dia mulai bisa bermain judi dengan uang kecil-kecilan dan merokok dengan sembunyi-sembunyi.”
Menurut Arifin, ia tidak pernah berjudi dengan taruhan uang. “Arifin memang suka bermain judi dadu, tapi taruhannya bukan uang,” sergahnya. “Kalau Arifin berjudi, taruhannya kelereng. Kita pasang tiga kelereng, kalau menang dapat 10 kelereng. Tapi, Arifin banyak kalahnya sehingga lama- kelamaan duit Arifin pun habis untuk membeli kelereng. Karena masih ingin main judi, Arifin pun mencuri. Saat Abah memanggil-manggil dan mengajak salat berjemaah, Arifin pura-pura mandi. Begitu Abah sudah mulai salat, Arifin pun segera masuk ke kamar Abah dan mengambil uang Abah yang ada di kamar. Arifin tak berani mengambil banyak-banyak, hanya sekitar seribu rupiah!”
Pendidikan yang keras dan disiplin terhadap Arifin di rumah rupanya tidak selalu membuahkan hasil yang sesuai dengan harapan kedua orang tuanya. Di luar rumah, Arifin menikmati dunianya sendiri, sehingga membuat kedua orang tuanya jadi semakin cemas. “Karena Abah sering ke luar kota, maka Arifin pun jadi kurang terkontrol dan nakal,” kata Arifin beralasan.
Oleh kedua orang tuanya Arifin pun didatangkan guru mengaji ke rumah. Selain diharapkan pintar mengaji, kedua orang tuanya juga berharap agar anak lelaki satu-satunya itu tidak banyak bermain di luar rumah. Tapi, apa yang terjadi? Arifin justru membuat ulah yang aneh-aneh. Setiap kali guru mengaji itu datang ke rumah, ia selalu saja dijaili Arifin. “Kadang-kadang Arifin gembosin ban sepedanya, kadang-kadang ngumpetin sandalnya,” ujar Arifin berterus terang.
Saat kelas 6 SD Arifin pernah mengancam akan membakar rumah orang tuanya. Pasalnya, sang ayah tidak mau mengabulkan permintaannya. Rupanya, ia minta dibelikan motor trail, tapi malah dibelikan motor Vespa. Ayahnya khawatir, kalau dibelikan motor trail, Arifin akan main kebut-kebutan yang tentu sangat membahayakan keselamatannya. “Biarpun harganya lebih mahal, motor itu tidak trendi,” ujarnya jengkel.
Meski sudah menyiapkan minyak tanah dan korek api, orang tuanya tidak memperhatikan ancamannya itu. Arifin jadi kesal. Ia kemudian membuat ulah agar ayahnya naik pitam. Suatu sore, ketika banyak orang sedang bermain badminton di sebelah rumahnya, Arifin ikut bergabung bersama mereka. Ia tahu ayahnya sedang duduk-duduk di teras rumahnya dan dengan mudah bisa melihat apa yang diperbuatnya. Ia juga tahu ayahnya sangat tidak suka melihat orang merokok, terlebih itu dilakukan oleh anak kecil, seperti dirinya. Arifin pun sesungguhnya tidak suka merokok. Tapi, untuk memancing kemarahan ayahnya, ia sengaja merokok di depan ayahnya dan orang banyak. Begitu sampai pada tiga empat isapan, sang ayah mendekatinya dan langsung menampar sambil memarahinya. “Kamu ini nyontoh siapa, sih. Kamu, kok, jadi badung seperti ini? Kamu mau jadi apa kalau sudah besar nanti?”
Tamparan itu tidak hanya mempermalukannya, tapi juga membuatnya sakit lahir batin. Maklum, sewaktu muda ayahnya juga pernah berlatih karate, sehingga pukulannya cukup mantap. Saat itu juga ia kabur dari rumah. Ia sangat marah dan sakit hati sehingga tidak ingin pulang lagi ke rumah orang tuanya. Tapi, begitu jauh dari rumah, ia bingung mau lari ke mana. Karena hari sudah larut, maka ia putuskan singgah di rumah Ahmad, sahabat mainnya. Ia berpesan kepada keluarga Ahmad agar tidak memberitahukan keberadaannya kepada kedua orang tuanya. Tapi, diam-diam orang tua Ahmad memberitahukannya kepada Hj. Nurhayati, ibu Arifin. Nurhayati kemudian memberikan sejumlah uang kepada orang tua Ahmad untuk keperluan Arifin, baik untuk makan atau keperluan lain.
Arifin sama sekali tidak tahu bahwa ibunya sudah mengetahui keberadaannya. Tapi, ia merasa ada sesuatu yang agak janggal. Ia tahu persis bahwa kehidupan keluarga Ahmad tergolong susah. “Tapi, kenapa setiap hari makanannya selalu lezat-lezat? Nasinya enak, lauknya pun lengkap, ada ikan, daging, dan sebagainya,” papar Arifin. “Rupanya, selama Arifin menginap di rumah ini, selalu disubsidi Mama. Mama datang setiap hari dengan sembunyi-sembunyi, tanpa Arifin ketahui atau pas Arifin tidak berada di rumah,” lanjutnya.
Memasuki hari kelima, Nurhayati datang ke rumah orang tua Ahmad dan sengaja menemui Arifin. Ia memberi tahu bahwa ayahnya sakit keras gara-gara memikirkan Arifin. Ia membujuk putranya agar segera pulang ke rumah. Arifin trenyuh juga mendengar cerita itu dan saat itu pun ia bersedia pulang bersama ibunya. Sampai di rumah, Arifin langsung memohon maaf kepada ayahnya yang langsung memeluknya. “Kami saling berpelukan dan bertangis-tangisan,” kenang Arifin sendu. “Ini benar-benar seperti cerita sinetron!” lanjutnya bercanda.
Jadi Jagoan di Pesantren
Di Tanah Suci, kedua orang tuanya berdoa khusyuk untuk Arifin. Hasilnya, tabiat Arifin berubah drastis!
Saat kedua orang tuanya menunaikan ibadah haji, Arifin malah asyik berjudi. Tapi, ucapan seorang temannya yang pemabuk dan penjudi, hidupnya berubah total. Ia tinggalkan dunia remajanya yang ‘hitam’ dan dengan caranya ia mencoba memperbaiki hidupnya.
Apa saja yang dilakoni Arifin untuk menebus kesalahannya pada orang tuanya? Dan bagaimana langkahnya dari seorang ‘penjudi’ menjadi seorang dai?
SANTRI BERDASI
Meskipun badung, Arifin berhasil lulus SD dengan baik. Nilai pendidikan agamanya biasa-biasa saja, namun nilai pengetahuan umumnya cukup bagus sehingga ia bisa masuk ke SMP Negeri I Banjarmasin, sekolah favorit di ibu kota Kalimantan Selatan itu. “Kalau Arifin serius dan bersemangat untuk belajar, Arifin pasti mampu,” ujar Arifin. “Ketika kelas 6 Arifin mulai memiliki semangat belajar, sehingga nilai Arifin pun cukup bagus.”
Tapi, bukan berarti Arifin tidak nakal lagi. Ia masih suka bermain dengan anak-anak yang lebih tua darinya, serta bermain judi. Tahun 1982 ayah-ibunya berangkat ke Tanah Suci Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Di depan Kabah kedua orang tua Arifin bersimpuh di hadapan Ilahi, memohon agar Arifin diberikan petunjuk dan hidayah oleh-Nya.
Sementara itu, Arifin yang ditinggal di rumah bersama keempat saudaranya, tetap asyik bermain judi. Bekal yang ditinggalkan oleh ayahnya saat berangkat haji sudah ludes untuk membeli kelereng guna taruhan berjudi dadu. Suatu hari, ketika tengah asyik-asyiknya berjudi kelereng, Denny, salah seorang temannya bermain judi, tiba-tiba nyeletuk, “Fin, ayah lu naik haji, lu malah main judi!”
Arifin terenyak dan pikirannya mendadak menjadi tidak tenang. Saat itu juga ia langsung pamit pulang. Celetukan itu ternyata masuk ke nalar Arifin. Meski Denny seorang pemabuk dan penjudi, entah kenapa, ucapannya kali ini seakan langsung menohok kalbu Arifin. Sepanjang perjalanan, ia teringat pada kedua orang tuanya yang tengah menunaikan ibadah haji. Tiba-tiba ia dihantui perasaan bersalah yang luar biasa kepada kedua orang tuanya. Bayang-bayang kenakalannya selama ini mendadak muncul di hadapannya, membuat batinnya makin tersiksa. Semalaman ia tidak bisa tidur pulas. Setiap kali terbangun, bayangan kedua orang tuanya muncul, hingga membuatnya sangat khawatir. Tiba-tiba saja batinnya tercabik-cabik, hingga membuatnya menangis sendirian di kamar. “Hidayah tidak selalu datang dari seorang kiai atau ulama, tapi bisa juga dari mereka yang berlumur dosa,” tandasnya.
Arifin yakin, terbukanya mata hatinya tentu bukan semata-mata karena ucapan Denny yang menohok hatinya. Arifin mengatakan, “Selain Arifin mendapatkan hikmah dari ucapan Denny, doa Abah dan Mamah di Mekah ternyata dikabulkan oleh Allah. Selain untuk menunaikan ibadah haji, Arifin yakin Abah pasti memohon pada Allah agar anaknya yang nakal ini bisa mendapat petunjuk dan hidayah-Nya. Saat itu juga nur Ilahi itu tiba-tiba datang menyinari seluruh kalbu Arifin. Sejak itu, Arifin berjanji pada diri sendiri untuk tidak berjudi dan melakukan tindakan yang tercela. Kalau selama ini Arifin hanya salat magrib dan itu pun tidak rutin, sejak itu Arifin bertekad untuk salat lima waktu.”
Saat kedua orang tuanya pulang dari Tanah Suci, mereka sangat terkejut melihat perubahan sikap Arifin. “Kok, Arifin ini berubah sekali sifat dan kebiasaannya?” tanya ayahnya dalam hati. Belakangan, Arifin yang saat itu baru kelas 1 SMPN bahkan minta dimasukkan ke pesantren.
Menjelang saat penerimaan rapor semester akhir kelas 1 SMP, Arifin diajak oleh kedua orang tuanya berkunjung ke Pesantren Al-Fallah di kilometer 24, Banjarmasin. Tapi, Arifin menolak untuk dimasukkan ke pesantren itu. “Saya ingin masuk pesantren, tapi tidak mau pakai sarung. Saya ingin masuk pesantren yang bercelana panjang dan berdasi,” kenangnya sembari tertawa.
Sepengetahuan ayahnya, pesantren yang diharapkan Arifin itu tidak ada di Banjarmasin atau bahkan di Kalimantan. Pesantren Darussalam di Banjarmasin yang dipimpin oleh kakek Arifin pun, keadaannya sama. Pesantren yang dimaksud oleh Arifin itu adalah pesantren modern yang hanya ada di Pulau Jawa. Arifin ternyata tidak keberatan untuk nyantri di Pulau Jawa. Begitu menerima rapor kenaikan, ke kelas 2 SMP, Arifin bersama adiknya, Siti Hajar, diantar oleh sang ibu ke Jakarta tahun 1983. Kedua kakak-beradik itu kemudian dimasukkan ke Pesantren Darunnajah di Ulujami, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Meski masuk pesantren atas kemauannya sendiri, pada awalnya Arifin merasa sangat tidak betah tinggal di pesantren yang jaraknya sangat jauh dari kedua orang tuanya itu. Padahal, di pesantren itu ia juga ditemani oleh adiknya. “Kalau di rumah kami ingin makan lauk yang enak, tinggal ngomong sama Mamah. Di pesantren, makanan serba terbatas dan rasanya masih kurang pas di lidah kami,” kata Arifin. “Setiap minggu kami hanya sekali bisa makan daging serta ikan, selebihnya setiap hari kami hanya makan tahu tempe.”
SENINYA JADI SANTRI
Rekan dekat Arifin di Pesantren Darunnajah, Drs. H. Royhan Sabuki, memaklumi keluhan Arifin. Tapi, ia menyadari kenapa fasilitas pesantren demikian memprihatinkan. Saat ia masuk tahun 1983, uang masuknya masih sangat murah. Saat itu jumlah santrinya baru sekitar 300 orang, dan setiap anak ditarik uang masuk Rp50.000, serta uang makan setiap bulan Rp22.000. “Padahal, untuk sekali makan di warteg (warung Tegal) saja, waktu itu sudah seribu rupiah. Jadi, wajar kalau dengan biaya sebesar itu menu pokok kami setiap hari tidak lepas dari tahu tempe,” kenangnya.
“Di sinilah seninya tinggal di pondok pesantren. Mereka harus ulet dan disiplin,” kata Ustad Drs. K.H. Machrus Amin, pendiri dan pimpinan Pondok Pesantren Darunnajah, Jakarta. “Di pesantren tentu saja berbeda dengan di rumah, baik untuk mandi atau makan. Agar bisa mandi pagi-pagi, mereka harus disiplin bangun pagi-pagi pukul empat. Begitu juga dengan makan. Makan di pesantren itu rumusnya berkah. Sekarang, dengan uang makan Rp135.000 sebulan bagi setiap santri, yang berarti sekali makan hanya Rp1.500, tentu saja tidak akan bisa memuaskan semua pihak. Tapi, masih bisa makan dengan lauk ayam, ikan, maupun daging, tentu sudah lumayan. Dengan anggaran itu, semua guru dan karyawan sudah bisa ikut makan. Di sinilah letak keberkahan pesantren itu!”
Salah satu sifat yang sangat berkesan pada diri Arifin dari kacamata Royhan adalah kedermawanannya. Saat di tingkat aliyah (SMU), pertemanan mereka makin dekat. Setiap kali keluar pesantren, Arifin sering kali mengajak Royhan. “Ustad Arifin orangnya sangat sosial. Setiap kali keluar pesantren, dia pasti mengajak saya makan dan makannya selalu di restoran yang enak-enak,” tutur Sarjana Fakultas Syariah Darunnajah yang kini mengasuh Pesantren Darunnisak di Legoso, Ciputat, itu.
Tidak hanya pada dirinya Arifin bersikap dermawan. Suatu hari, Arifin membeli baju dari bahan kaus di Pasar Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Sesampainya di pesantren, salah seorang teman menegurnya, “Wah, habis beli baju baru, Fin?”
“Ya, lu mau?” jawab Arifin spontan.
“Nggak... nggak, ah,” jawab teman itu malu-malu.
“Ambil, deh, untuk lu!” kata Arifin enteng sembari melempar baju yang baru saja dibelinya itu.
GILA PIDATO
Di samping masalah makan dan fasilitas tempat tinggal, ada masalah lain yang membuat Arifin tidak betah di pesantren. Selain kurang serius dalam belajar, ia merasa sangat berat mengikuti materi pelajaran agama di pesantren itu. Seharusnya, untuk masuk di tingkat tsanawiyah (tingkat SMP dengan pendidikan agama) harus berijazah ibtidaiyah (tingkat SD dengan tambahan pendidikan agama). Arifin sendiri berasal dari SD umum dan pengetahuan agamanya pun sangat tipis. Ia belum lancar membaca dan menulis Arab. Padahal, itu merupakan materi utama pelajaran di tingkat tsanawiyah.
“Karena sangat jauh tertinggal, maka semangat belajar Arifin pun jadi sangat kurang,” Arifin beralasan. “Selain itu, di pesantren tersebut nilainya jujur sekali. Kalau nilainya 2 atau 3, nilai di rapor pun akan seperti itu. Nilai rapor Arifin pun seperti lautan merah. Dari 40 mata pelajaran di rapor, lebih dari 30 mata pelajaran merah semua. Buruk sekali!”
Saat itu Arifin sangat terpukul dan sedih. Tapi, ia tak ingin menyerah. Bagaimanapun, masuk ke pesantren itu adalah kemauannya sendiri. Ia tidak ingin mengecewakan kedua orang tuanya. Memasuki semester dua, ia berusaha memacu diri. Kalau orang lain bisa, ia pun harus bisa, begitu tekadnya. Usahanya tidak sia-sia, ia berhasil naik ke kelas II. Di kelas ini ia memacu diri lebih keras lagi. Hasilnya, sangat fantastis. Ia berhasil naik kelas dengan nilai yang cukup bagus, sehingga nilainya di atas rata-rata. Belakangan, ia bahkan masuk ranking sepuluh besar di kelasnya.
Tahun berikutnya, Arifin tidak hanya bernilai bagus, namun juga menjadi bintang di bidang olahraga dan kesenian. Selain lari dan badminton, ia berhasil menjadi juara membaca puisi. Hanya, dalam bidang pidato, Arifin masih belum pede (percaya diri). Setiap kali ada acara latihan berpidato, keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Sebenarnya, ia ingin sekali bisa tampil berpidato. Tetapi, ia selalu diselimuti ketegangan dan ketakutan yang luar biasa setiap kali akan melangkahkan kakinya ke podium.
Tapi, bukan Muhammad Arifin kalau ia langsung menyerah. Pikirannya tiba-tiba menerawang jauh ke belakang, ketika ia masih tinggal bersama kedua orang tuanya di Banjarmasin. Setiap sore menjelang magrib, ia dan saudara-saudaranya selalu diajak kedua orang tua mereka ke Masjid Sabilal-Muqtadin, sekitar 200 meter dari rumahnya. Mereka berada di masjid hingga salat isya, sambil mendengarkan pengajian yang disampaikan oleh K.H. Rafi Hamdan, seorang ustad kenamaan di kota Banjarmasin. “Arifin sangat terkesan dengan cara-cara beliau memberikan pengajian. Sayang, kini beliau sudah tiada,” tutur Arifin.
Arifin sangat mengidolakan ustad itu. “Enak juga jadi seorang dai seperti beliau, bisa memberikan pencerahan pada banyak orang,” pikirnya. “Tapi, bagaimana mungkin berceramah panjang lebar seperti itu, kalau mau naik ke mimbar saja Arifin sudah gemetaran?”
Arifin terus merenung dan berpikir bagaimana caranya bisa berpidato dengan baik. Setiap kali acara latihan berpidato itu diselenggarakan di pesantren, ia selalu berusaha datang. Begitu juga ketika di pesantrennya diselenggarakan lomba pidato, ia selalu mengamati satu demi satu rekan-rekannya yang tampil. Ketika akhirnya salah seorang di antara mereka dinyatakan tampil sebagai juara, pengamatannya pun dialihkan kepada rekannya itu. Arifin mengamati kehidupan sehari-hari rekannya itu, sejak mulai bangun tidur, salat, makan, dan sebagainya. “Ternyata anaknya biasa-biasa saja. Kalau dia bisa, kenapa Arifin tidak?” kata Arifin mengungkapkan perasaannya saat itu.
Sejak itulah, Arifin seperti ‘kesetanan’ pidato. Di saat semua teman di kamarnya tertidur lelap, ia justru bangun. Ia lalu berdiri di atas tempat tidurnya, dan beraksi seperti layaknya orang-orang berpidato di atas mimbar, ”Para hadirin yang sedang nyenyak tidur, para bantal, para kasur, dan para sarung yang kumal-kumal yang kami hormati. Pertama-tama marilah kita panjatkan kepada Allah SWT yang….”
MR ENGLISHMAN
Cara ‘gila’ belajar dan berlatih pidato itu ternyata tidak percuma. Ia tidak lagi mandi keringat dingin dan gemetaran setiap kali harus naik mimbar di hadapan teman-teman santrinya untuk berlatih pidato. Ia pun mulai mampu mengatur kata demi kata yang harus ia sampaikan dalam setiap latihan pidatonya. Kepercayaan dirinya terus bertambah, sehingga ia pun mulai berani tampil berceramah di luar pesantren. Setiap kali ia pulang liburan ke rumah orang tuanya di Banjarmasin, ia mulai memberanikan diri berceramah di Dakwatul-Chair, surau yang lokasinya tidak jauh dari rumahnya.
Meski di pesantren sudah sering berpidato, Arifin mengaku sangat tegang saat pertama kali diminta oleh pengurus surau itu untuk berceramah. “Semalaman Arifin tidak bisa tidur dan keringat dingin keluar dari sekujur tubuh,” kenangnya. “Arifin kemudian bangkit dari tempat tidur dan berusaha membaca buku untuk mempersiapkan bahan ceramah. Siapa tahu, sambil membaca, mata jadi lelah dan bisa tidur. Ee… mata Arifin tetap saja melek dan buku yang Arifin baca pun tidak masuk ke otak. Berhadapan dengan massa ternyata lebih menakutkan!”
Tapi, hanya sekali itu saja Arifin nervous, sehingga ceramahnya pun dirasakan tidak keruan dan banyak kalimat yang salah-salah. Sampai di rumah, Arifin pun kemudian berpikir panjang. “Arifin ternyata dibutuhkan umat. Arifin ditunggu oleh umat. Jadi, Arifin harus lebih serius dan bersungguh-sungguh lagi!”
Hari-hari selanjutnya ketegangan itu makin berkurang dan ia pun tampil dengan penuh percaya diri. Rupanya, banyak jemaah yang menyukai gaya ceramahnya, sehingga belakangan ia diminta tampil di tempat-tempat lain. Akhirnya, setiap kali pulang ke Banjarmasin, Arifin jadi sangat sibuk. Di usianya yang masih sangat remaja, ia sudah menjadi penceramah agama dari masjid ke masjid. “Belakangan, Arifin bahkan diminta untuk berkhotbah Jumat di Masjid Al-Jihad, masjid orang-orang Muhammadiyah yang cukup dikenal di Banjarmasin,” kata sang ayah.
Menanggapi tentang kepiawaian Arifin berpidato, Royhan bercerita, “Sejak dulu, cara bicaranya sangat terlatih, sehingga setiap kali dia tampil selalu mendapat sambutan hangat dari teman-teman. Akhirnya ia pun berhasil menjadi juara di berbagai lomba pidato. Selain di Pesantren Darunnajah, ia berhasil menjadi juara pidato tingkat nasional dan tingkat Asean.”
Kesimpulan Arifin, “Sebesar kesadaranmu, sebesar itu pula keuntunganmu. Sebesar keinsafanmu, sebanyak itu pula keuntunganmu!” Royhan pun sangat kagum pada semangat dan kesungguhan Arifin. Memasuki tahun kedua, setiap santri di Darunnajah diharuskan berkomunikasi dengan bahasa Arab atau Inggris. Kalau ada santri yang berbicara sehari-hari tidak menggunakan kedua bahasa asing itu, maka mereka akan dihukum. Hukumannya bisa bermacam-macam, tergantung berapa kali santri itu ketahuan tidak berbahasa asing. Hukuman bisa berupa menghafal atau menulis kata atau kalimat bahasa Arab/Inggris, bisa disuruh membersihkan kamar mandi, dan sebagainya.
Setiap anak diwajibkan menjadi mata-mata bagi anak lain, sehingga siapa pun yang berbicara dengan tidak menggunakan bahasa Arab atau Inggris, pasti akan mendapatkan hukuman. Akhirnya, hampir semua santri pernah menjalani hukuman itu. Kalau teman-teman lain lebih suka berbicara dengan bahasa Arab, Arifin lebih suka berbahasa Inggris. Arifin sering kali mengatakan, “I don’t care. I don’t care with the other person!” ujar Arifin seperti ditirukan oleh Royhan. “Teman-teman menyebut Ustad Arifin sebagai Mr Englishman!” Royhan bercerita sembari tertawa. Di kalangan teman-temannya, Arifin dikenal lebih piawai berbahasa Inggris daripada berbahasa Arab.
JAGOAN BERKELAHI
Perjalanan menuju sukses ternyata memang tidak mudah. Di mana pun, ada saja orang yang iri dan dengki melihat orang lain sukses. Demikian juga yang dirasakan Arifin. Selain merasa sulit bergaul, ia sering kali merasa diperlakukan tidak adil oleh pengasuh pesantren maupun para guru. Maklum, yang masuk di pesantren itu memang santri-santri dari berbagai suku di tanah air, sehingga budaya dan tingkah laku mereka pun bermacam-macam. “Sejak kecil Arifin paling tidak bisa melihat ketidakadilan. Karena itu, Arifin pun terpaksa berkelahi karena melihat ketidakadilan itu,” kata Arifin.
Suatu hari, Arifin melihat ada seorang santri yunior bernama Muhammad Ali disakiti oleh santri senior. Arifin pun marah dan tidak mau menerima keadaan itu sambil menantang sang senior itu berkelahi. “Eh, lu jangan cuma berani lawan anak kecil. Lawan gua kalau i memang jagoan!”
Dalam kesempatan lain, Arifin naik pitam lagi ketika ia berhasil memergoki santri yang mencuri lauk-pauk kiriman ibunya dari Banjarmasin. Hampir setiap bulan ia memang mendapat kiriman kecap, abon, dan ikan khas Banjarmasin. Sebagian ia bagikan kepada teman-temannya, dan sebagian lagi ia simpan agar bisa untuk makan sebulan. Tapi, belum lagi genap tiga hari, semua lauk itu sudah raib. Bulan berikutnya, Arifin sengaja memasang jebakan, sampai akhirnya berhasil menangkap ‘pencuri’nya. Arifin pun langsung menghajar anak itu. Sambil melempar abon dan kecap ke wajah temannya itu, Arifin membentaknya, “Makan, tuh, abon sama kecap ini!”
Selain dikenal sebagai juara lomba pidato, di Pesantren Darunnajah Arifin akhirnya juga dikenal sebagai santri yang suka berkelahi. Padahal, setiap kali usai berkelahi, Arifin selalu mendapat hukuman, yaitu digunduli kepalanya. Suatu hari, ketika Arifin dan santri-santri lain tengah antre makan, mendadak salah seorang santri langsung nyerobot antrean. Melihat ketidakadilan seperti itu, Arifin tentu saja sangat marah. Saat itu hanya Arifin yang berani menegur santri nakal itu, karena dia punya banyak teman. “Meskipun di pesantren, rupanya mereka main geng-gengan juga,” kenang Arifin. “Tapi, Arifin tidak takut, walaupun akhirnya Arifin dikeroyok oleh mereka. Perkelahian tentu saja sangat tidak seimbang, sehingga bibir Arifin pun robek dan berdarah-darah!”
Sebagai hukuman, Arifin pun harus digunduli. Tapi, ia berontak karena merasa diperlakukan tidak adil. Santri yang mengeroyok dan memukulinya ternyata malah tidak dihukum sama sekali. “Apanya lagi yang mau dibotaki, Kiai, sementara kepala saya sudah botak?” gumam Arifin.
MULAI DIUNDANG CERAMAH
Merasa diperlakukan tidak adil, Arifin mulai merasa tidak nyaman sekolah di pesantren itu. Ia pun memutuskan keluar sekolah, meski baru duduk di kelas dua aliyah (tingkat SMU). Setelah mengundurkan diri dari pesantren itu, Arifin pun masuk ke Pesantren Assyafi’iyah di daerah Bali Matraman, Tebet, Jakarta Selatan. “Saya merasakan banyak ketidakadilan yang terjadi di Darunnajah, sehingga tidak nyaman lagi untuk meneruskan sekolah di sini,” tuturnya pendek.
Seperti di Darunnajah, tahun 1987 itu Arifin langsung masuk ke kelas 2 aliyah Assyafi’iyah. Di tempat ini ia tidak mondok di pesantren sehingga bisa lebih bebas mengekspresikan kemampuannya berpidato. Awalnya, ia hanya diminta menggantikan Ustad Ahmad yang berhalangan hadir karena beliau harus berangkat ke luar negeri. Ia dijemput dengan mengendarai motor Vespa dan pulangnya dibelikan nasi goreng.
Undangan ceramah kedua datang untuk peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Tapi, porsinya juga hanya sebagai pengisi waktu karena Ustad Manarul Hidayat —ustad kenamaan saat itu— yang seharusnya mengisi acara tersebut, datang agak terlambat. Namun, dua kali pemunculan tanpa sengaja justru membawa hikmah. Ia mulai dikenal banyak orang. Dan sejak itulah undangan berceramah di lingkungan pesantren itu mulai berdatangan.
Lebih setahun kemudian ia berhasil lulus aliyah dan berhasil mendapat ranking ketiga. Menurut rencana, ia akan melanjutkan kuliah ke sebuah universitas di Mekah, tapi beberapa guru menasihatinya agar kuliah di perguruan tinggi umum di Indonesia saja. Arifin akhirnya mendaftarkan diri di Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Politik Universitas Nasional di Jakarta. Sambil kuliah, Arifin terus berceramah di masjid, surau, atau majelis taklim. Kian lama langkahnya kian jauh. Dari seputar Bali Matraman, merambah ke seluruh wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi.
Tahun 1994 Arifin lulus dari Universitas Nasional sebagai sarjana ilmu hubungan internasional. Sambil menjadi dosen di Universitas Borobudur, Arifin makin memantapkan diri sebagai dai. Arifin mengemukakan, “Arifin ingin membuktikan kepada semua orang bahwa kalau kita bersunggung-sungguh, maka kita akan berprestasi. Di mana pun, kita akan bisa berprestasi!”
Merebut Hati Umat Lewat Zikir
Arifin beberapa kali lolos dari maut. Hidupnya kian bersinar ketika berjumpa wanita pujaan dan ajakan zikir berjemaahnya mendapat sambutan gempita dari umat.
Selain menjadi dosen di Universitas Borobudur dan berdakwah, Arifin mempunyai kesibukan lain. Di tempat tinggalnya di Perumahan Mampang Indah II Depok, ustad muda yang masih lajang ini mempunyai hobi yang unik: memelihara beberapa jenis satwa, termasuk di antaranya burung hantu, iguana, monyet, dan ular.
Suatu hari, menjelang magrib tahun 1997, ia berhasil menangkap seekor ular kobra sepanjang satu meter lebih di semak-semak. Menurutnya, ular berkepala segi tiga dan di atasnya ada warna merahnya itu warnanya sangat indah. Ternyata, ular itu tidak hanya memukau, tetapi juga nyaris merenggut nyawa Arifin.
Bagaimana Arifin bisa lolos dari maut? Dan bagaimana kisah cintanya serta awalnya ia mengajak ribuan umat untuk berzikir?
NYARIS MENINGGGAL
Ular tangkapan Arifin itu diberi makan oleh Sulaeman, salah seorang jemaahnya. Pagi itu Arifin kedatangan tamu, Cut Tursina, ibu angkatnya, seorang dokter gigi, yang minta tolong diantar ke Parung untuk mencari pohon hias. Usai salat duha (salat sunah pagi hari), Arifin langsung naik ke mobil. Entah kenapa, mendadak ia turun lagi untuk melihat ularnya. Saat naik ke mobil lagi ia memberi tahu Cut bahwa tangan kanannya digigit ular. Cut mengajaknya ke dokter, tapi Arifin menolak karena merasa tidak ada gejala sakit apa-apa di tubuhnya. Ia bahkan yang mengemudikan mobilnya. Mereka bertiga pun berangkat sekitar pukul 10 pagi dan rencananya mereka akan mampir ke warung untuk makan, sebelum mencari pohon hias. Tapi, sekitar 200 meter menjelang warung makan langganan mereka di Parung, Arifin tiba-tiba mengeluh pandangan matanya mulai kabur dan mulai sulit bernapas. Ia meminta kepada Cut untuk menggantikannya mengemudi.
Cut yakin bisa ular itu sudah bereaksi sehingga ia harus bertindak cepat untuk melarikannya ke rumah sakit. Setelah keliling ke berbagai rumah sakit di Bogor dan Parung, Arifin segera dibawa ke RS Bakti Yudha di Depok. Kondisi tubuh Arifin benar-benar makin buruk saat tiba di rumah sakit itu sekitar pukul 12 siang. Cut dan Sulaeman bahkan sudah sempat menalkin (menuntun zikir bagi mereka yang akan meninggal) Arifin. Beberapa menit sebelum akhirnya tak sadarkan diri, Arifin pun berdoa, “Ya, Allah... kalau hamba tidak lagi bermanfaat hidup di dunia, segeralah hamba Kau panggil ke haribaan-Mu. Tapi, kalau hidup hamba akan bermanfaat dunia-akhirat, maka berilah kesempatan pada hamba untuk hidup.”
Setelah memeriksa dan menyuntik Arifin dengan SABU (serum anti bisa ular), dokter menganjurkan agar Arifin segera dibawa ke sebuah rumah sakit negeri yang sangat besar di Jakarta Pusat. Tapi malang, sampai sore hari berada di ruang gawat darurat, tubuh Arifin yang mulai menghitam itu tak segera disentuh oleh petugas medis.
Cut pun langsung memindahkannya ke RS Sint Carolus. Di rumah sakit inilah Arifin mendapat pertolongan yang intensif. Selain memiliki peralatan yang lengkap, pelayanannya cukup bagus. Saat itu juga Arifin dimasukkan ke ruang ICU, dan tubuhnya langsung dipasang alat bantu pernapasan, infus, alat pacu jantung, dan sebagainya.
Arifin ditangani oleh dr. Memet Nataprawira, dokter ahli bedah pencernaan yang juga ahli dalam menangani pasien yang digigit ular berbisa. Menurut dokter spesialis lulusan UI tahun 1977 itu, saat Arifin datang kondisinya sudah sangat buruk. Seperti umumnya pasien korban gigitan ular kobra atau ular laut, pernapasan Arifin pun jadi terhenti karena yang diracuni adalah sarafnya. “Kalau tak segera ditolong dengan pernapasan buatan, pernapasan korban bisa langsung terhenti. Artinya, pasien akan mati,” katanya.
Melihat keadaan pasiennya itu, ia sangat pesimistis Arifin akan bisa tertolong. “Selain kondisi pasien sangat buruk, persediaan SABU di rumah sakit maupun di seluruh apotek di Jakarta tidak ada. Dari kacamata medis, saya pesimistis pasien akan bisa tertolong! Hanya karena Tuhan-lah pasien ini akhirnya bisa tertolong,” jelas dokter Memet.
Ilham Marzuki, ayah Arifin, yang datang di hari kedua bersama istrinya setelah ditelepon Cut, hanya bisa pasrah ketika dipesan dr. Memet untuk bersabar dan banyak berdoa. “Keadaan putra Bapak sudah sangat parah, 99% sudah tidak ada harapan,” kata dr. Memet dengan sangat hati-hati. “Bapak sebaiknya banyak berdoa dan kita serahkan jalan yang terbaik pada Allah. Hanya mukjizat Allah-lah yang mampu menolong putra Bapak!”
Nurhayati, ibunda Arifin, terus-menerus menangis sejak diberi tahu bahwa anaknya masuk rumah sakit karena digigit ular. Ia bahkan nyaris pingsan ketika melihat anak kesayangannya itu tak sadarkan diri. Belahan jiwa yang kini menjadi kebanggaan keluarga itu, kini tengah menunggu malaikat maut. Tak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali, kecuali denyut jantung yang dibantu dengan alat pacu jantung, dan tarikan napas yang dibantu dengan alat bantu pernapasan.
Esoknya, saat memeriksa Arifin, dr. Memet melihat kaki pasiennya itu bergerak-gerak. “Alhamdulillah... putra Bapak masih ada harapan untuk hidup. Kakinya sudah mulai bergerak-gerak,” katanya kepada Ilham.
Ditambahkannya, kalau seorang pasien yang masih koma itu tiba-tiba menggerakkan kakinya, maka harapan hidup pasien itu cukup tinggi. “Fisik pasien ini memang sangat prima. Dari hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa otak, jantung, ginjal, maupun paru-parunya bagus tidak terkena racun bisa, sehingga akhirnya lolos dari maut,” tutur dr. Memet.
ZIKIRNYA MUDAH DIPAHAMI
Arifin bersyukur kesehatannya secara bertahap pulih kembali, setelah 21 hari mengalami koma. Setelah sebulan menunggui Arifin di rumah sakit, ayahnya pun kembali ke Kalimantan, sementara ibunya menemaninya di rumahnya di Depok. Perlahan-lahan lumpuh pada kaki dan tangannya mulai sirna, dan belakangan tinggal matanya yang silau setiap kali melihat cahaya. Tapi, tak lama kemudian keadaan matanya berangsur membaik. Ia juga sudah mulai aktif kembali ke Masjid Al-Amru Bit-Taqwa, masjid yang didirikan olehnya bersama tetangganya di Perumahan Mampang Indah II, Depok. Selain berceramah, ia mulai lagi memperbanyak zikir berjemaah (zikir bersama-sama).
Budi Noor dan Abdul Syukur, orang dekat Arifin, mengemukakan bahwa zikir berjemaah itu sudah dilakukan jauh sebelum Arifin mengalami koma akibat digigit ular. “Saya rasa keliru kalau menganggap Ustad Arifin berzikir setelah digigit ular kobra dan lolos dari maut. Jauh sebelum itu Ustad Arifin sudah sering kali memimpin jemaah zikir!” tandas keduanya.
Arifin juga mengelak anggapan beberapa media bahwa ia berzikir sebagai ungkapan rasa syukur karena telah lolos dari maut. “Arifin berzikir karena ingin mencintai Allah secara lebih total! Arifin prihatin melihat kenyataan umat Islam yang saat ini sedang terpuruk, dizalimi, difitnah, dan ditindas. Anehnya, umat Islam yang di Indonesia katanya mayoritas ini, ternyata tak berdaya sama sekali untuk melawannya. Ia sedih, para koruptor besar bebas dari hukuman, sementara orang yang belum tentu bersalah sudah menerima hukuman berat,” lanjutnya lagi.
Arifin kemudian menceritakan bahwa saat ia memperkenalkan zikir berjemaah itu di masjidnya sekitar tahun 1997, jumlah jemaahnya hanya dua-tiga orang saja. Tapi, ia terus berusaha meyakinkan para jemaahnya bahwa zikir berjemaah itu sangat besar faedahnya. Dalam sebuah hadis dikatakan, “Sesungguhnya kelompok yang berzikir kepada Allah memperoleh empat perkara. Yaitu, turunnya ketenteraman pada mereka, rahmat akan menaungi mereka, para malaikat akan mengelilingi mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka di hadapan para makhluk yang ada di dekat-Nya.”
Arifin menyadari, untuk mengajak ke jalan kebaikan itu tidaklah mudah. Setelah bertahun-tahun berzikir di masjid dengan dua-tiga jemaah, belakangan mulai bertambah menjadi satu saf (sebaris salat, sekitar 15 orang), dua saf, dan akhirnya masjid pun dipenuhi jemaah zikir. Setelah Arifin berulang kali tampil berzikir di layar teve, belakangan jumlah jemaah yang datang pun makin tak tertampung lagi di masjidnya. Apa boleh buat, ia pun terpaksa memasang tenda dan tikar di depan dan belakang rumahnya menuju ke masjid. Majelis zikir yang diselenggarakan setiap awal bulan itu didatangi puluhan ribu jemaah.
Kenapa zikir Arifin saat ini terasa begitu memikat? Syaefullah, mahasiswa program pascasarjana UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah, menilai, kelebihan zikir yang dibawakan Ustad Arifin itu adalah sangat sederhana dan mudah dipahami semua orang. Menurutnya, ada lima sebab utama kenapa zikir Arifin segera menasional. “Pertama, zikir beliau ini lepas, tidak terikat dengan pakem dan tarekat tertentu, sehingga setiap orang bisa mengikuti tanpa harus dibaeat (diambil sumpah). Kedua, cara berzikirnya mudah diikuti oleh orang awam sekalipun, karena setiap kali selalu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Ketiga, zikirnya itu bukan sekadar zikir, tapi ada muhasabahnya, yaitu usaha mengoreksi diri sendiri, sehingga setiap orang bisa langsung tersentuh. Keempat, zikirnya ini bukan sekadar zikir lisan, tapi sampai ke hati, sehingga semua orang bisa menangis karenanya. Kelima, zikirnya itu bisa diikuti oleh semua orang dari semua golongan,” paparnya.
MISTERI GUMPALAN SINAR
Arifin mengaku sudah beberapa kali mengalami kejadian yang nyaris merenggut nyawanya. Selain pernah nyaris mati tenggelam di sungai sewaktu kanak-kanak, kemudian digigit ular berbisa, Arifin juga nyaris mati saat melintasi rel kereta api di Citayam, Bogor, tahun 1996. Karena di perlintasan itu tidak ada pintunya, maka ia pun langsung saja melintasi rel itu. “Begitu masuk ternyata ada kereta lewat, sehingga pantat mobilnya tinggal beberapa sentimeter saja dengan badan kereta itu. Semua orang di jalan itu berteriak bahagia karena Arifin lolos dari maut,” kenangnya. “Setahun berikutnya, Arifin juga nyaris mati ketika hampir tubrukan dengan truk. Jaraknya juga tinggal beberapa sentimeter saja,” lanjutnya.
Budi Noor, yang juga tetangga Arifin, menyaksikan keajaiban lain. Suatu hari, usai salat magrib, ia melihat seberkas sinar di atas rumah ustad muda itu. Semula ia tidak percaya dengan pandangan matanya, kalau-kalau hanya sebuah halusinasi atau mimpi. Tapi, setelah beberapa kali ia mengusap matanya, ia yakin akan apa yang dilihatnya. Selama beberapa saat sinar itu tetap berada di situ sampai akhirnya berputar membentuk kerucut dan menghilang ke arah langit. Anehnya, hanya dia sendiri yang menyaksikan peristiwa itu. Karena, saat ia tanyakan kepada para tetangganya yang lain, mereka mengaku tidak menyaksikan sinar apa pun di atas rumah Arifin.
Syaefullah yang kini menjadi asisten Ustad Arifin juga merasakan sesuatu keanehan lain. “Bau keringatnya lain, tidak seperti manusia biasa,” ujarnya. “Saya merasakannya sendiri, baunya wangi. Saya yakin itu bukan bau minyak wangi, karena saya juga tahu bau minyak wangi.”
“Ia tidak hanya wangi, tapi juga smart dan tampan!” sambung Dr. H.M. Bhakty Kasry, Presiden Direktur PT Pandu Logistik, perusahaan jasa pengiriman. “Ia memiliki mata hati yang dalam dan mempunyai karisma yang tinggi. Nilai plus yang paling utama, ia mendapatkan hidayah dari Allah! Kalau tidak mendapatkan hidayah-Nya, mana mungkin jemaah pengajian dan zikirnya makin hari makin bertambah. Puluhan ribu jemaah mendatangi pengajian yang diselenggarakan setiap awal bulan di masjidnya. Sebagai ustad muda, ia mampu menjalankan syariat agama dengan baik dan dengan konsentrasi tinggi. Dalam berbicara ia santun dan terbimbing. Ia mempunyai wawasan luas dan ilmu pengetahuan agamanya pun cukup, karena ia dibesarkan di pesantren. Ia memiliki visi yang jauh dan bisa bergaul dengan yang tua maupun yang muda. Sebelum menganjurkan kepada jemaah, jauh-jauh hari ia sudah melakukannya sendiri,” tambahnya.
Mengenal Arifin sekitar tiga tahun yang lalu, Bhakty merasa hubungannya jadi sangat dekat. Di antara mereka tidak hanya saling mengenal, tapi sudah seperti keluarga. “Kami sering silaturahmi, jalan bareng, dan berbagi rasa, seperti layaknya kakak dengan adik,” tambah pria pujakusuma (putra Jawa kelahiran Sumatra) ini. Ia mengakui, warna kehidupannya saat ini banyak dipengaruhi oleh Arifin. Saat ini, selain secara intensif menjalankan tujuh sunah Rasul sesuai yang diajarkan Arifin, alumnus Institut Ilmu Keuangan ini juga mempercayakan Arifin untuk duduk sebagai komisaris di perusahaannya. Di pihak lain, Arifin mengakui peran Bhakty sangat besar dalam membantu aktivitas Majelis Zikir yang dipimpinnya. “Kami dan teman-teman di sini, Pak Bhakty yang menggaji. Bahkan, rumah dan kendaraan yang Arifin pakai adalah pemberiannya,” tuturnya jujur.
Abdul Syukur mengemukakan bahwa apa yang dijanjikan Allah itu memang terbukti dengan melihat keseharian ustad muda yang dikaguminya itu. “Seperti janji Allah, makin banyak kita memberikan infak dan sedekah, hidup kita makin berkah. Itu memang saya saksikan langsung pada kehidupan Ustad Arifin!” tandasnya. “Tangan kanannya, masya Allah... penuh hikmah, enteng sekali untuk beramal. Bagi Ustad Arifin, tiada hari tanpa bersedekah karena dia sangat tanggap terhadap penderitaan orang lain. Kalau ada tetangga, teman, atau siapa saja yang ditimpa musibah, anaknya masuk sekolah tidak punya uang, atau kesulitan lain, tanpa diminta beliau pasti langsung membantu!”
BERTEMU JODOH
Kalau memang jodoh, tidak akan ke mana-mana! Begitu petuah orang tua. Kisah itulah yang terjadi pada pasangan Arifin dengan Wahyuniati Al-Waly, putri ketiga dari enam bersaudara dari mantan anggota DPR, Drs. Teuku Djamaris. Arifin pertama kali bertemu Yuni saat usai berceramah di kediaman keluarga H. Yusuf di Depok, bulan September 1997. Saat itu Arifin tengah duduk menunggu antrean makan, begitu juga Yuni. Jarak di antara mereka sekitar tiga-empat meter. Tiba-tiba di antara keduanya saling beradu pandang dan keduanya pun saling tersenyum. Hanya beberapa detik saja adu pandang itu berlangsung dan setelah itu mereka pun pulang. Setelah itu, mereka pun tidak pernah saling bertemu, apalagi saling berbicara.
Malam itu Yuni tidak pulang ke rumah orang tuanya di Kompleks DPR di Kalibata, karena ia memang berniat menginap di rumah sahabatnya, Fitrah, di Depok. Semula ia tidak berniat mengikuti pengajian itu, karena niatnya memang hanya ingin kangen-kangenan ke rumah sahabatnya yang sama-sama dari Padang itu. Karena itu, ia pun pergi ke pengajian dengan pakaian seadanya, yaitu celana jins, baju berwarna biru, dan kerudung putih. Tapi, ia tidak merasa rugi mendatangi pengajian itu. “Ustadnya masih muda, cakep, dan materi ceramahnya pun lumayan menarik,” kenangnya.
Meski yakin matanya tidak salah saat melihat kecantikan gadis itu, Arifin tidak mau mengumbar perasaannya. Ia tak berusaha mencari tahu siapa dan dari mana gadis itu. Ia biarkan kehidupannya mengalir sesuai kehendak-Nya. Sebagai makhluk yang berusaha menyerahkan seluruh kehidupannya hanya untuk Allah, dalam urusan jodoh pun ia pasrahkan seutuhnya kepada Sang Mahakuasa. Setiap malam dia bangun kemudian salat tahajud dan berserah diri kepada-Nya.
Sejak masih kuliah di Universitas Nasional, kemudian lulus kuliah, dan selanjutnya menjadi dosen di Universitas Borobudur, sudah beberapa kali ia berteman dengan wanita. Tapi, sejauh itu selalu saja gagal sampai ke pelaminan.
Hari-hari pun berjalan, ternyata Tuhan belum pula menunjukkan tanda-tanda akan hadirnya seorang pujaan hati. Suatu hari, ada salah seorang temannya, Hasan Sandi, yang menawarinya berkenalan dengan seorang gadis. Katanya, “Ustad Arifin... mau tidak kalau saya kenalkan dengan seorang gadis. Dia seorang putri ulama.”
“Mau, anaknya tinggal di mana?” Arifin balik bertanya.
“Di Kalibata. Tapi, lebih baik kita ketemu di tempat lain saja, deh.”
Suatu hari di bulan Februari 1998 Hasan menghubungi Arifin lagi. Ia mengundang Arifin untuk memberikan ceramah dalam acara syukuran menempati rumah baru. “Nanti saya kenalkan sekalian dengan gadis itu,” kata Hasan. Saat memasuki rumah itu, Arifin kaget ketika melihat salah satu foto yang terpampang di kamar tamu, yang rupanya pernah dia kenal. “Ini, lho, foto gadis itu,” kata Hasan sambil menunjuk foto itu.
Bertepatan dengan tangan Hasan menunjuk foto gadis itu, seperti disihir, gadis itu keluar bersama kedua orang tuanya. Hanya beberapa detik, karena setelah itu gadis yang mengenakan celana biru, baju biru, dan kerudung putih itu langsung masuk ke dalam lagi. Saat itu Arifin baru ingat bahwa ia pernah bertemu dengan gadis itu sekitar enam bulan yang lalu, saat ia berceramah di Depok.
Kali ini Arifin benar-benar jatuh cinta. Sejak kedua kalinya bertemu gadis itu, ada perasaan yang aneh di hatinya. Bayang-bayang gadis kerudung putih itu terus mengusik kesendiriannya. Tapi, berbeda dengan kebanyakan muda-mudi lain, ia menyampaikan perasaan hatinya kepada Sang Maha Pencipta. Setiap kali bangun malam, ia langsung bersujud dan bersimpuh di hadapan-Nya. Sambil berdoa ia menangis dan memohon petunjuk agar diberikan pendamping hidup yang terbaik untuknya.
Selama ini, ia memang selalu memanfaatkan sepertiga malam yang terakhir untuk-Nya. Hanya, kini kualitas dan kuantitas penghambaannya kepada Allah itu kian ditingkatkan. Setiap malam ia salat malam delapan rakaat ditambah witir tiga rakaat. Memasuki hari kesebelas, ia tiba-tiba mengalami kelelahan yang luar biasa hingga ia pun tertidur. Di tengah kelelapan tidurnya, ia bermimpi seolah menjalankan ibadah umroh bersama gadis itu tepat tanggal 1 Muharam.
Arifin percaya, mimpinya kali ini bukan sekadar kembang tidur. “Ini adalah petunjuk Allah yang Arifin terjemahkan untuk menikah tanggal 1 Muharam,” tegasnya. Pagi-pagi, usai salat subuh, ia langsung menelepon gadis itu. “Aku Muhammad Arifin Ilham,” katanya memulai pembicaraan. “Aku ingin mengatakan sesuatu kepada kamu. Pertama, aku ingin menikah dengan kamu tanggal 1 Muharam. Kedua, niatku ini karena Allah. Ketiga, karena sunah Rasul. Keempat, aku ingin terbang ke langit. Cuma sayang, sayapku cuma satu. Bagaimana kalau salah satu sayap itu adalah kamu? Kelima, aku butuhkan jawabanmu besok pukul 5 pagi.”
Gadis itu terduduk lunglai. Berbagai perasaan menyelimuti kalbunya. Di satu sisi ia merasa tersanjung dan bahagia, tapi di sisi lain ia juga merasa sedih dan khawatir. Bagaimanapun, ia belum mengenal lelaki itu, walaupun ia seorang ustad. Sebagai gadis, selama ini ia belum pernah pacaran atau pergi berduaan dengan lelaki. Selain tidak suka pergi-pergi iseng, pendidikan ayahnya pun sangat ketat. Sudah beberapa kali ia dilamar, tapi selalu ditolak oleh kedua orang tuanya. Karena itu, awalnya ia gamang saat ingin menyampaikan lamaran Arifin itu.
Apa boleh buat, lamaran ‘mengagetkan’ dari ustad muda itu harus segera dia sampaikan kepada kedua orang tuanya, karena esok subuh sudah ditunggu jawabannya. Untunglah kedua orang tuanya menyetujuinya. Saat esok harinya, pukul 5 pagi, Arifin telepon dan yang menerima Yuni sendiri, ia yakin lamarannya bakal diterima. Satu bulan kemudian, tepat tanggal 1 Muharam (28 April 1998), Arifin dan Yuni menikah di Masjid Baiturrahman di Kompleks DPR Kalibata. Dua sejoli ini ternyata banyak kesamaannya. Antara lain, Arifin maupun Yuni adalah alumni Pesantren Darunnajah dan Universitas Nasional. Hanya tenggang waktu mereka yang berbeda. Kedua kakek mereka sama-sama memiliki pesantren, yang namanya juga sama, Darussalam.
Kini, pasangan ini dikaruniai dua putra, Muhammad Alvin Faiz (4 Februari 1999) dan Muhammad Amer Adzikro (21 Desember 2000). Saat ini pasangan muda yang berbahagia ini tengah menantikan bayinya yang ketiga, yang diharapkan lahir pada bulan Oktober ini. “Saya sangat bahagia, doa saya dikabulkan oleh Allah,” tutur Yuni yang sehari-hari dipanggil ‘Sayang’ oleh suaminya.
Diceritakannya, sejak sekolah SMP sampai kemudian mengakhiri masa gadisnya, setiap kali usai salat wajib ia selalu berdoa. Tanpa ada yang menyuruh dan tak ada yang mengajarinya, Yuni selalu memohon kepada Tuhan agar mendapatkan jodoh pria dengan 10 kriteria. Antara lain, pria yang saleh, beriman, ganteng, berkecukupan, terkenal, berakhlak mulia, disayang semua umat, bertanggung jawab, dan pintar. Katanya, “Alhamdulillah... semua yang saya mohon itu ternyata ada pada diri Kak Arifin!” (Femina Online)
Langganan:
Postingan (Atom)