@SAVE BACA AL QUR'AN DENGAN TARTIL,
Dengan ramainya masyarakat yang memperdebatkan Al Qur'an yg dibaca dgn langgam jawa pada saat acara Isra Miraj yg diadakan di istana negara, maka sebagai muslim yg baik kita pun harus ikut serta menjaga kemurnian Al Qur'an, karena Al Quran jika di baca tartil sangat nikmat sekali untuk di dengarkan bahkan terkadang membuat kita menangis jika meresapi benar dan sekaligus baca artinya, karena selain itu Al Qur'an adalah obat dari segala penyakit, penyakit hati, penyakit dzahir dan batin, sedih, dll.
Jika Al Qur'an dibaca dgn lagu tertentu bukan karena kesulitan pengucapan lisan sesuai daerahnya maka yang terjadi adalah kekacauan. Saya heran juga melihatnya disatu pihak teman saya dikantor rame-rame pada belajar tahsin (baca Al Qur'an dgn sanad Rasulullah) disatu pihak ada yg baca Al Qur'an dgn langgam jawa bisa dibilang 'nyeleneh' (malah rancu), karena saya senang jika mendengarkan Al Qur'an dibaca dgn tartil, sehingga saya rasa penting untuk memasukan bahasan ttg Bacaan Al Qur'an ini yg benar seperti apa, mohon maaf walaupun saya sendiri belum fasih sekali membaca Al Qur'an dgn makhrojul huruf yg benar,
Di bawah ini saya sharekan ttg hal tersebut, "membaca Al Qur'an menurut Buya Yahya" semoga bermanfaat.
Persoalan pembacaan al-Qur'an langgam Jawa di Istana menjadi perdebatan dikalangan umat Islam; ada yang melarangnya tetapi ada yang membolehkannya. Berbagai tanggapan muncul, termasuk pula dari Buya Yahya, pengasuh Lembaga Pengembangan Dakwah Al-Bahjah Cirebon.
Dalam rekaman video berdurasi lebih dari 11 menit, Buya Yahya menganggap bacaan al-Qur'an langgam Jawa di Istana negara tidak memenuhi hak-hak huruf, meskipun sementara kalangan menganggap bacaan al-Qur'an yang dilantunkan oleh Muhammad Yasser Arafat itu telah memenuhi hak-hak huruf.
Buya Yahya juga menganggap bacaan al-Qur'an langgam Jawa di Istana tersebut telah mengikutkan Al-Qur'an kepada lagu atau langgam. "Lah kemaren yag dipermasalahkan oleh ulama-ulama shalih itu apa? KARENA AL-QUR'AN ITU DIIKUTKAN DENGAN LAGU yang sudah ada.", tuturnya.
Menurutnya, kalau ikutkan lagu maka panjang pendeknya akan hilang. Buya Yahya mencontohkan saat Qari' membaca huruf Lam. "coba kalau diperhatikan BANYAK YANG DOUBLE "ELLLLLLLL" Lam-nya panjang", tuturnya.
Pandangan Buya Yahya terhadap bacaan Qari Muhammad Yasser Arafat itu berbeda dengan pihak yang lain, dimana justru menganggap bacaan al-Qur'an Qari' tersebut telah memenuhi hak-hak hurufnya.
Simak lengkapnya dalam TRANSKIP video rekaman Penjelasan Buya Yahya berikut ini :
****
Al-Qur'an itu Kalamullah, diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad yan dengan lisan Arabi. Lisannya adalah lisan Arabi, tidak boleh di-jerman-jermankan, jawa-jawakan, spanyol-spanyolkan, karena lisan adalah lisan Arabi.
Bagaimana makna lisan Arabi? sesuai dengan aturan didalam BAHASA ARAB yang selama ini dikenal dengan ILMU TAJWID dan ilmu QIRA'AH. Jadi tentang memberikan HAK-HAK HUFURNYA, makharijul hurufnya, tentang mudud madnya, tasydid dan semuanya itu ada aturan, itu semua lisan Arabi.
Maka semua bacaan yang bertentangan dengan TAJWID dan lainnya adalah tidak diperkenankan.
MISALNYA, Al-Qur'an "Qul Huwallahu Ahad". Kalau kita baca (baca biasa) "Qul Huwallahu Ahad (pakai Mad), Allahush Shamad, Lam Yalid wa Lam Yulad, wa Lam Yakun Lahu Kufuwa Ahad". Lagu mana ini tadi ? lagu siapa? diarab juga tidak begini, dijerman juga tidak begitu, tetapi TERPENUHI HAK-HAKNYA itulah lisan Arabi.
Kalau Al-Qur'an DIIKUTKAN lagu, dan lagu itu ada panjangnya sendiri. Apakah dandang kulo, ini kan sudah punya lagu, lah kok al-Qur'a disesuaikan (dengan lagu), inilah yang rusak, mesti salah. Anggap saja ibu punya lagu Garuda Pancasila, sekarang Qul Huwallahu Ahad dengan nada Garuda Pancasila, ya rusak, haram hukumnya. Ini yang jadi masalah. Lah kok al-Qur'an disenandungkan dengan tatanan lagu yang sudah ada, makanya (jadinya) al-Qur'an ngikut lagu.
Kalau orang baca al-Qur'an dengan cara Jepang, karena memang lidahnya memang begitu, (atau) cara jawa, misalnya "Bismillahir Rahmanir Rahiim"(menirukan bacaan al-Qur'an orang tua), ASALKAN benar hurufnya terpenuhi, TIDAK APA-APA. Cuma itu (langgam Jawa di Istana) di ikutka lagu, itu yang jadi masalah, yang kemaren itu (di Istana).
Apalagi dengan NIAT, dengan niat-niat, (tetapi) niat urusan Allah, kita tidak boleh berprasangka buruk kepada siapapun. (Adapun) kalau niatnya untuk merendahkan, untuk bahan guyonan, itu dosa, haram.
Adzan di Solo dan Blitar itu beda dengan adzan di Makkah ternyata ya, sebab orangnya setegah ngantuk, misalnya "Allahu Akbar Allahu Akbar" (buya menirukan adzannya orang ngantuk), SAH, nggak apa-apa adzannya. Cuma kalau sudah dimain-mainkan dalam bentuk lagu itu sudah jadi masalah. Lah kemaren yag dipermasalahkan oleh ulama-ulama shalih itu apa?
KARENA AL-QUR'AN ITU DIIKUTKAN DENGAN LAGU yang sudah ada. Jadi dalam jawa itu ada nada-nada tertentu, kayak dandang kulo, mocopat dan segalanya, jadi ikut langgam-langgam tertentu. Lah langgam kan sudah ada, bagaimana AL-QUR'AN diikutkan langgam?!
Sudahlah!! misalnya membaca surah Al-Fatihah dengan lagu Indonesia Raya, ya nggak bisa. nggak berani saya contohkan Al-Qur'an (dengan lagu Indonesia Raya), ya nggak bisa, haram. Mesti PANJANG PENDEKNYA (hak huruf) akan hilang. Kalau begitu salah. Cuma kalau baca dengan mendatangkan Tajwid-Tajwidnya karena lisan China ya mesti ada dengung-dengungnya gaya China, orang Jawa ya ada dengung-dengungnya Jawa, orang India juga begitu, tapi mendatangkan TAJWID, jadi yang di utamakan TAJWID, pembacaan al-Qur'an yang benar.
Jadi seandainya orang Jawa membaca al-Qur'an kok ada nada Jawanya karena memang lisannya lisan Jawa, asalaka DIPENUHI TAJWID nya ya tidak ada masalah itu. Cuma KALAU IKUT LAGU yang sudah ada, itu jadi masalah. Nanti yang dari sana, lagunya manuk Dadali, kan kacau. Nggak bisa itu, haram.
Jadi cara menyalahkan itu harus dibedakan. Dengan nada yang sudah ada atau lisan model Jawa, maksudnya, orang Jawa. Kalau difasih-fashihkan ikut Abdul Basith Abdush Shamad (Qari) ya nggak ketemu, bisa sampai cekukan nanti, nggak bisa, karena lisannya lisan begitu.
Jadi kayak tadi "Bismillahir Rahmanir Rahiim, Qul Huwallahu Ahad, Allahush Shamad.." (buya baca biasa tapi dengan mad dan contohkan bacaan pelan tapi juga dengan mad), lah ini ada lengkuk-lengkuk Jawanya, asal HURUF-HURUFnya terpenuhi, satu, huruf-hurufnya terpenuhi.
Yang kedua, tidak mengikuti modelnya orang fasik. Lah kalau mengikuti gayanya orang fasik, itu jadi nggak boleh, karena itu mengangkat syi'arnya orang fasik, tetapi kalau memang kebiasaan dikampung tersebut, sebab sebetulnya kalau di Jawa itu banyak orang baca al-Qur'an, baca Asmaul Husna sendiri, terkadang "Allahur Rahmanur Rahiim, Al Malikul Quddus ..." (buya contohkan bacaan seperti kakek-kakek), lah orang Jawa, mbah saya juga begitu, cuma memang lidahnya Jawa, bukan main-main.
Lah ini orang qira'atnya bagus, dipanggung aneh-aneh, ini jadi masalah. Kalau ini lisan Jawa, asli begitu, di uplek-uplek, kadang-kadang huruf Arab itu nggak bisa, orang Jawa itu ngomong HA susah, Al-Kam jadinya (aslinya Al-Hamd), orang Sunda hilang Fa'-nya. Biar pun perlu berlatih tapi kalau bisanya begitu ya nggak masalah. Cuma kalau sudah bisa, kenapa balik ?! ke lidah Sunda yang nggak ada Fa'-nya, atau lidah Jawa yag nggak ada HA-nya. Apalagi di Indonesia ini antara Sin, Syin, Shad, itu nggak ada beda. Kalau Arab kan ada bedanya, nggk bisa, makanya MAKHARIJUL HURUF.
Jadi qaidah baca al-Qur'an itu adalah:
Pertama, dipenuhi HAK-HAK huruf.
Kedua, dipenuhi hak-hak HUKUM bacaan TAJWID. Tentunya yang kedua sesuai dengan qira'ah-qira'ah mu'tabarah.
Ketiga, Adapun masalah lagu itu, ASALKAN tidak mengikuti orang fasik.
Jadi tiga ini terpenuhi, asalkan tidak mengikut lagunya orang fasik maka sesuai dengan model tenggerokannya apa, tenggorokan Jawa, China, Jepang. Sehingga ada satu Imam dengan Lahn-Lahn (langgam) India, ada, di India itu ada Lahn (langgam) khusus dan ternyata tidak ada masalah. Itu memang ada model gaya India. Sebab, semua akan terpengaruh dengan budaya lingkungannya. Tapi bukan lagu yang sudah ada kemudian AL-QUR'AN DIIKUTKAN lagu, itu hukumnya adalah Haram. Kenapa? mesti nanti mau dipanjangin, karena lagunya belum beres (selesai), Pancasilaaaa (misalnya), Qur'annya jadi panjang lagi nanti. Jadi tidak boleh, AL-QUR'AN jangan DIIKUTKAN dengan lagu.
Tetapi bacalah Al-Qur'an dengan Lisan Arabi, itu maknanya PENUHI HAK-HAK HURUFNYA. Asalkan TAJWIDnya benar. Ingat ! Hak huruf, hak bacaan Tajwid, tidak bertentangan dengan qira'ah yang mu'tabarah, qira'ah Sab'ah, kemudia setelah itu apa? kalau ada lagunya pun, bukan merupaka Syi'ar-nya orang Fasik, bukan syiarnya orang Fasik. Lagu kebiasan di kampung, Jawa dan sebagainya itu tidak masalah, tapi kalau sudah DIIKUTKAN dengan lagu, kemudian... coba kalau diperhatikan (bacaan al-Qur'an langgam Jawa di Istana) BANYAK YANG DOUBLE "ELLLLLLLL" Lam-nya panjang, harus ikut gong-nya nanti ini. Ini nggak ketemu, ini betul-betul beda. Dan kita temukan orang-orang kampung, orang Jawa yang membaca Al-Qur'an tapi tidak main-main, karena memang lidahnya lidah Jawa, tapi tidak ada Makharijul Huruf-nya yang berselisih, Tajwdinya dipenuhi, itu saja. Itu saja Qaidahnya.
Sebab, tidak tugas kita menghukumi si A atau si B. Tapi bagaimana kita membuat qaidah. Ingat !! Makharijul Hurufnya sesuai, bagi yang mampu tentunya. Bagi yang tidak mampu ya semampunya saja. Bagi yang mampu, mengeluarkan Makharij-nya sesuai dengan semestinya kok tidak maka jadi salah, Yang ngerti tajwid tpi nggak pake tajwid, juga jadi salah.
Kemudian, membaca selain Qira'ah Sab'ah. Ada sebagian mengatakan Sepuluh, masih ada mungkin, tapi yang Sab'ah ini sudah jelas-jelas. Tidak boleh keluar dari Qira'ah Sab'ah. Qira'ah Sab'ah itu adalah selama ini di, yang mu'tabar dalam dunia qira'ah.
Kemudian, setelah itu apa, lagunya pun bukan lagunya orang-orang Fasik. Maka ini menjadi BOLEH seseorang menyenandungkan atau membaca al-Qur'an, termasuk lidahnya masing-masing. Dan sangat bedaa! dan coba kita mendengar, coba buka China, bagaimana orang CHina baca al-Qur'an?!! kecuali saat mereka belajar tentang gurunya dari Arab sehingga bisa baca seperti Abdul Basith Abdush Shamad (Qari' Mesir), dulu di Indonesia ada Muammar ZA misalnya. Itu kan mengikuti lidah Arab, ya semestinya seperti itu.
Cuma kalau ini tidak dijelaskan begitu, nanti ada orang kota ngamuk kepada bapak-bapak karena baca al-Qur'an "Bismillahir ... " (buya contohkan baca al-Qur'an seperti suara kakek-kakek), wah salah itu nggak boleh, lidah jawa itu, nanti tambah berantem kita, umat ini. Sebab dikampung memang orang tidak pernah belajar tahsin Qira'ah, nggak pernah belajar lagu-lagu, orang kampung ya seperti itu. Jangan sampai nanti kita ingin membela tetapi telah menghancurkan umat. Cuman yang kemaren jelas KARENA DIIKUTKAN LAGU, harus jelas, yakin itu. Tapi Qaidahya begitu: asalkan Tajwidnya dipenuhi, Makharijnya juga, ikut Qira'ah Sab'ah, kemudian setelah itu apa? lagunya bukan yang biasa disenandungkan oleh orang Fasik, maka itu boleh saja. Selesai.
Sumber: muslimmedianews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar