Selasa, 02 Juni 2015

Bacaan Al Qur'an dgn Langgam Jawa dlm Dialog Ringan

Di tengah panasnya diskusi tentang penggunaan Langgam Jawa saat tilawah Qur’an pada perayaan Isra’ Mi’raj beberapa waktu lalu, muncul kreatifitas masyarakat dalam menyikapinya. Seperti yang Arrahmah kutip dari broadcast media pesan instan pada Selasa (19/5/2015) berikut ini. Isinya ringan, namun insyaa Allah sarat akan makna. Semoga mengurai benang kusut kekeliruan masyarakat tentang syari’at membaca al Qur’an yang suci. Bismillah.
Boleh, tapi jangan dikerjakan!
Pak Kamsud pagi itu belum sempat sarapan di rumah, maka sebelum kerja, ia mampir dulu di Warteg Pak Karman langganannya. Belum juga sempat duduk, Pak Kamsud langsung ditembak pertanyaan sama pak Karman; “Nah, ini dia Pak Kamsud kebetulan sekali nih” kata pak Karman. “Ada apa emang koq pakai kebetulan segala?” tanya pak Kamsud keheranan. “Gini pak Kamsud, dari kemaren di Warteg ini banyak orang ngobrolin tentang baca Quran dengan langgam Jawa, menurut pak Kamsud sendiri gimana itu?” “Ya, kalo menurut saya pribadi sih itu namanya kurang kerjaan.” “Lha koq gitu pak?” tanya pak Karman.
“Sekarang fungsi daripada baca Quran itu sendiri apa coba, saya tanya pak Karman?” “Ya untuk didengar, dipahami, dihayati dan kemudian diamalkan.” “Nah betul itu. Sekarang kalo baca Quran tapi malah bikin konflik apa itu gak kurang kerjaan namanya?” “Gak gitu juga lah pak Kamsud, selama baca Quran itu telah memenuhi kaidah Tajwid dan tidak merubah maknanya, mau dibaca dengan nada Jawa atau nada Arab juga terserah aja kan? Lagian banyak juga lho, para Kyai yang mengatakan itu boleh.”
“Tanpa sedikit pun mengurangi rasa hormat saya kepada para Ulama, tapi penjelasan mereka itu harus kita pahami secara proporsional pak Karman; karena mereka mungkin mengungkapkan hukum dasarnya saja, bukan siasat fatwanya. Maka bisa jadi sesuatu itu diperbolehkan, tapi tetap jangan dikerjakan karena dapat mendatangkan mafsadat lain yang lebih besar dan belum tentu sepadan dengan prediksi maslahat yang akan didapat.”
“Maksud pak Kamsud gimana sih, saya koq makin gak paham?” “Maksud saya gini, pak Karman biasa shalat Jumat pakai baju koko, sarung dan peci. Sekarang coba nanti pak Karman shalat Jumat pakai kaos singlet, celananya setengah betis yang penting nutup aurat, kemudian pakai helm sebagai ganti peci. Itu sah gak menurut pak Karman? Dengan alasan; bahwa kaos singlet itu lebih adem kalo dipake, dan helm itu jauh lebih menjamin keselamatan kepala kita?”
“Ya nggak sah tho pak Kamsud, masa’ shalat pakai helm, kurang kerjaan saja.” “Shalatnya tetep sah pak Karman, karena shalat itu yang penting pakaiannya suci dan menutup aurat, ini kaedah dasarnya, hukum awalnya. Tapi memang, shalat dengan memakai helm itu sesuatu yang kurang kerjaan, demikian juga shalat dengan kaos singlet, meskipun ada yang membolehkan, tetap saja itu aneh dan kurang kerjaan. Jadi, meskipun boleh, tapi jangan dilakukan!”
“Koq bisa pak, sesuatu yang boleh tapi jangan dikerjakan?” “Jadi begini, pak Karman tahu karung goni kan? Itu lho, yang biasa dibuat balap karung anak-anak pas 17-an? Sekarang kalo umpamanya ada wanita yang memakai karung goni untuk menutup auratnya, mulai dari atas sampai bawah dia pakai karung goni, lalu dia jalan ke pasar, ikut majlis taklim dan nganter anak ke sekolah dengan kostum kaya gitu, boleh gak itu? Secara hukum dasar itu boleh-boleh saja, karena Islam hanya memerintahkan wanita menutup auratnya dengan batasan yang jelas, adapun mengenai jenis kain yang digunakan, itu kan gak ada keterangan detailnya. Jadi hal semacam ini, meskipun boleh, tapi aneh di sebuah masyarakat, makanya jangan dilakukan karena bisa menimbulkan fitnah.”
“Tapi kan, nada Jawa itu bukan sesuatu yang aneh bagi masyarakat kita Pak?” “Tidak aneh kalo untuk wayangan, tapi aneh kalo untuk baca Quran. Seperti memakai sarung itu tidak aneh kalo buat shalat di masjid, tapi coba pakai sarung saat ngantor atau ngajar di sekolahan, anak SD juga tahu kalo itu aneh dan mereka bakal ngetawain kita.” “Jadi intinya boleh tapi jangan dikerjakan? Kalo saya tetap melakukannya gimana pak?”
“Ya sudah gini saja pak, sekarang bapak punya Warteg yang banyak pelanggannya, biasanya saat pak Karman melayani pelanggan maka pak Karman akan membersihkan piring dengan sebuah kain lap. Sekarang coba bapak pergi ke toko dan beli celana dalam yang baru, paling bagus, paling mahal, merk-nya terkenal, steril dan belum pernah dipakai, kemudian pak Karman kalau ada pelanggan datang, nanti pak Karman nge- lap piringnya pakai celana dalam yg baru itu, gimana?”
“Ah, aneh-aneh saja pak Kamsud ini, koq idenya nggilani kaya gitu?!” “Lho, ini bukan nggilani pak, pada faktanya, mohon maaf ini, celana dalam yang baru dari toko itu jauh lebih bersih dari kain lap punya pak Karman yang sudah dipakai berkali-kali, keduanya sama-sama kain, yang membedakan hanya bentuk jahitannya saja. Jadi secara hukum dasar, sah-sah saja kalau pak Karman menggunakan CD buat nge-lap piring.”
“Kalo kaya gitu pelanggan saya nanti bakal kabur semuanya lah pak Kamsud.” “Nah, itulah yang ingin saya sampaikan pak Karman. Kita ini hidup di tengah masyarakat Indonesia, kita harus paham mana yang telah menjadi perspektif paten dalam sebuah masyarakat, sehingga hal tersebut perlu kita jaga dan tak perlu kita mengada-ada sebuah inovasi dengan alasan yang kita buat-buat namun ide tersebut justru membuat masyarakat ribut dan berpecah-belah. Sudah cukuplah kita ini diuji dengan banyak hal, apa tidak cukup kita diuji dengan harga-harga meroket namun mata uang justru menghujam dan menyelam?
Islam Nasionalis itu adalah Islam yang sadar dia tengah hidup di mana dan berhadapan dengan siapa, jangan terlalu anti banget lah dengan yang berbau-bau Arab, masa’ nanti kalo kita mati minta dikafanin dengan batik? Dan gak mau dikafanin dengan kain putih? Mungkin itu boleh, tapi sekali lagi, jangan dikerjakan!” “Pertanyaan terakhir pak, tadi pak Kamsud nyinggung tentang Siasat Fatwa, maksudnya apa itu pak?”
“Dalam konteks ini maksud saya adalah; menghindari kontroversi horisontal antara masyarakat yang dapat menjerumuskan ke dalam perpecahan. Sebisa mungkin kita hindari hal tersebut dengan mengambil pendapat yang dapat menyatukan umat. Dalam Al-Quran, hal ini dicontohkan oleh Nabi Harun, yaitu saat Samiri, seorang gembong munafik bani Israel membuat lembu sesembahan, Nabi Harun tidak lantas seketika menghukumnya, akan tetapi mengakhirkannya hingga adik beliau, yaitu Nabi Musa datang. Pada dasarnya menyekutukan Allah itu dosa besar, tapi dengan kecerdasan Siasat Fatwa agar bani Israel tidak terpecah-belah, Nabi Harun kala itu lebih mengedepankan persatuan umat daripada permasalahan akidah. Walaupun memang, akhirnya mereka mendapat hukuman juga. Jadi, tugas pemimpin itu adalah menjaga persatuan rakyatnya, bukan malah bikin mereka ribut dan saling hujat.”
“Okelah pak Kamsud, makasih buat sharingnya!” “Saya juga terimakasih buat pak Karman, yang bakalan kasih saya makan gratis pagi ini.. hehe.” “Haha.. cerdik juga pak Kamsud ini, boleh, boleh.. silahkan makan sepuasnya. Khusus buat hari ini pak Kamsud saya gratisin..” “Naaah.. gitu dong, itu baru bener-bener Muslim Nasionalis, membantu dan merangkul saudaranya yang tengah kelaparan.. haha..”
Sumber : arrahmah.com

Bacaan Al Qur'an Langgam Jawa Menurut Buya Yahya

@SAVE BACA AL QUR'AN DENGAN TARTIL,
Dengan ramainya masyarakat yang memperdebatkan Al Qur'an yg dibaca dgn langgam jawa pada saat acara Isra Miraj yg diadakan di istana negara, maka sebagai muslim yg baik kita pun harus ikut serta menjaga kemurnian Al Qur'an, karena Al Quran jika di baca tartil sangat nikmat sekali untuk di dengarkan bahkan terkadang membuat kita menangis jika meresapi benar dan sekaligus baca artinya, karena selain itu Al Qur'an adalah obat dari segala penyakit, penyakit hati, penyakit dzahir dan batin, sedih, dll.
Jika Al Qur'an dibaca dgn lagu tertentu bukan karena kesulitan pengucapan lisan sesuai daerahnya maka yang terjadi adalah kekacauan. Saya heran juga melihatnya disatu pihak teman saya dikantor rame-rame pada belajar tahsin (baca Al Qur'an dgn sanad Rasulullah) disatu pihak ada yg baca Al Qur'an dgn langgam jawa bisa dibilang 'nyeleneh' (malah rancu), karena saya senang jika mendengarkan Al Qur'an dibaca dgn tartil, sehingga saya rasa penting untuk memasukan bahasan ttg Bacaan Al Qur'an ini yg benar seperti apa, mohon maaf walaupun saya sendiri belum fasih sekali membaca Al Qur'an dgn makhrojul huruf yg benar, Di bawah ini saya sharekan ttg hal tersebut, "membaca Al Qur'an menurut Buya Yahya" semoga bermanfaat.
Persoalan pembacaan al-Qur'an langgam Jawa di Istana menjadi perdebatan dikalangan umat Islam; ada yang melarangnya tetapi ada yang membolehkannya. Berbagai tanggapan muncul, termasuk pula dari Buya Yahya, pengasuh Lembaga Pengembangan Dakwah Al-Bahjah Cirebon.
Dalam rekaman video berdurasi lebih dari 11 menit, Buya Yahya menganggap bacaan al-Qur'an langgam Jawa di Istana negara tidak memenuhi hak-hak huruf, meskipun sementara kalangan menganggap bacaan al-Qur'an yang dilantunkan oleh Muhammad Yasser Arafat itu telah memenuhi hak-hak huruf.
Buya Yahya juga menganggap bacaan al-Qur'an langgam Jawa di Istana tersebut telah mengikutkan Al-Qur'an kepada lagu atau langgam. "Lah kemaren yag dipermasalahkan oleh ulama-ulama shalih itu apa? KARENA AL-QUR'AN ITU DIIKUTKAN DENGAN LAGU yang sudah ada.", tuturnya.
Menurutnya, kalau ikutkan lagu maka panjang pendeknya akan hilang. Buya Yahya mencontohkan saat Qari' membaca huruf Lam. "coba kalau diperhatikan BANYAK YANG DOUBLE "ELLLLLLLL" Lam-nya panjang", tuturnya. Pandangan Buya Yahya terhadap bacaan Qari Muhammad Yasser Arafat itu berbeda dengan pihak yang lain, dimana justru menganggap bacaan al-Qur'an Qari' tersebut telah memenuhi hak-hak hurufnya.
Simak lengkapnya dalam TRANSKIP video rekaman Penjelasan Buya Yahya berikut ini :
****
Al-Qur'an itu Kalamullah, diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad yan dengan lisan Arabi. Lisannya adalah lisan Arabi, tidak boleh di-jerman-jermankan, jawa-jawakan, spanyol-spanyolkan, karena lisan adalah lisan Arabi.
Bagaimana makna lisan Arabi? sesuai dengan aturan didalam BAHASA ARAB yang selama ini dikenal dengan ILMU TAJWID dan ilmu QIRA'AH. Jadi tentang memberikan HAK-HAK HUFURNYA, makharijul hurufnya, tentang mudud madnya, tasydid dan semuanya itu ada aturan, itu semua lisan Arabi. Maka semua bacaan yang bertentangan dengan TAJWID dan lainnya adalah tidak diperkenankan.
MISALNYA, Al-Qur'an "Qul Huwallahu Ahad". Kalau kita baca (baca biasa) "Qul Huwallahu Ahad (pakai Mad), Allahush Shamad, Lam Yalid wa Lam Yulad, wa Lam Yakun Lahu Kufuwa Ahad". Lagu mana ini tadi ? lagu siapa? diarab juga tidak begini, dijerman juga tidak begitu, tetapi TERPENUHI HAK-HAKNYA itulah lisan Arabi.
Kalau Al-Qur'an DIIKUTKAN lagu, dan lagu itu ada panjangnya sendiri. Apakah dandang kulo, ini kan sudah punya lagu, lah kok al-Qur'a disesuaikan (dengan lagu), inilah yang rusak, mesti salah. Anggap saja ibu punya lagu Garuda Pancasila, sekarang Qul Huwallahu Ahad dengan nada Garuda Pancasila, ya rusak, haram hukumnya. Ini yang jadi masalah. Lah kok al-Qur'an disenandungkan dengan tatanan lagu yang sudah ada, makanya (jadinya) al-Qur'an ngikut lagu.
Kalau orang baca al-Qur'an dengan cara Jepang, karena memang lidahnya memang begitu, (atau) cara jawa, misalnya "Bismillahir Rahmanir Rahiim"(menirukan bacaan al-Qur'an orang tua), ASALKAN benar hurufnya terpenuhi, TIDAK APA-APA. Cuma itu (langgam Jawa di Istana) di ikutka lagu, itu yang jadi masalah, yang kemaren itu (di Istana).
Apalagi dengan NIAT, dengan niat-niat, (tetapi) niat urusan Allah, kita tidak boleh berprasangka buruk kepada siapapun. (Adapun) kalau niatnya untuk merendahkan, untuk bahan guyonan, itu dosa, haram. Adzan di Solo dan Blitar itu beda dengan adzan di Makkah ternyata ya, sebab orangnya setegah ngantuk, misalnya "Allahu Akbar Allahu Akbar" (buya menirukan adzannya orang ngantuk), SAH, nggak apa-apa adzannya. Cuma kalau sudah dimain-mainkan dalam bentuk lagu itu sudah jadi masalah. Lah kemaren yag dipermasalahkan oleh ulama-ulama shalih itu apa?
KARENA AL-QUR'AN ITU DIIKUTKAN DENGAN LAGU yang sudah ada. Jadi dalam jawa itu ada nada-nada tertentu, kayak dandang kulo, mocopat dan segalanya, jadi ikut langgam-langgam tertentu. Lah langgam kan sudah ada, bagaimana AL-QUR'AN diikutkan langgam?!
Sudahlah!! misalnya membaca surah Al-Fatihah dengan lagu Indonesia Raya, ya nggak bisa. nggak berani saya contohkan Al-Qur'an (dengan lagu Indonesia Raya), ya nggak bisa, haram. Mesti PANJANG PENDEKNYA (hak huruf) akan hilang. Kalau begitu salah. Cuma kalau baca dengan mendatangkan Tajwid-Tajwidnya karena lisan China ya mesti ada dengung-dengungnya gaya China, orang Jawa ya ada dengung-dengungnya Jawa, orang India juga begitu, tapi mendatangkan TAJWID, jadi yang di utamakan TAJWID, pembacaan al-Qur'an yang benar.
Jadi seandainya orang Jawa membaca al-Qur'an kok ada nada Jawanya karena memang lisannya lisan Jawa, asalaka DIPENUHI TAJWID nya ya tidak ada masalah itu. Cuma KALAU IKUT LAGU yang sudah ada, itu jadi masalah. Nanti yang dari sana, lagunya manuk Dadali, kan kacau. Nggak bisa itu, haram.
Jadi cara menyalahkan itu harus dibedakan. Dengan nada yang sudah ada atau lisan model Jawa, maksudnya, orang Jawa. Kalau difasih-fashihkan ikut Abdul Basith Abdush Shamad (Qari) ya nggak ketemu, bisa sampai cekukan nanti, nggak bisa, karena lisannya lisan begitu. Jadi kayak tadi "Bismillahir Rahmanir Rahiim, Qul Huwallahu Ahad, Allahush Shamad.." (buya baca biasa tapi dengan mad dan contohkan bacaan pelan tapi juga dengan mad), lah ini ada lengkuk-lengkuk Jawanya, asal HURUF-HURUFnya terpenuhi, satu, huruf-hurufnya terpenuhi.
Yang kedua, tidak mengikuti modelnya orang fasik. Lah kalau mengikuti gayanya orang fasik, itu jadi nggak boleh, karena itu mengangkat syi'arnya orang fasik, tetapi kalau memang kebiasaan dikampung tersebut, sebab sebetulnya kalau di Jawa itu banyak orang baca al-Qur'an, baca Asmaul Husna sendiri, terkadang "Allahur Rahmanur Rahiim, Al Malikul Quddus ..." (buya contohkan bacaan seperti kakek-kakek), lah orang Jawa, mbah saya juga begitu, cuma memang lidahnya Jawa, bukan main-main.
Lah ini orang qira'atnya bagus, dipanggung aneh-aneh, ini jadi masalah. Kalau ini lisan Jawa, asli begitu, di uplek-uplek, kadang-kadang huruf Arab itu nggak bisa, orang Jawa itu ngomong HA susah, Al-Kam jadinya (aslinya Al-Hamd), orang Sunda hilang Fa'-nya. Biar pun perlu berlatih tapi kalau bisanya begitu ya nggak masalah. Cuma kalau sudah bisa, kenapa balik ?! ke lidah Sunda yang nggak ada Fa'-nya, atau lidah Jawa yag nggak ada HA-nya. Apalagi di Indonesia ini antara Sin, Syin, Shad, itu nggak ada beda. Kalau Arab kan ada bedanya, nggk bisa, makanya MAKHARIJUL HURUF.
Jadi qaidah baca al-Qur'an itu adalah:
Pertama, dipenuhi HAK-HAK huruf.
Kedua, dipenuhi hak-hak HUKUM bacaan TAJWID. Tentunya yang kedua sesuai dengan qira'ah-qira'ah mu'tabarah.
Ketiga, Adapun masalah lagu itu, ASALKAN tidak mengikuti orang fasik.
Jadi tiga ini terpenuhi, asalkan tidak mengikut lagunya orang fasik maka sesuai dengan model tenggerokannya apa, tenggorokan Jawa, China, Jepang. Sehingga ada satu Imam dengan Lahn-Lahn (langgam) India, ada, di India itu ada Lahn (langgam) khusus dan ternyata tidak ada masalah. Itu memang ada model gaya India. Sebab, semua akan terpengaruh dengan budaya lingkungannya. Tapi bukan lagu yang sudah ada kemudian AL-QUR'AN DIIKUTKAN lagu, itu hukumnya adalah Haram. Kenapa? mesti nanti mau dipanjangin, karena lagunya belum beres (selesai), Pancasilaaaa (misalnya), Qur'annya jadi panjang lagi nanti. Jadi tidak boleh, AL-QUR'AN jangan DIIKUTKAN dengan lagu.
Tetapi bacalah Al-Qur'an dengan Lisan Arabi, itu maknanya PENUHI HAK-HAK HURUFNYA. Asalkan TAJWIDnya benar. Ingat ! Hak huruf, hak bacaan Tajwid, tidak bertentangan dengan qira'ah yang mu'tabarah, qira'ah Sab'ah, kemudia setelah itu apa? kalau ada lagunya pun, bukan merupaka Syi'ar-nya orang Fasik, bukan syiarnya orang Fasik. Lagu kebiasan di kampung, Jawa dan sebagainya itu tidak masalah, tapi kalau sudah DIIKUTKAN dengan lagu, kemudian... coba kalau diperhatikan (bacaan al-Qur'an langgam Jawa di Istana) BANYAK YANG DOUBLE "ELLLLLLLL" Lam-nya panjang, harus ikut gong-nya nanti ini. Ini nggak ketemu, ini betul-betul beda. Dan kita temukan orang-orang kampung, orang Jawa yang membaca Al-Qur'an tapi tidak main-main, karena memang lidahnya lidah Jawa, tapi tidak ada Makharijul Huruf-nya yang berselisih, Tajwdinya dipenuhi, itu saja. Itu saja Qaidahnya.
Sebab, tidak tugas kita menghukumi si A atau si B. Tapi bagaimana kita membuat qaidah. Ingat !! Makharijul Hurufnya sesuai, bagi yang mampu tentunya. Bagi yang tidak mampu ya semampunya saja. Bagi yang mampu, mengeluarkan Makharij-nya sesuai dengan semestinya kok tidak maka jadi salah, Yang ngerti tajwid tpi nggak pake tajwid, juga jadi salah.
Kemudian, membaca selain Qira'ah Sab'ah. Ada sebagian mengatakan Sepuluh, masih ada mungkin, tapi yang Sab'ah ini sudah jelas-jelas. Tidak boleh keluar dari Qira'ah Sab'ah. Qira'ah Sab'ah itu adalah selama ini di, yang mu'tabar dalam dunia qira'ah. Kemudian, setelah itu apa, lagunya pun bukan lagunya orang-orang Fasik. Maka ini menjadi BOLEH seseorang menyenandungkan atau membaca al-Qur'an, termasuk lidahnya masing-masing. Dan sangat bedaa! dan coba kita mendengar, coba buka China, bagaimana orang CHina baca al-Qur'an?!! kecuali saat mereka belajar tentang gurunya dari Arab sehingga bisa baca seperti Abdul Basith Abdush Shamad (Qari' Mesir), dulu di Indonesia ada Muammar ZA misalnya. Itu kan mengikuti lidah Arab, ya semestinya seperti itu.
Cuma kalau ini tidak dijelaskan begitu, nanti ada orang kota ngamuk kepada bapak-bapak karena baca al-Qur'an "Bismillahir ... " (buya contohkan baca al-Qur'an seperti suara kakek-kakek), wah salah itu nggak boleh, lidah jawa itu, nanti tambah berantem kita, umat ini. Sebab dikampung memang orang tidak pernah belajar tahsin Qira'ah, nggak pernah belajar lagu-lagu, orang kampung ya seperti itu. Jangan sampai nanti kita ingin membela tetapi telah menghancurkan umat. Cuman yang kemaren jelas KARENA DIIKUTKAN LAGU, harus jelas, yakin itu. Tapi Qaidahya begitu: asalkan Tajwidnya dipenuhi, Makharijnya juga, ikut Qira'ah Sab'ah, kemudian setelah itu apa? lagunya bukan yang biasa disenandungkan oleh orang Fasik, maka itu boleh saja. Selesai.
Sumber: muslimmedianews.com

Senin, 01 Juni 2015

Kubur Orang Sholeh Bermanfaat Bagi Ahli Kubur Sekitarnya

فصل: انتفاع أهل القبور بمجاورة الصالحين وقد يكرم الله بعض عباده الصالحين بأن يشفع في جيرانه فينتفعون بمجاورته في قبره. وروى ابن أبي الدنيا عن محمد بن موسى الصانع عن عبد الله بن نافع المدني قال: مات رجل من أهل المدينة فدفن بها رجل كان من أهل النار فاغتنم لذلك ثم إنه بعد سابعة أو ثامنة أري كأنه من أهل الجنة قال: ألم تكن قلت: إنك من أهل النار قال: قد كان ذلك لأنه دفن معنا رجل من الصالحين، فشفع في أربعين من جيرانه وكنت منهم. Allah telah memuliakan sebagian hamba-Nya yg shaleh dengan kemampuannya dapat memberi pertolongan kepada para tetangganya. Para penghuni kubur dapat menerima manfa'at dengan bertetangga didalam kuburnya.
Ibnu Abid Dunya meriwayatkan dari Muhammad bin Musa as-Shoni' dari Abdullah bin Nafi' al-Madani berkata: "Ada seorang laki-laki dari penduduk Madinah telah mati. dia dikuburkan disana sebgai orang yg termasuk penghuni neraka. dia pun bersedih dengan hal itu, setelah berlanjut tujuh atau delapan hari, aku melihat seakan akan dia termasuk penghuni syurga. Dia berkata : "Bukankah engkau telah berkata bahwa engkau termasuk penghuni neraka ?". Dia berkata: "Dulu memang seperti itu, namun karena bersama kami telah dikubur seorang yang shaleh, maka dia bisa memberikan pertolongan (syafa'at) kepada 40 tetangganya termasuk aku".
وقال ابن البراء: حدثنا محمد بن إبراهيم بن كثير حدثنا عمرو بن حميد قال: أخبرني رجل من أهل جرجان قال: لما مات كرز الحارثي رأى فيما يرى النائم كأن أهل القبور على قبورهم وعليهم ثياب جدد فقال لهم: ما هذا؟ قالوا: إن أهل القبور كسوا ثيابا جددا لقدوم كرز عليهم. وذكر أبو الفرج ابن الجوزي أن بعضهم رأى في منامه: معروفا الكرخي لما دفن في قبره شفع في أربعين من كل جانب من جوانبه فأعتقوا من النار. Ibnu al-Barra' berkata : "Telah bercerita kepada kami Muhammad bin Ibrahim bin Katsir, telah bercerita kepada kami Humaid, ia berkata : "Aku telah diberitahu oleh seorang penduduk Jurjan, dia berkata bahwa ketika Karroz al-Haritsi meninggal dunia dia melihat dalam mimpinya seakan-akan penghuni kubur duduk diatas kuburan mereka, mereka mengenakan pakaian yang baru. Ditanyakan kepada mereka : "Ada apa ini ?". Mereka menjawab : "Sesungguhnya penghuni kubur memakai pakaian baru ini karena datangnya Karroz al-Haritsi kepada mereka".
Abul Faroj ibnul Jauzy menyebutkan bahwa sebagian ulama' melihat Ma'ruf al-Karkhi didalam mimpi setelah dia dimakamkan di kuburannya, Ma'ruf memberikan pertolongan (syafa'at) kepada 40 penghuni kubur yang berada di sampingnya hingga mereka terbebas dari api neraka".
*** Imam al-Qurtuby dalam kitab at Tadzkiroh juz 1 halaman 126 menjelaskan : "Dianjurkan bagi anda -semoga Allah merahmati anda- untuk mengubur mayat keluarga anda disamping kuburan orang-orang shaleh dan ahli kebajikan. Hendaknya anda makamkan bersama mereka, sebagai tawassul kepada Allah Yang maha Luhur Lagi Maha Agung, karena kedekatan mereka kepada-Nya. Hendaknya anda jauhkan dari kuburan orang-orang selain mereka karena nantinya mayat keluarga anda akan tersakiti oleh mereka".
wallohu a'lam bi showab
*Referensi kitab Ahwalul Qubur karya al-Hafidz ibnu Rojab al-Hanbali juz 1 halaman 75.
Sumber MMN: muslimedianews.com

Cara Bertemu dgn Roh Orang Sholeh

Abu ‘Abdullah Ibnu Al Qoyyim Syamsuddin Muhammad bin Abu Abakar bin Ayyub bin Sa’d Al Zar,iy/Al Zur,iy adalah tokoh dari Madzhab Hanbali yang menururut Syaikh Ibnu Katsir adalah seorang yang yang menjalankan Sholat dengan panjang, beliau memanjangkan dan berlama lama dalam bersujud. Bahkan Syaikh Ibnu Rojab sangat menyanjung beliau ini dengan sanjungan yang sangat Ghluw (jika diukur dengan pola pikir Salafi/Wahhabi), sebab Ibnu Rojab berkata tentang beliau: “Beliau tidaklah Ma’shum, tetapi tak ada ungkapan yang lebih tepat dari itu, sebab saking kuatnya Ibadah beliau” (Sumber http://ejabat.google.com/ejabat/thread?tid=02c6e984f72eb8a dan juga diamini oleh beberapa situs seperti sunnah dot org, islamport dot com dll).
Salah satu kitab terkenal Syaikh Syamsuddin adalah Kitab Al Ruh, dimana didalamnya terdapat beberapa keterangan yang unik, antara lain tentang kemungkinan berinteraksinya Ruh orang mati dengan orang yang masih hidup, ruh ruh orang mati itu bisa berkenalan dan saling berkunjung satu sama lain jika ruh tersebut termasuk yang mendapatkan keni,matan. Beliau membagi ruh itu dalam dua bagian; Ruh yang Menerima Azdab dan ruh yang menerima Kenikmatan)
Beliau membawakan sebuah ayat 42 surat Al Zumar: الله يتوفى الأنفس حين موتها والتي لم تمت في منامها فيمسك التي قضى عليها الموت ويرسل الأخرى إلى أجل مسمى إن في ذلك لآيات لقوم يتفكرون “Allah memenuhi hak/mewafatkan jiwa (orang) ketika matinya, adapun jiwa yang belum mati, Allah menahannya didalam tidurnya yag telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir”.
Tetapi sungguh amat sayang, di dalam kitab tersebut tidak dijelaskan metode khusus agar jiwa kita bisa dikenal oleh Jiwa jiwa Suci dari Para Auliyaillah, hanya saja, dalam bab sebelumnya Syaikh Syamsuddin membawakan sebuah ayat yang menjadi dasar Umum bagaimana Ruhr ruh itu bisa saling mengenal, yaitu dengan ayat 69 surat Al Nisa:
ومن يطع الله والرسول فأولئك مع الذين أنعم الله عليهم من النبيين والصديقين والشهداء والصالحين وحسن أولئك رفيقا “Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan berserta orang-orang yang diberi kenikmatan oleh Allah, yang terdiri dari para Nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”.
Lalu, sebenarnya adakah cara agar kita bias dikenal oleh para arwah orang orang Shalih, agar kita mendapat berkahnya, doanya dan pertolongan ruhaniyyahnya? Dalam hal ini mungkin dari beberapa kisah bertemunya para tokoh kita dengan para tokoh terdahulunya baik dengan cara bermimpi atau dengan cara yang Allah sendiri yang tahu, adalah sebuah pelajaran yang patut ditiru, antara lain disamping mencintainya, mengikuti jejaknya, yang terpenting adalah bersedekah kepadanya, tidak lain adalah mendoakannya, menghadiahi fatihah, menziyarahi kuburnya, sering membicarakannya, mengaguminya, dan menghormatinya.
Bersedekah yang dimaksud adalah menghadiahkan fatihah atau baca bacaan kalimah thoyyibah yang lain.
Dari : Web.PrabuAgungAlfayed

Senin, 18 Mei 2015

Tanda Orang Berakal Versi Buya Hamka

SATU bukti Islam sebagai agama yang menghargai akal dapat dibuktikan dari banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an, baik yang tersurat maupun tersirat memerintahkan umatnya untuk berpikir dengan memperhatikan apa saja yang ada di dunia ini, bahkan di dalam diri manusia itu sendiri.
Sebagaimana firman-Nya:
وَفِي أَنفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُونَ “Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?.” (QS Adz-Dzariyat [51]: 21).
Dengan demikian, sungguh beruntung umat Islam, karena kitab sucinya justru mendorongnya untuk mempergunakan akalnya secara maksimal guna mengetahui hingga haqqul yaqin kebenaran ajaran Islam. Oleh karena itu seorang Muslim itu idealnya adalah orang yang benar-benar memanfaatkan akalnya.
Menurut Buya Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) dalam bukunya Falsafah Hidup orang berakal itu memiliki tanda-tanda nyata dalam sikap dan perilakunya sehari-hari.
Pertama, orang berakal itu luas pandangannya kepada sesuatu yang menyakiti atau yang menyenangkan. Pandai memilih perkara yang memberi manfaat dan menjauhi yang akan menyakiti. Dia memilih mana yang lebih kekal walaupun sulit jalannya daripada yang mudah didapat padahal rapuh. Jadi, akhirat lebih utama bagi mereka dibanding dunia.
Kedua, orang berakal selalu menaksir harga dirinya, yakni dengan cara menilik hari-hari yang telah dilalui, adakah dipergunakan kepada perbuatan-perbuatan yang berguna, dan hari yang masih tinggal ke manakah akan dimanfaatkan. Jadi, tidak ada waktu yang digunakan untuk hal-hal yang tidak berfaedah, apalagi sampai menguliti kesalahan atau aib orang lain.
Ketiga, orang berakal senantiasa berbantah dengan dirinya. Sebelum melakukan suatu tindakan, ada timbangan yang digunakan, apakah yang dilakukannya baik atau jahat dan berbahaya. Kalau baik, maka diteruskan, jika berbahaya segera dihentikan.
Keempat, orang berakal selalu mengingat kekurangannya. Bahkan, kata Buya Hamka, “Kalau perlu dituliskannya di dalam suatu buku peringatan sehari-hari. Baik kekurangan pada agama, atau pada akhlak dan kesopanan. Peringatan diulang-ulangnya dan buku itu kerapkali dilihatnya untuk direnungi dan diikhtiarkan mengasur-angsur mengubah segala kekurangan itu.”
Kelima, orang berakal tidak berdukacita lantaran ada cita-citanya di dunia yang tidak sampai atau nikmat yang meninggalkannya. Buya Hamka menulis, “Diterimanya apa yang terjadi atas dirinya dengan tidak merasa kecewa dan tidak putus-putusnya berusaha. Jika rugi tidaklah cemas, dan jika berlaba tidaklah bangga. Karena cemas merendahkan hikmah dan bangga mengihilangkan timbangan.”
Keenam, orang berakal enggan menjauhi orang yang berakal pula. Artinya, temannya adalah orang yang berhati-hati dalam hidupnya, sehingga terjaga komitmennya dalam memegang risalah kebenaran.
Ketujuh, orang yang berakal tidak memandang remeh suatu kesalahan. “Walaupun bagaimana kecilnya di mata orang lain. Dia tidak mau memandang kecil suatu kesalahan. Karena bila kita memandang kecil suatu kesalahan, yang kedua, ketiga, dan seterusnya, kita tidak merasa bahwa kesalahan itu besar, atau tak dapat membedakan lagi mana yang kecil dan mana yang besar.”
Kedelapan, orang yang berakal tidak bersedih hati. Buya Hamka menulis, “Orang yang berakal tidak berduka hati. Karena kedukaan itu tiada ada faedahnya. Banyak duka mengaburkan akal. Tidak dia bersedih, karena kesedihan tidaklah memperbaiki perkara yang telah terlanjur. Dan, banyak sedih mengurangi akal.”
Kesembilan, orang berakal hidup bukan untuk dirinya semata, tetapi untuk manusia dan seluruh kehidupan. Buya Hamka menulis, “Orang berakal hidup untuk masyarakatnya, bukat buat dirinya sendiri.”
Demikianlah sembilan tanda orang berakal menurut Buya Hamka. Dan, lebih lanjut, beliau menambahkan bahwa orang berakal itu hanya memiliki kerinduan kuat pada tiga perkara. Pertama, menyediakan bekal untuk hari kemudian. Kedua, mencari kelezatan buat jiwa. Dan, ketiga, menyelidiki arti hidup.
Masya Allah, uraian Buya Hamka ini sangat berfaedah buat kita semua untuk mengukur diri, apakah selama ini telah memanfaatkan akal sebaik-baiknya, atau justru sebaliknya. Tetapi, apapun yang telah berlalu, sekarang adalah saatnya kita meningkatkan iman dan taqwa dengan memaksimalkan fungsi dan peran akal sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. Wallahu a’lam.* (Imam Nawawi /Cholis Akbar) Sumber : Hidayatullah.com

Senin, 27 April 2015

Penelitian: Kebiasaan Berbagi Makanan Jadikan Hidup Lebih Baik

Penelitian terbaru dari University of Antwerp di Belgia, menemukan bahwa kebiasaan berbagi makanan bisa membuat hidup lebih baik. Mengapa? Penulis penelitian, Charlotte De Backer, mengatakan bahwa orang bisa mendapatkan keuntungan dari berbagi makanan, karena mereka terbiasa untuk berpikir adil. Sebab, dalam pembagian makanan mereka jadi lebih bijak dalam memberikan porsi yang adil.
Penelitian yang dirilis di Jurnal Appetite ini melakukan survei terhadap 466 mahasiswa Belgia, menanyakan seberapa sering mereka makan masakan yang dimasak oleh keluarga semasa kecil dibandingkan saat ini. Hasilnya, partisipan yang lebih sering berbagi makanan memiliki hidup lebih baik, seperti terbiasa menjadi orang yang pertama kali berdiri untuk memberikan kursi pada orang yang membutuhkan di kendaraan umum, menjadi sukarelawan, atau tanpa ragu membantu orang asing yang terlihat membutuhkan. Hal ini disebabkan karena orang tersebut mengetahui pentingnya berbagi satu sama lain.
De Backer mengatakan sifat individualis masyarakat Barat dapat luruh lewat perilaku berbagi makanan. Seperti yang dia sampaikan pada Time lewat email, ''Berbagi makanan pada orang-orang membuat seseorang terbiasa berpikir mengenai keadilan, terkait dengan pembagian porsi demi kebahagiaan bersama. Kemudian, mereka cenderung lebih bijak menjalani kekuasaan, karena terbiasa berpikir cepat dan tenang mengenai siapa yang didahulukan dan membutuhkan."
"Lalu, kebiasaan ini juga melatih mengendalikan sifat serakah dengan mendahulukan kepentingan orang lain ketimbang pribadi," ujarnya. Menurut De Backer, ada perbedaan antara makanan Barat dan Asia. Umumnya makanan ala Asia dimasak dalam porsi besar sehingga memang untuk dibagikan.
Negara di Asia memiliki tradisi kuat dalam berbagi makanan, meskipun di negara Barat, terdapat banyak restoran Asia yang menyajikan makanan dalam piring besar untuk berbagi bersama orang yang duduk dekat meja mereka.'' Decker juga mengatakan belum terlambat untuk mengajarkan anak-anak kebiasaan berbagi makanan, yang bisa membuat hidup lebih baik. ''Adakan pesta ulang tahun. Jika Anda membawa hanya satu kue yang dapat dipotong, Anak-anak akan secara otomatis memikirkan tentang perlikau yang adil. Biarkan mereka mengevaluasi sendiri besar dan adilnya potongan kue, untuk belajar perilaku berbagi." (*/ng-id) from : aatjeh cyber.blog
Karena itu sobat, tidak ada kata terlambat untuk berbagi,, kita bisa memulai dgn misalnya membiasakan anak kita membawa makanan / jajanan yang lebih banyak,, atau jika kita belanja bareng anak, pasti suka belikan mereka jajanan, maka kita bisa bilang belikan buat ade ... ( misalnya sepupu/ keponakan ), saya sering melakukan hal itu jadi anak terbiasa berbagi, atau caralainnya bawa alat tulis seperti pensil/ pulpen lebih dari satu, agar jika ada teman yang buh atau perlu kita bisa meminjamkannya

Astronot Rusia Takjub dgn Mekah d Waktu Malam

Kosmonot Rusia, Anton Shkaplerov mengaku takjub melihat penampakan kota suci umat Islam, Makkah dan Madinah di mana lokasi Masjidil Haram berada. Foto itu diambilnya dari luar angkasa. Hasil jepretan kamera Anton Shkaplerov menghasilkan foto dengan pemandangan yang menakjubkan. Anton adalah kosmonot Rusia yang tengah berada di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS).
Tak ayal, foto jepretan Shkaplerov pada 29 Januari lalu itu ramai diperbincangkan di jejaring sosial twitter. "Amazing night view of #Mecca and #Medina from the #ISS," tulis Anton Shkaplerov di akun miliknya, @AntonAstrey. Sejak diunggah pada Januari lalu hingga hari ini, foto Shkaplerov difavoritkan sekitar 4600 pengguna Twitter dan diretweet sebanyak 9100 kali.
Sumber: http://www.atjehcyber.net/2015/04/data:blog.url#ixzz3YUUiFjV1 Follow: @atjehcyber | fb.com/atjehcyberID
Shkaplerov diketahui bekerja untuk Stasiun Ruang Angkasa Internasional (ISS) di Rusia. Tak hanya kota Makkah dan Madinah, dia juga memotret setiap sisi bagian bumi melalui satelit.
Pada 26 Januari lalu, ia mengunggah foto hasil jepretannya di Twitter. Ketika itu, ISS tengah berada di atas Arab Saudi. Hasil fotonya sungguh mengagumkan. Di kala malam yang gelap, justru kota Mekah dan Madinah memancarkan cahaya putih.
Sebagaimana diketahui, bagi kaum muslimin, Mekah dan Madinah merupakan dua kota yang diberkahi Allah SWT. Di Mekah terdapat Baitullah, yaitu Ka'bah, yang menjadi kiblat salat kaum muslimin.
Sumber: http://www.atjehcyber.net/2015/04/data:blog.url#ixzz3YUUtU8Nd Follow: @atjehcyber | fb.com/atjehcyberID Begitulah Allah memperlihatkan kebesaran-Nya pada semua manusia di jaman sekarang ini, bersyukurlah orang-orang yang mendapatkan Hidayah-Nya setelah tahu akan hal ini.. ya Allah berikanlah mereka hidayah dan petunjuk-Mu, berilah kemudahan mereka semua dari kegelapan menuju Cahaya,, aammiiiinn.. Itu adalah pemandangan dari langit dimalam hari,, namuna pernah pula saya membaca dari sebuah buku bahwa siapa yang membaca Al qur'an maka "penduduk langit" melihatnya bagai sebuah bintang disaat yang lain adalah kegelapan,, artinya dimana ada kalam Illahi dibacakan ditempat itu akan bersinar, sesuai dari hadist nabi bahwa siapa yang ingin ke taman syurga,, datanglah ke maka datanglah ketempat-tempat dzikir karena disana di penuhi oleh malaikat,, Demikian semoga ini semua akan menambah keimanan kita, amiin ya rabbul alamiinn. Wallahu 'alam bi showab,,