Kisah Paket Mangga Seharga 750 Ribu Rupiah
Semakin bertambah usia kita, terkadang kita sibuk dengan diri kita sendiri. Hingga kadang kita lupa, di saat yang bersamaan orang tua kita semakin menua. Meski kadang semakin bertambah usia kita, kita sering merasa tak selaras dengan pemikiran orang tua, tetapi mereka punya cara sendiri untuk mengungkapkan rasa cintanya kepada anak-anaknya. Betapa kadang cinta orang tua melampaui segalanya, bahkan harta pun jadi tak ternilai harganya. Diceritakan ulang oleh Vemale.com, pengalaman Riri yang kini bekerja menjadi TKW di Hong Kong sungguh menginspirasi kita.
***
Betapa terkejutnya aku saat tiba di tempat jasa pengiriman barang hari itu. Setelah aku gagal mengambil paketan pada hari Sabtu, jasa pengiriman khawatir paket yang berisi makanan itu akan busuk bila terlalu lama di gudang pengambilan. Tak kalah terkejutnya saat biaya yang harus ditanggung sang pengirim mencapai angka 455 dolar
.
"Astagfirullah, akeh men. Gek paket pelem wae kok sampe 750 ewu lho!" gerutuku. Bayangkan, 23 buah mangga, 2 kg sambel pecel dan seplastik enjet terdapat di kardus bekas mie instan itu. Kardusnya sudah lembek. Tiga di antara mangga-mangga itu sudah busuk.
Aku membayangkan biaya pengiriman sebesar 455 dolar atau setara Rp. 750 ribu itu. Setidaknya butuh 2x5 hari mengepel lantai, 5x5 hari membersihkan kamar mandi plus belanja, mencuci pakaian, masak dan diomeli majikan agar bisa mendapat uang sebanyak itu.
"Nyenengke wong tuwa, Mbak. Jenenge wong tuwa pengen ngirimi anake lho," ujar Awiek, sahabatku.
Aku makin kesal. Uang segitu banyak daripada dibuat membayar paketan, lebih baik disimpan saja untuk kebutuhan Emak sehari-hari. "Di sini mau makan mangga tinggal beli ke pasar. 30 dolar sudah dapat yang besar. Lagian siapa mau makan mangga sebanyak ini?" gerutuku.
Ingin rasanya kulampiaskan kekesalanku ke Emak dan Bapak, tapi beliau berdua tak juga menjawab panggilan teleponku. Baru tiga hari berikutnya teleponku diangkat oleh Bapak. Kukatakan bahwa paket telah sampai dan mangganya telah kunikmati.
Alih-alih kesal karena kejadian 455 dolar kemarin, aku justru terbius karena cerita Bapak yang sangat mengalir. Beliau menceritakan bagaimana Emak membeli kacang langsung dari petaninya kemudian menungguinya saat kacang-kacang itu dijemur. Menggorengnya lalu membawa ke pasar untuk diselep. Tak hanya itu, Bapak juga bercerita tentang bagaimana beliau memilih mangga yang bagus-bagus, besar-besar dan paling tua. Beliau juga menceritakan kehebohan saat mangga-mangga dan sambal pecel itu dikemas dalam kardus.
Seketika itu juga kuras 455 dolar tidak ada apa-apanya dibanding cinta orang tuaku. Apalagi saat Bapak bilang ia sengaja mengirimi mangga sebegitu banyaknya agar jika 10 mangga busuk, aku masih bisa menikmati 13 buah lainnya bersama teman-temanku.
Jadi itu alasan Bapak dan Emak mengirim sedemikian banyak mangga dan sambal pecel untukkku.
Sewaktu telepon itu kuakhiri, tak sedikitpun aku menyinggung besarnya biaya pemaketan yang harus kubayar. Bukankah semua sudah lunas terbayar dengan cerita-cerita itu? Sudah tak membebaniku lagi.
***
Cinta orang tua memang tak ternilai. Kadang kita merasa orang tua berbuat hal yang tak semestinya dilakukan dan tampak tak masuk akal oleh anak-anaknya, tapi ingatkah kita ketika kita kecil orang tua tak pernah protes bahkan jika kita melakukan hal yang konyol. Kisah Riri yang kini merantau sebagai TKW di Hongkong ini tertuang dalam blognya, Babungeblog. Betapa ketika semakin dewasa atau jauh dari orang tua, kita akan semakin merasa bahwa cinta orang tua tak hanya mahal, tapi juga tak ternilai harganya.
By. Winda Carmelita
From : Female.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar