Rabu, 01 Juni 2011

Profesionalitas dalam Ber-Islam

Sebuah cerita menarik yang membuat kita merenung dan berpikir.. so wahat ??

Profesionalitas yang Sesungguhnya

Aku adalah seorang dosen dan sekaligus dokter di sebuah universitas dan rumah sakit ternama negri ini. Aku aktif di penelitian dan aktifitas keilmuan lainnya tapi juga tidak lupa bagianku untuk melayani pasien-pasienku.

Aku adalah spesialis kandungan yang sangat hati-hati. Sedikit kesalahanku bisa berakibat fatal pada orang lain. Benar-benar fatal. Sebagai contoh saat melakukan operasi Cesar. Bagian yang aku insisi (belah) adalah bagian suprapubic (supra=di atas ; pubic=daerah kemaluan).

Aku memotong secara melintang disepanjang batas bawah perut dengan kemaluan. Jika aku lalai, pisau bedahku bisa mengenai kepala bayi yang berada tepat di bawah lapisan perut sang ibu yang tengah aku insisi. Bahkan, jika posisi bayi adalah menghadap ke depan, dengan muka menghadap ke arahku, kalalaianku bisa lebih fatal lagi yaitu pisau bedahku dapat mengenai mata si bayi dan merobeknya. Oleh karena itu, aku harus benar-benar professional.

Kenyataan ini telah aku dapat semenjak aku masih di bangku kuliah sehingga aku benar-benar memanfaatkan masa pembelajaranku dengan sebaik-baiknya agar saat terjun ke masyarakat aku tidak membuat kesalahan-kesalahan yang bisa berakibat fatal ke orang lain. Semenjak saat itu professionalitas menjadi nama depanku.

Sebagai pengajar, aku menekankan pentingnya professionalitas kepada mahasiswa-mahasiswaku. Intinya, aku berusaha seprofessional mungkin di pekerjaanku, termasuk sebagai dosen. Jurnal internasionalku lima buah dan gelar doktor sudah aku gondol dari Inggris. Itu semua sebagai pengakuan akan sikap professionalitasku.

Hingga pada suatu hari seorang mahasiswa memintaku untuk menjadi dosen pembimbingnya. Ia berencana mengikuti lomba karya ilmiah remaja dan mengirimkan proposal penelitiannya. Proposalnya berjudul ‘Dampak abortus provokatus pada keselamatan ibu hamil ditinjau dari aspek psikis dan medis’. Ia memaparkan bahwa aborsi dengan sengaja yang hukumnya masih tidak jelas di Indonesia ini tidak hanya dapat menggugurkan janin, namun efeknya pada sang ibu tidak kalah bahayanya. Ia hanya tidak ingin aborsi sampai diperbolehkan di Indonesia. Hmmm… menarik… dan akupun menyanggupi menjadi dosen pembimbingnya.

Waktu berlalu hingga pengumpulan proposal tinggal dua minggu lagi. Pertemuanku dengan mahasiswi berjilbab lebar itupun semakin kerap. Kami berdiskusi tentang banyak hal dan pada suatu hari ada percakapan kami yang akhirnya menjadi sejarah penting bagi hidupku.

“Bu, ibu kan seseorang yang menjunjung tinggi professionalitas. Menurut ibu professionalitas itu apa?” Mahasiswi berjilbab lebar itu bertanya padaku.
“Professionalitas adalah saat kamu benar-benar total pada apa yang kamu kerjakan. Dedikasi.” Begitulah aku paparkan.

“Tapi, apakah ibu tahu arti professionalitas yang sesungguhnya?” Tanya mahasiswi jilbab lebar itu kembali.
“Maksudmu?”
“Menurut saya, professional yang sesungguhnya adalah saat kita benar-benar total dengan semua status yang melekat pada diri kita.” Ujarnya dengan memberi penekanan pada kata ‘semua’ yang Ia ucapkan.
“Kalau kita hanya professional dengan pekerjaan kita, namun status lain yang kita sandang kurang kita perhatikan atau malah kita abaikan sentuhan professionalitasnya maka sesungguhnya itu belum bisa disebut professional.

Professional itu adalah saat kita benar-benar menyeluruh dalam berdedikasi. Di semua status yang kita miliki. Tidak hanya professional dalam peran kita sebagai tenaga kesehatan ataupun pengajar, tapi professional juga dalam menjadi ibu dan juga istri. Dan ada satu aspek dalam diri kita, sebuah status lebih tepatnya yang terkadang terabaikan sentuhan professionalitasnya.

Padahal, jika kita professional pada status yang satu ini, Ia akan melahirkan professionalitas yang luar biasa dahsyatnya pada status-status kita yang lain.”
“Status apa itu maksudmu?” tanyaku penasaran.

“Status keislaman kita…” jawabnya singkat. Dan jelas. Aku terdiam. Butuh beberapa saat untuk mencerna apa yang mahasiswi berjilbab lebar itu katakan. Kemudian aku sadar bahwa apa yang ia katakan adalah benar. Sangat benar. Aku merasa batinku ditampar.

“Ya… tak sedikit dari kita yang sangat berdedikasi pada profesi dokter kita dengan dasar ‘demi pasien’ namun melupakan bahwa status keislaman kita pun perlu professionalitas. Menjadi islam secara total. Muslim yang professional. Begitu.”
Kurasakan dadaku sesak. Tertohok oleh kenyataan pahit bahwa selama ini aku sungguh bodoh. Ya Allah… selama ini aku kemana? Professionalitas aku gembar-gemborkan kemana-mana, padahal aku belum professional seutuhnya. Aku belum professional dalam berislam.

“Bukan begitu bu? Padahal Islamlah yang mengajari kita untuk bekerja keras di setiap urusan kita. Jadi seandainya kita total dalam berislam, mengamalkan apa yang Islam anjurkan untuk kita, tentu professionalitas kita akan lebih bermakna.” Kata mahasiswi jilbab lebar itu menambahkan.

“Ini bu, silahkan baca…” Mahasiswi itu merogoh sesuatu dalam tasnya kemudian menyodorkannya padaku. Sebuah Al Qur’an kecil dengan terjemahan.
“Al Insyirah ayat 7” katanya singkat.
“Maka apabila engkau telah selesai (dari suatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain)”.

Begitulah bacanya. Dan aku semakin terpana. Entah pada apa. Mungkin pada agama indahku yang selama ini tidak aku sadari keindahannya. Atau merasa bodoh karena tidak sadar dengan ketololanku selama ini yang mengaku sudah professional, sudah pintar, padahal hakikatnya aku jauh dari pintar dan professional. Kemudian mataku menangkap tulisan yang tertera pada pembatas Al Qur’an tersebut,
“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” (QS Al Israa’ 37)

Ya Allah… semakin yakinlah aku. Tembok egoku runtuh dan yang tersisa hanya penyesalan. Sungguh, tidak ada alasan bagiku untuk kembali kepada kepahamanku yang dulu. Kuingat putriku yang rapi berjilbab. Tidak hentinya ia menyuruhku untuk menutup aurat seperti dirinya. Ikut pengajian, atau bahkan hanya sekedar shalat berjamaah. Tapi semua itu aku tolak karena aku tidak peduli dengan semua itu. Sungguh hina. Maafkan ibumu yang bodoh ini anakku. Ibu akan menebus semua itu. Ibu janji. Dan Allah menjadi saksi atas janji Ibumu ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar